Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Pemerintahan Prabowo menilai, terjadi tumpang-tindih kewenangan penjagaan laut. Sehingga, untuk mengatasinya, perlu didorong adanya rancangan Undang-Undang Keamanan Laut yang didasari kajian mendalam. Menurut Menko Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, melalui RUU dimaksud akan ditubuhkanlah sea and coast guard Indonesia. Yusril menapaktilasi reasoning atau alasan yang pernah disampaikan oleh Mahfud MD, termasuk Luhut B Pandjaitan saat keduanya menjabat menteri koordinator dalam kabinet Presiden Joko Widodo terkait isu coast guard Indonesia. Mereka malah sempat kala itu mewacanakan omnibus law keamanan laut. Drafnya pun sudah di tangan parlemen, namun sayang tidak jelas pembahasannya hingga keduanya selesai bertugas sebagai menko.
Perlu atau tidaknya sebuah negara memiliki coast guard sangat tergantung kepada eksistensinya dalam praktik dalam sebuah negara dalam kurun waktu yang cukup lama. Coast guard AS atau USCG contohnya, sudah ada cikal bakalnya sekitar dua ratus tahun lebih. Pada awalnya, lembaga ini (dalam hal ini United States Revenue Cutter Service) bertugas mengumpulkan pungutan atau tarif dan merupakan kekuatan pertahanan maritim satu-satunya di sana sebelum angkatan lautnya didirikan pada 1798. Ada pula United States Life-Saving Service yang fokus pada keselamatan jiwa di laut dan ditempatkan di sepanjang pantai Negeri Paman Sam. Pada 1915, keduanya dilebur menjadi satu: USCG.
Japan Coast Guard (JCG) eksistensinya juga sudah melintasi ruang waktu yang cukup lama, setidaknya pelaksanaan misi atau tugasnya. Dicatat oleh sejarah, fungsi coast guard di Jepang dilaksanakan oleh angkatan laut kekaisaran hingga negeri ini bertekuk lutut di bawah AS dan sekutunya tak lama setelah usainya PD II pada era 1940-an. Adalah Capt. Frank M. Meals, perwira USCG, yang ditugaskan oleh Negeri Paman Sam untuk “mendesain” untuk entitas coast guard buat Jepang pascaperang. Dengan sendirinya JCG amat sangat dipengaruhi oleh model AS yang sepenuhnya meniru USCG.
Sementara itu, di Indonesia, eksistensi atau praktik ke-coast guard-an telah ada sejak lama pula, dari masa pemerintahan kolonial Belanda. Instansinya adalah gouvernements marine; sebuah agensi pemerintahan di luar otoritas gubernur jenderal saat itu. Ia merupakan “negara dalam negara” dalam artian kepalanya tidak melapor kepada gubjen tapi langsung ke ratu. Begitu Indonesia merdeka, setelah sempat diduduki Jepang beberapa tahun, lembaga ini diletakan di Kementerian Perhubungan. Hingga kini Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, disingkat KPLP, tetap di bawah kendali Menteri Perhubungan.
Setelah republik ini makin bertumbuh, kemudian berdirilah institusi negara yang lain seperti Polisi Perairan, Bea Cukai, Perikanan (termasuk TNI Angkatan Laut) yang melakukan tugas coast guard. Adapun tugas coast guard secara umum di seluruh dunia mencakup: search and rescue-SAR, penegakan hukum di laut, perlindungan lingkungan kemaritiman dan tugas-tugas lainnya. Mengetahui bahwa semua instansi ini sering “berjumpa” di laut saat melaksanakan tugasnya masing-masing, pemerintahan Presiden Soeharto kemudian mendirikan Badan Koordinasi Keamanan Laut pada 1972 melalui Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung.
Tidak ada narasi tumpang-tindih kewenangan di antara instansi di atas seperti yang sering disuarakan oleh pejabat yang menghuni Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sejak Presiden SBY memimpin. Melalui Inpres yang dikeluarkannya pada 2005, Bakorkamla diberi status bertanggung jawab langsung kepada presiden, tidak lagi tergantung kepada pleno para menteri yang disebut sebelumnya.
Apa yang dibunyikan Yusril bahwa ada tumpang-tindih penegakan keamanan maritim, dilanjutkan dengan pembuatan UU baru dan selanjutnya membuat institusi baru (atau memperkuat Bakamla) adalah cerita usang yang terus diulang. Dulu, ketika narasi ini dibunyikan di era Presiden SBY, akhirnya Indonesia memiliki Bakamla. Lantas, apa yang kita dapat dengan adanya lembaga tersebut? Bakamla menjadi institusi yang kerjanya juga menangkapi kapal-kapal niaga layaknya instansi lain yang sudah ada terlebih dahulu. Padahal, niat awalnya Bakamla akan mengakhiri perilaku tangkap-menangkap itu.
Apakah Pak Harto tidak pernah terpikir untuk membuat sebuah lembaga coast guard dengan filosofi single agency multitask? Saya yakin beliau mengetahui perihal ini. Namun presiden kedua itu tidak mewujudkannya. Barangkali ia berpikir bahwa coast guard tidak cocok dengan situasi Indonesia.
Yang kita perlukan sekarang hanya sebuah badan koordinasi yang mengintegrasikan instansi penegakan hukum di laut yang ada agar lebih efisien sesuai dengan semangat pemerintahan Presiden Prabowo. Jadi, alih-alih membuat badan baru, Bakamla dikembalikan saja fungsinya sebagai badan koordinasi.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen penting dalam mengelola perekonomian…
Pembangunan Refinery Jadi Game Changer Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung upaya Kementerian Energi dan Sumber…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Bulan suci Ramadhan akan berakhir dalam beberapa hari lagi di depan mata kita. Meski…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen penting dalam mengelola perekonomian…
Pembangunan Refinery Jadi Game Changer Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung upaya Kementerian Energi dan Sumber…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Pemerintahan Prabowo menilai, terjadi tumpang-tindih kewenangan penjagaan laut. Sehingga,…