Jakarta-Bank Dunia menyoroti buruknya kinerja penerimaan pajak Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB negeri ini termasuk yang terendah di dunia. Pemerintah Indonesia juga disebut kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun per tahun. Padahal, nilai tersebut bisa biaya biayai pendidikan hingga 55 juta pelajar hingga tunjangan ke 2 juta guru non PNS per tahun.
NERACA
Bank Dunia dalam laporannya berjudul "Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia" yang dipublikasikan 2 Maret 2025 mengungkapkan, "Indonesia memiliki kinerja yang buruk dalam pengumpulan penerimaan pajak," menurut laporan tersebut yang dikutip pekan ini.
Bank Dunia mencatat, rasio pendapatan pajak terhadap PDB Indonesia yang hanya mencapai 9,1% pada 2021 jauh lebih rendah dibadingkan negara-negara berpenghasilan menengah di regional lainnya. Rasio pendapatan pajak Kamboja mencapai 18%, Malaysia 11,9%, Filipina 15,2%, Thailand 15,7%, dan Vietnam 14,7%.
Menurut Bank Dunia, Indonesia juga mengalami tren negatif yang mengkhawatirkan dalam rasio pendapatan pajak terhadap PDB selama dekade terakhir. Dibandingkan dengan rasio yang diamati sepuluh tahun lalu, angka tahun 2021 mencerminkan penurunan sekitar 2,1%.
Krisis Covid -19 telah memperburuk kinerja penerimaan pajak, yang mengakibatkan penurunan tajam menjadi 8,3% dari PDB pada tahun 2020. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPN), sumber utama penerimaan pajak, berkinerja di bawah potensinya.
Pada tahun 2021, PPh dan PPN menyumbang sekitar 66% dari total pemungutan pajak, setara dengan sekitar 6% dari PDB. Meskipun PPN dan PPh lebih produktif daripada instrumen pajak lainnya, Bank Dunia menilai, penerimaan yang dihasilkan dari PPN dan PPh masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara struktural dan regional lainnya.
Kinerja PPN dan PPh yang buruk, menurut Bank Dunia, dikaitkan dengan kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit.
Perkiraan Bank Dunia menunjukkan bahwa efisiensi pengumpulan pajak Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga dan kesenjangan pajak atau pendapatan yang hilang terus meningkat. Menurut Bank Dunia, efisiensi pengumpulan pajak Indonesia berada di bawah negara-negara tetangga dan kesenjangan pajak meningkat.
Skor efisiensi Indonesia, yang dirata-ratakan sejak 2015, termasuk yang terendah dalam sampel terpilih negara-negara berpenghasilan menengah dan telah menurun dari waktu ke waktu
Pemerintah sebenarnya telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Pajak pada bulan Oktober 2021. Pemerintah juga menaikkan tarif standar PPN dan menghapuskan pengecualian tertentu. Selain itu, penurunan tarif PPh Badan yang sebelumnya diatur juga telah dibatalkan.
Potensi Setoran Pajak
Penerapan UU Harmonisasi pajak diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak sekitar 0,7% hingga 1,2% dari PDB per tahun dari tahun 2022 hingga 2025. Meskipun demikian, menurut Bank Dunia, pemungutan pajak di Indonesia masih akan menghadapi tantangan dan perlu ditingkatkan.
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak hingga Rp944 triliun per tahun. Padahal, nilai tersebut bisa biaya biayai pendidikan hingga 55 juta pelajar hingga tunjangan ke 2 juta guru non PNS per tahun.
Laporan tersebut menganalisis kepatuhan setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan korporasi (PPh Badan) di Indonesia selama 2016—2021. Hasilnya, besarnya kesenjangan pajak (tax gap) menyebabkan efisiensi setoran dua sumber utama penerimaan pajak tersebut sangat rendah.
“Estimasi kesenjangan PPN dan PPh Badan yang tercatat rata-rata [per tahun] mencapai 6,4% dari PDB atau Rp944 triliun pada periode 2016—2021,” tulis Bank Dunia, dikutip Kamis (27/3/2025).
Angka tersebut Bank Dunia dapatkan usai menganalisis indikator kesenjangan kepatuhan (compliance gap) dan kesenjangan kebijakan (policy gap) setoran PPN dan PPh Badan di Indonesia selama 2016—2021.
Kesenjangan kepatuhan sendiri merujuk kepada semua sumber ketidakpatuhan pajak seperti minimnya pelaporan, penhindaran, penipuan, kesalahan administratif, dan sebagainya. Sementara kesenjangan kebijakan mengacu kepada nilai pajak yang seharusnya dibayar dengan yang sebenarnya apabila seluruh basis pajak dikenakan tarif yang berlaku.
