TIM PENELITI INDEF SOROTI DANANTARA: - Minim Independensi dari Intervensi Politik

 

Jakarta-Peneliti senior Indef Ariyo DP Irhamna  menyoroti berbagai  tantangan Danantara dalam tata kelolanya, terutama dalam kaitannya dengan Santiago Principles. Salah satu permasalahan utama adalah minimnya independensi dari intervensi politik, yang bertentangan dengan Prinsip 3 dalam Santiago Principles. Dari segi transparansi dan akuntabilitas, Danantara masih belum memenuhi Prinsip 16 dan 17, karena tidak memiliki kewajiban transparansi yang jelas dalam bentuk laporan publik, audit independen, atau mekanisme akuntabilitas kepada pemangku kepentingan.

NERACA

Dari sisi  kebijakan investasi, menurut  Ariyo, Sovereign Wealth Funds (SWF) yang ideal seharusnya mampu melakukan  diversifikasi aset global dan optimasi return jangka panjang. Namun, dalam implementasinya, Danantara Indonesia hanya fokus pada pengelolaan dividen dan pemberdayaan aset BUMN.

Dari sisi kelembagaan, Ariyo menilai struktur tata kelola SWF juga terlalu gemuk untuk badan yang baru lahir. Serta di Dewan Pengawas sangat kental dengan politisi melalui Mensesneg dan semua Menteri Koordinator, hal ini yang dapat memperlambat proses pengambilan keputusan serta meningkatkan risiko konflik kepentingan. Ketidakseimbangan dalam pembagian tugas dan kewenangan antara CEO, COO, dan CIO juga dapat menyebabkan inefisiensi operasional. Regulasi yang mengatur skema inbreng dalam PP 15 Tahun 2025 juga tidak transparan.

Padahal kebijakan tersebut sudah diumumkan sejak 21 Maret dan Bursa Efek Indonesia (BEI) juga sudah mengumumkan penyertaan modal ke BKI selaku holding operasional  Danantara. Ketiadaan publikasi PP 15 Tahun 2025 memicu spekulasi negatif tentang transparansi dan implementasi kebijakan ini.

Terdapat lima rekomendasi utama yang diajukan: Pertama, kriteria penunjukan badan pelaksana dan dewan pengawas harus jelas, dengan larangan bagi pejabat politik aktif untuk menghindari konflik  kepentingan; Kedua, intervensi pemerintah harus diminimalisir agar Danantara dapat beroperasi secara independen; Ketiga, transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat, termasuk dengan audit independen dan pelaporan berkala kepada publik; Keempat, Dewan Etik Independen harus dibentuk untuk memantau potensi pelanggaran integritas; Kelima, sinkronisasi kebijakan dengan regulasi pasar modal harus dilakukan, agar tata kelola SWF tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dan tetap melindungi investor. Selain itu, CEO, COO, CIO, dan eksekutif Danantara lainnnya tidak boleh rangkap jabatan dengan posisi lain baik di pemerintahan maupun di badan usaha.

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan pekan ini di Jakarta,  Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menyoroti karakteristik sektor perbankan yang unik karena memiliki risiko sistemik sehingga perlakuannya perlu dibedakan dengan sektor lain.

Menurut Eko, keikutsertaan bank-bank dalam Danantara di satu sisi dapat menjadi peluang karena menambah aset kelolaan Danantara, tetapi di sisi lain menimbulkan potensi risiko besar jika tidak dikelola dengan baik.

Meski telah ditegaskan bahwa pengelolaan Danantara hanya mengambil laba atau dividen dari bank-bank tersebut tanpa menggunakan dana nasabah, tetap ada risiko bahwa bank-bank ini akan kehilangan keleluasaan dalam mengelola aset dan inovasi keuangan mereka. Selain itu, penambahan layer dalam proses pengambilan keputusan dengan masuknya bank-bank ini ke dalam Danantara dapat memperlambat inovasi dan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan mereka.

Eko mengatakan, dalam mengurangi risiko yang dapat terjadi mitigasi risiko sistemik harus menjadi prioritas utama, terutama dalam memastikan bahwa integrasi perbankan ke dalam Danantara tidak mengancam stabilitas sektor keuangan nasional. Selain itu, Danantara harus dikelola secara transparan, prudent, dan sesuai  dengan standar investasi global. Strategi investasi harus berorientasi jangka panjang, bukan hanya mengejar keuntungan jangka pendek.

Konflik Kepentingan

Menurut Andry Satrio Nugroho,  Kepala Pusat Industri Perdagangan dan Investasi  Indef,  menggarisbawahi bahwa inbreng yang dilakukan Danantara membuat posisi Danantara tidak hanya mengkapitalisasi asset dan dividen BUMN selayaknya SWF, tetapi juga bertindak seperti superholding yang mengatur operasional  perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut. Skema ini menjadikan Danantara berperan ganda sebagai  pemilik aset sekaligus operator.

“Hal ini membuka celah besar terhadap konflik kepentingan, terutama ketika BUMN sehat harus mensubsidi BUMN yang kurang dan tidak sehat di masa yang akan datang,” ujarnya.

Andry mencatat bahwa banyak BUMN yang selama ini menjadi penyumbang dividen terbesar kepada negara seperti PT Bank Rakyat Indonesia, PT Pertamina, dan PT Telkom Indonesia,  berpotensi kehilangan otonomi keuangannya karena harus ikut menanggung beban BUMN yang kurang dan tidak sehat. Selain itu, seluruh BUMN yang dialihkan kepemilikannya ke Danantara akan menciptakan risiko pembentukan institusi yang terlalu besar untuk gagal namun terlalu kompleks untuk diawasi secara efektif.

