KPK Terima 561 Laporan Gratifikasi Terkait Idul Fitri 1446 H

NERACA

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga 10 April 2025 telah menerima 561 laporan gratifikasi terkait dengan Idul Fitri 1446 H.

“Pelaporan tersebut disampaikan oleh 453 pelapor yang berasal dari 106 instansi,” ujar anggota Tim Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (11/4).

Budi menjelaskan bahwa 561 laporan tersebut terdiri atas 520 laporan penerimaan gratifikasi, dan 41 laporan penolakan penerimaan gratifikasi.

“Adapun jumlah objek gratifikasi atas seluruh laporan tersebut sebanyak 605 dengan total senilai Rp341 juta,” katanya.

Lebih lanjut dia merincikan bahwa 605 objek gratifikasi tersebut terdiri atas 182 tiket perjalanan, fasilitas penginapan, atau fasilitas lainnya dengan nilai Rp112 juta; 16 cinderamata atau plakat senilai Rp7 juta; sembilan voucher, uang tunai, atau alat tukar lain dengan nilai mencapai Rp9,9 juta.

“KPK juga menerima laporan atas satu objek gratifikasi lainnya senilai Rp100 ribu, sehingga total nilai pelaporan objek gratifikasi mencapai Rp341 juta,” ujarnya.

Sementara itu, dia mengatakan bahwa KPK selanjutnya akan menganalisis laporan tersebut untuk kemudian ditetapkan status gratifikasinya.

“Apakah termasuk yang wajib lapor dan diusulkan menjadi milik negara, atau merupakan gratifikasi yang tidak wajib lapor dan dapat menjadi milik pelapor,” jelasnya.

Adapun dia mengatakan bahwa KPK saat ini masih menerima laporan gratifikasi terkait Idul Fitri karena batas waktu pelaporan penerimaan atau penolakan gratifikasi sampai dengan 30 hari kerja sejak penerimaan gratifikasi dilakukan.

“KPK tetap mengimbau kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menolak segala bentuk gratifikasi sejak awal. Namun apabila terlanjur menerima, maka mereka wajib melaporkan melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL) atau kepada Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) pada masing-masing instansi,” katanya mengingatkan.

Kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa sanksi telat pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) diberikan oleh institusi penyelenggara negara atau wajib lapor (PN/WL).

"Sanksi bisa diberikan oleh para pimpinan ataupun satuan pengawas internal di masing-masing instansi," ujar Budi Prasetyo.

Sementara itu, Budi menjelaskan bahwa KPK mendorong pimpinan instansi tersebut untuk menggunakan LHKPN sebagai salah satu instrumen penilaian.

Dalam promosi ataupun mutasi jabatan di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, misalnya, bisa memperhatikan track record (rekam jejak) dari kepatuhan LHKPN dari setiap pejabat atau penyelenggara negara.

Menurut dia, hal tersebut dapat diterapkan oleh instansi terkait sebab LHKPN merupakan salah satu instrumen pencegahan korupsi.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (10/4), mengemukakan bahwa hingga Rabu (9/4) terdapat 16.867 dari 416.723 PN/WL yang belum menyampaikan LHKPN 2024. Dengan demikian, sebanyak 399.925 PN/WL telah lapor LHKPN.

Atas setiap pelaporan LHKPN tersebut, kata dia, KPK selanjutnya melakukan verifikasi administratif.

"Jika sudah dinyatakan lengkap, LHKPN akan dipublikasikan agar masyarakat dapat mengaksesnya secara terbuka sebagai bentuk transparansi," kata Tessa.

Adapun batas akhir pelaporan LHKPN adalah pada hari Jumat (11/4) pukul 23.59 WIB.

Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi dapat melibatkan banyak kegiatan yang meliputi penyuapan, penjualan pengaruh dan penggelapan dan mungkin juga melibatkan praktik yang legal di banyak negara. Korupsi politik terjadi ketika pejabat atau pegawai pemerintah lainnya bertindak dengan kapasitas resmi untuk keuntungan pribadi. Korupsi paling umum terjadi di kleptokrasi, oligarki, negara-narkoba, dan negara bagian mafia.

Korupsi dan kejahatan adalah kejadian sosiologis endemik yang muncul dengan frekuensi reguler di hampir semua negara pada skala global dalam berbagai tingkat dan proporsi. Data terbaru menunjukkan korupsi sedang meningkat. Setiap negara mengalokasikan sumber daya domestik untuk pengendalian dan pengaturan korupsi dan pencegahan kejahatan. Ant

 

BERITA TERKAIT

Legislator: Hakim Korupsi Bukan Masalah Sistem, Tetapi Mentalitas

NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas mengemukakan hakim yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi karena masalah integritas dan…

Menekraf Dukung Lisensi Merek Lokal Jadi Solusi Perlindungan KI

NERACA Jakarta - Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) Teuku Riefky Harsya mendukung lisensi merek dan fasilitas kekayaan intelektual sebagai bentuk perlindungan…

MA Siapkan Smart Majelis di Seluruh Pengadilan

NERACA Jakarta - Mahkamah Agung menyiapkan Smart Majelis atau aplikasi penunjukan majelis hakim secara robotik pada seluruh pengadilan di Indonesia…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Legislator: Hakim Korupsi Bukan Masalah Sistem, Tetapi Mentalitas

NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas mengemukakan hakim yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi karena masalah integritas dan…

Menekraf Dukung Lisensi Merek Lokal Jadi Solusi Perlindungan KI

NERACA Jakarta - Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) Teuku Riefky Harsya mendukung lisensi merek dan fasilitas kekayaan intelektual sebagai bentuk perlindungan…

MA Siapkan Smart Majelis di Seluruh Pengadilan

NERACA Jakarta - Mahkamah Agung menyiapkan Smart Majelis atau aplikasi penunjukan majelis hakim secara robotik pada seluruh pengadilan di Indonesia…