Hambat Pertumbuhan Ekonomi - PERGESERAN SEKTOR PERTANIAN KE INDUSTRI

Jakarta – Lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,21% pada kuartal I-2014 diindikasikan akibat adanya perubahan akselerasi dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri), tanpa disertai proses transformasi yang komprehensif di tengah sejumlah faktor penyebab lainnya.

NERACA  

Pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal I-2014 mengalami perlambatan dan meleset jauh dari prediksi banyak orang, di level 5,21%. Menurut BPS, ada empat faktor penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Ke-4 faktor penyebab itu adalah pertama, kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral mentah. Kedua, penurunan produksi sektor pertanian khususnya tanaman bahan makanan karena cuaca buruk. Ketiga, adanya perlambatan di sektor perdagangan akibat terdampak kebijakan di sektor pertambangan, dan keempat, adalah perlambatan laju pertumbuhan di sektor perbankan.

Menurut guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Prof  Dr Ahmad Erani Yustika, permasalahan yang timbul dalam sektor pertanian dan industri di Indonesia adalah bagaimana mempercepat proses transformasi perekonomian dengan memaksimalkan dampak positif yang  bisa ditimbulkan, sekaligus meminimalkan kemungkinan negatif yang tidak diinginkan.

"Inilah permasalahan dan tantangan yang harus dijawab, dalam hal ini sangat tidak bijak jika untuk menghindari dampak negatif, justru proses transformasinya yang ditolak,"ujar dia kepada Neraca, Rabu (7/5).

Menurut Erani,  terbentuknya masyarakat industri dan jasa sesungguhnya  sudah  menjadi  political will pemerintah dengan mewujudkan industri yang maju dengan didukung oleh pertanian yang tangguh. 

"Sektor pertanian telah memainkan peranan penting di dalam pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Di peringkat awal, penanaman tanaman makanan seperti padi, sayur-sayuran, buah-buahan serta kegiatan menangkap ikan dan menternak telah menyediakan sumber makanan, mewujudkan peluang pekerjaan dan pendapatan para penduduk,"paparnya.

Artinya, sambung Erani,  produk unggulan maupun andalan pemasukan devisa  secara perlahan namun pasti menunjukkan pergeseran dari sektor primer, sekunder dan tersier. Hal ini secara langsung juga membawa pengaruh  terhadap perubahan struktur sosial masyarakat, dari budaya pertanian tradisional menjadi budaya industri modern.
  
"Perubahan atau tranformasi yang terjadi dalam struktur ekonomi maupun struktur sosial ini sebenarnya merupakan suatu gejala yang sangat wajar  bagi perekonomian suatu negara di manapun, seiring dengan perkembangan teknologi industri serta  permintaan masyarakat modern terhadap  jasa-jasa  pelayanan  umum,"kata Erani.  

Oleh karena itu, munculnya dampak negatif  tidak harus ditakuti, sebab seluruh pelaku ekonomi nasional (petani dan industri) maupun pihak pemerintah sendiri mesti memiliki keyakinan yang kuat bahwa dampak positif yang ada lebih banyak dibanding dengan dampak negatifnya. 

Dengan demikian kinerja pembangunan pertanian dan industri tidak lagi dilihat hanya semata-mata dari kontribusinya terhadap perekonomian nasional tapi juga peranan artikulatifnya, yaitu keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang dan peranan promotifnya yaitu merangsang pertumbuhan  sektor lain secara tidak langsung dengan menciptakan lingkungan pembangunan yang mantap.

Ketersediaan Pangan
Pengamat pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menuturkan,  bahwa semakin maju suatu negara, maka masyarakat pun akan bergeser dari yang mengandalkan sektor pertanian menjadi perdagangan, industri, dan jasa. Bahkan, penurunan rumah tangga petani itu dipicu oleh pergeseran ekonomi Indonesia dari pertanian menuju industrialisasi, namun kalau jumlah rumah tangga petani menurun, sejauh mana langkah negara menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya di masa mendatang.

"Oleh karenanya, melihat begitu pentingnya sektor pertanian untuk menjamin ketersediaan pangan di Indonesia maka perlu adanya peningkatan sektor pertanian ini dibandingkan sektor lainnya melalui kebijakan pemerintah yang tetap mengandalkan sektor ini dalam menumbuhkan perekonomian bangsa," ujarnya.