Berbeda dengan SWF pada umumnya seperti Temasek (Singapura) yang mengalokasikan lebih dari 60% investasinya ke luar negeri, Danantara tampaknya akan lebih berfokus pada proyek strategis domestik yang bersinggungan dengan agenda Presiden seperti swasembada energi dan pangan.  “Hal ini tentunya memungkinkan akan ada tarik menarik antara kepentingan politik dan proyek yang berpotensi memberikan imbal hasil (return) yang besar di masa yang akan dating,” ujarnya.

Menurut Andry, saat ini Undang-Undang tentang BUMN (UU Nomor 1 Tahun 2025) dan Peraturan Pemerintah tentang Danantara (PP 10 Tahun 2025) sudah keluar, maka sudah terlambat untuk mengintervensi Danantara dari sisi struktur kelembagaan. Saat ini yang perlu diyakinkan adalah Danantara mampu bekerja secara transparan, kredibel dan akuntabel. Selain segera mendorong menerbitkan PP Inbreng Danantara, ada tiga poin lain yang dapat menegaskan agar Danantara dapat mengedepankan prinsip-prinsip tersebut. Pertama, mendorong agar Direktur Utama (CEO) Danantara untuk mundur sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi/BKPM danDirektur Holding Operasional (COO) Danantara untuk mundur sebagai Wakil Menteri BUMN.

Kedua, menegaskan peran dari Kementerian  BUMN dan apabila tidak memiliki urgensi maka patut dibubarkan karena Danantara saat ini berperan  untuk mengendalikan operasional BUMN. Ketiga, mendorong agar Danantara segera memberikan rencana operasional dan investasi yang akan dilakukan secara transparan ke depan termasuk di dalamnya proyek-proyek strategis apa saja yang akan didanai oleh lembaga ini.

Asisten Profesor Perbankan dan Keuangan, University of Southampton, Wahyu Jatmiko menyoroti bahwa ada tiga aspek utama yang menjadi kunci keberhasilan transformasi SWF, yaitu legitimasi, strategi investasi, dan tata kelola yang kuat. Dari sisi Legitimasi dan keterlibatan stakeholders menjadi elemen penting. SWF yang sukses seperti Government Pension Fund of Norway dan Temasek memiliki konsensus politik dan sosial yang kuat sebelum SWF mereka dijalankan. “Norwegia mendirikan SWF untuk mengelola surplus minyak guna mencegah pengeluaran berlebihan dalam jangka pendek sehingga bisa dialokasikan untuk generasi mendatang,” ujar Wahyu.

Temasek di Singapura menekankan keadilan antar-generasi dan memastikan bahwa keuntungan investasi tetap memberikan manfaat bagi masa depan. Dari sisi strategi investasi, SWF global memiliki berbagai sumber dana dan pendekatan yang berbeda,  tergantung pada karakteristik ekonomi masing-masing negara. Ada SWF yang berbasis komoditas, seperti  Norwegia dan Qatar yang menggunakan surplus minyak, serta SWF berbasis non-komoditas, seperti China  dan Singapura yang mengandalkan surplus devisa dari ekspor.

Dari sisi tata kelola menurut Wahyu,  sangat penting untuk menjaga independensi dan transparansi  SWF. Negara-negara seperti Norwegia dan Singapura menerapkan pengawasan ketat oleh badan independen atau parlemen untuk memastikan akuntabilitas. Kurangnya transparansi dalam SWF dapat memicu moral hazard dan korupsi, seperti yang terjadi dalam skandal 1MDB di Malaysia. Oleh karena itu, Danantara harus memiliki struktur tata kelola yang jelas, pelaporan berkala, dan independensi dari intervensi politik.

“Tantangan terbesar Danantara saat ini adalah membangun kepercayaan dari pasar dan investor. Sentimen negatif menunjukkan adanya ketidakpastian dalam arah investasi dan tata kelola,” tutur Wahyu. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

LAPORAN BANK DUNIA MENGUNGKAPKAN: - Buruk, Kinerja Penerimaan Pajak di Indonesia

  Jakarta-Bank Dunia menyoroti buruknya kinerja penerimaan pajak Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB negeri ini termasuk yang terendah di…

Erick : Pejabat Kementerian di Himbara Wujudkan Transparansi

NERACA               Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan pengangkatan beberapa pejabat kementerian menjadi komisaris di bank…

Pemerintah Pastikan Pasokan Energi Aman dan Lancar

NERACA Jakarta - Pemerintah memastikan pasokan energi berupa BBM, LPG, dan listrik, hingga mitigasi kebencanaan geologi selama Hari Raya Idul…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

LAPORAN BANK DUNIA MENGUNGKAPKAN: - Buruk, Kinerja Penerimaan Pajak di Indonesia

  Jakarta-Bank Dunia menyoroti buruknya kinerja penerimaan pajak Indonesia. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB negeri ini termasuk yang terendah di…

Erick : Pejabat Kementerian di Himbara Wujudkan Transparansi

NERACA               Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan pengangkatan beberapa pejabat kementerian menjadi komisaris di bank…

Pemerintah Pastikan Pasokan Energi Aman dan Lancar

NERACA Jakarta - Pemerintah memastikan pasokan energi berupa BBM, LPG, dan listrik, hingga mitigasi kebencanaan geologi selama Hari Raya Idul…