Hasil perhitungan Bank Dunia menunjukkan, rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPN mencapai Rp386 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPN mencapai Rp138 triliun per tahun selama 2016—2021. Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp524 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPN.
Belum lagi dari PPh Badan. Perhitungan Bank Dunia mendapati bahwa rata-rata kesenjangan kepatuhan setoran PPh Badan mencapai Rp161 triliun per tahun selama 2016—2021. Sementara itu, rata-rata kesenjangan kebijakan pengenaan PPh Badan mencapai Rp258 triliun per tahun selama 2016—2021.
Artinya, pemerintah Indonesia kehilangan potensi setoran pajak Rp419 triliun per tahun hanya dari kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPh Badan. Jika dijumlahkan maka kesenjangan kepatuhan dan kebijakan pengenaan PPN dan PPh Badan membuat pemerintah Indonesia kehilangan potensi pajak hingga Rp944 triliun per tahun.
"Secara keseluruhan, kesenjangan kepatuhan memiliki dampak yang lebih besar kepada penerimaan PPN dibandingkan dengan kesenjangan kebijakan. Sebaliknya, kesenjangan kebijakan memiliki dampak yang besar kepada penerimaan PPh Badan dibandingkan dengan kesenjangan kepatuhan," simpul Bank Dunia.
Potensi pajak yang hilang hingga Rp944 triliun per tahun bukan lah nominal yang sedikit. Sebagai perbandingan, dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp724,3 triliun dan anggaran kesehatan hanya senilai Rp218,5 triliun. Artinya, setoran pajak yang hilang tersebut seharusnya bisa membiayai program-program pendidikan dan kesehatan selama tahun ini.
Pemerintah merancang, anggaran pendidikan senilai Rp724,3 triliun digunakan untuk biayai berbagai beasiswa seperti Program Indonesia Pintar (PIP) kepada 20,4 juta siswa, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah kepada 2,1 juta mahasiswa, LPDP kepada 4.971 mahasiswa, bantuan operasional sekolah (BOS) ke 43,4 juta siswa, dan Bantuan Operasional Penyerahan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD) ke 6,1 juta peserta didik.
Selain itu, anggaran pendidikan itu juga digunakan untuk biayai tunjangan profesi untuk 477,7 ribu guru non PNS serta 1,5 juta guru pegawai negeri sipil (PNSD) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Belum lagi untuk revitalisasi sekolah hingga pendanaan riset.
Sementara itu, pemerintah mencanangkan anggaran kesehatan senilai Rp218,5 triliun untuk biayai pembuatan makan bergizi untuk ibu hamil/menyusui dan balita, peningkatan efektivitas program JJKN, peningkatan akses dan ketersediaan layanan kesehatan, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga peningkatan jumlah dan kualitas SDM kesehatan.
Saran Bank Dunia
Bank Dunia mengindikasikan bahwa salah satu penyebab belum maksimalnya penerimaan PPN dan PPh Badan di Indonesia karena tingginya ambang batas pengenaan pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Memang, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut PPN dan menyetor PPh Badan. Bank Dunia melihat, tingginya ambang batas tersebut menyebabkan banyak korporasi yang tak dikenai pajak. Selain itu, UMKM menjadi kurang diawasi dan meningkatkan ketidakpatuhan pelaporan pajak formal.
“Menurunkan ambang batas serta memperkenalkan larangan hukum pengelompokan dapat mengurangi selisih [penerimaan yang seharusnya dengan yang sebenarnya] PPN dan PPh,” menurut laporan Bank Dunia.
Selain itu, Bank Dunia melihat pangsa aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia juga sangat besar yang nilainya bisa mencapai 17,6% hingga 21,8% dari total PDB. Masalahnya, aktivitas ekonomi bawah tanah tidak terdeteksi secara administrasi perpajakan.
Oleh sebab itu, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah harus memperluas akses informasi tentang seluruh kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan data pihak ketiga untuk meningkatkan penegakan kepatuhan pajak. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan pengangkatan beberapa pejabat kementerian menjadi komisaris di bank…
NERACA Jakarta - Pemerintah memastikan pasokan energi berupa BBM, LPG, dan listrik, hingga mitigasi kebencanaan geologi selama Hari Raya Idul…
Jakarta-Peneliti senior Indef Ariyo DP Irhamna menyoroti berbagai tantangan Danantara dalam tata kelolanya, terutama dalam kaitannya dengan Santiago Principles.…
Jakarta-Bank Dunia menyoroti buruknya kinerja penerimaan pajak Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB negeri ini termasuk yang terendah di…
NERACA Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan pengangkatan beberapa pejabat kementerian menjadi komisaris di bank…
NERACA Jakarta - Pemerintah memastikan pasokan energi berupa BBM, LPG, dan listrik, hingga mitigasi kebencanaan geologi selama Hari Raya Idul…