Dia juga mengatakan dukungan pemerintah terhadap pembangunan sektor pertanian nyaris tidak ada sehingga produktivitas pertanian sangat rendah. Hal ini bisa dilihat dari pemerintah Indonesia sangat agresif memangkas subsidi untuk pertanian, menghapuskan proteksi, dan menerapkan liberalisasi impor pangan.

"Meski dalam menumbuhkan perekonomian melalui dorongan sektor industrilisasi yang sebenarnya tidak ada masalah meskipun pemerintah belum tentu siap untuk meningkatkan sektor ini, namun sektor pertanian harus tetap menjadi penopang utama dalam pertumbuhan ekonomi," ujar Bustanul.

Bustanul menjelaskan sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting dan menentukan, baik dalam soal pangan maupun ekonomi. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin meningkatkan bobot pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan, sektor pertanian adalah kuncinya.

Pendapatan dan daya beli pekerja di sektor pertanian harus ditingkatkan. Namun, terdapat permasalahan utama yaitu politik pangan atau pertanian yang tidak jelas arahnya. Tidak jelasnya arah politik pangan nasional menyebabkan terpinggirkannya pembangunan pertanian Indonesia secara politik.
 
“Target politik swasembada pangan agak menyesatkan, apalagi masih kerap ditemui dominasi pangan impor atau fenomena ketagihan impor,” ujarnya.

Menurut pengamat ekonomi UI Telisa Aulia Falianty, memasuki tahun pemilu diproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6%, mengingat diperkirakan daya beli konsumen bakal meningkat tapi faktanya berkata lain, data BPS malah jauh lebih rendah yang hanya pada 5,21%.  “Tahun pemilu semula diperkirakan akan menjadikan daya beli konsumen tinggi, ternyata faktanya sebaliknya malah tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi,” katanya kemarin.

Perlambatan ekonomi ini bisa saja terjadi karena memang suku bunga (BI Rate) yang tinggi dan dampak dari tapering off bank sentral AS yang mengakibatkan daya beli masyarakat rendah. “Ini karena suku bunga tinggi, dan dampak tapering off sehingga tidak dapat mendongkrak daya beli masyarakat meski tahun pemilu,” imbuhnya.

Oleh karenanya, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target pemerintah yang berada di angka 6% upaya  yang harus dilakukan adalah hillirisasi industri, terutama industri agriculture mengingat Indonesia negara agraris. “Selama ini ekspor nasional masih berbentuk bahan baku yang tidak ternilai, jika pemerintah mampu membangun hilirisasi industri terutama disektor pertanian, perikanan ekspor akan terkerek naik, pertumbuhan industri bisa berada di level dua digit dan secara makro  pertumbuhan bisa berada di kisaran  7 %,” ujarnya.

Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Lukita D. Tuwo sempat menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa memungkiri karena telah terjadi pergeseran dari sektor primer ke sektor sekunder. Indikator utamanya adalah pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor perdagangan dan sektor sekunder lainnya.

Dia pun berharap agar semua sektor baik sektor primer, sekunder maupun tersier bisa berjalan beriring dan saling berkaitan satu sama lainnya. “Kita harus memperkuat primer, supaya menghasilkan produk primer yang baik, sehingga begitu diolah di industri pengolahan bisa menghasilkan nilai tambah yang begitu besar,” kata Lukita.

Untuk sektor primer, Lukita menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong agar dilakukan pengembangan di dalam negeri. Salah satu contohnya adalah mineral. Menurut dia, sektor industri primer adalah sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran. "Penyerapan (tenaga kerja) yang tinggi biasanya dari sektor industri dan jasa-jasa yang sifatnya modern," ujarnya. bari/iwan/agus/mohar


BERITA TERKAIT

PENUH TANTANGAN EKONOMI 2025 - Indonesia Makin Bergantung pada China

Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…

UNTUK MELINDUNGI PETERNAK LOKAL: - Pemerintah Wacanakan Aturan Impor Susu

NERACA Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan impor susu dalam negeri yang menjadi syarat pengusaha untuk mengimpor susu.…

DAMPAK NEGATIF KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Berpotensi Terjadi PHK di Kalangan Pekerja dan Buruh

Jakarta-Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PENUH TANTANGAN EKONOMI 2025 - Indonesia Makin Bergantung pada China

Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…

UNTUK MELINDUNGI PETERNAK LOKAL: - Pemerintah Wacanakan Aturan Impor Susu

NERACA Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan impor susu dalam negeri yang menjadi syarat pengusaha untuk mengimpor susu.…

DAMPAK NEGATIF KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Berpotensi Terjadi PHK di Kalangan Pekerja dan Buruh

Jakarta-Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi…