PHK Massal, Sinyal Ekonomi Baik-Baik?

 

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat

Ekonom  UPN Veteran Jakarta

 

Dalam enam bulan terakhir, Indonesia dilanda gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin besar. Dari industri tekstil hingga teknologi, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan mereka dalam waktu singkat.

Data yang terkumpul menunjukkan bahwa sejak September 2024 hingga Februari 2025, perusahaan-perusahaan besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dengan 10.965 pekerja terkena PHK, PT Victory Chingluh Indonesia yang memangkas 2.400 karyawannya, serta startup eFishery yang memecat hampir 90% dari total tenaga kerjanya, yakni sekitar 1.350 orang.

Fenomena ini bukan hanya mencerminkan masalah internal di perusahaan, tetapi juga menunjukkan adanya persoalan struktural yang lebih besar dalam perekonomian nasional. Di sektor manufaktur, industri tekstil dan alas kaki menjadi yang paling terpukul.

PT Sanken Indonesia memberhentikan 459 pekerja karena kesulitan bersaing dengan produk impor, sementara PT Danbi International yang bergerak di industri bulu mata ekspor menutup pabriknya dan melakukan PHK terhadap 2.079 pekerja.  Sektor elektronik pun tidak luput dari badai PHK, dengan PT Yamaha Music Manufacturing Asia merumahkan 200 pekerja.

Bahkan, perusahaan startup seperti Flip dan Tokopedia-TikTok Shop juga tak mampu menghindari pemangkasan tenaga kerja akibat reorganisasi dan efisiensi bisnis. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa total korban PHK nasional pada 2024 mencapai 77.965 orang, meningkat lebih dari 20% dibandingkan tahun sebelumnya.

Mengapa Gelombang PHK Terjadi?

Penyebab utama gelombang PHK ini bukan hanya satu faktor tunggal, melainkan gabungan dari berbagai dinamika ekonomi yang terjadi baik di tingkat domestik maupun global. Pertama, perlambatan ekonomi global sangat berpengaruh terhadap permintaan ekspor Indonesia. Melemahnya perekonomian di negara tujuan ekspor, seperti Amerika Serikat dan Eropa, menyebabkan turunnya pesanan untuk produk manufaktur Indonesia.

Selain itu, sektor startup dan teknologi juga mengalami guncangan besar. Setelah fase ekspansi besar-besaran selama pandemi COVID-19, kini banyak perusahaan teknologi mulai melakukan efisiensi akibat kesulitan pendanaan dan pergeseran model bisnis.

Kasus eFishery adalah contoh nyata bagaimana perusahaan yang sebelumnya berkembang pesat kini harus merumahkan hampir semua karyawannya akibat masalah internal dan penurunan investasi. Perusahaan fintech seperti Flip juga mengalami hal serupa, dengan PHK besar sebagai langkah untuk menekan biaya operasional dan bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.

Namun, di tengah meningkatnya angka PHK, pemerintah tetap optimis dengan kondisi ekonomi nasional. Laporan resmi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5%, dan inflasi relatif terkendali.

Namun, data makroekonomi semacam ini tidak serta-merta mencerminkan kondisi riil yang dihadapi dunia usaha dan para pekerja. Sementara industri besar mengalami efisiensi tenaga kerja, para pekerja yang terkena PHK harus berjuang di tengah semakin ketatnya pasar tenaga kerja.

Peningkatan angka pengangguran dan menurunnya daya beli masyarakat bisa menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dalam jangka menengah. Pemerintah memang telah mengambil beberapa langkah mitigasi untuk menekan dampak PHK, seperti memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), di mana pekerja yang terkena PHK berhak mendapatkan 60% dari gaji terakhir mereka selama enam bulan.

Selain itu, ada juga rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK yang bertugas untuk mengidentifikasi dan merespons lonjakan PHK di berbagai sektor. Upaya ini memang patut diapresiasi, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan gelombang PHK terus terjadi.

BERITA TERKAIT

Ramadhan 2025: Konsumsi Tetap Naik, Tak Semeriah Tahun Lalu

  Oleh:  Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta   Ramadhan selalu menjadi momen puncak konsumsi bagi masyarakat Indonesia. Setiap…

Koperasi Merah Putih Desa

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Untuk memutus benang rantai kemiskinan, meningkatkan ekonomi  dan  kesejahteraan masyarakat desa, pemerintah di…

Menakar Beban APBN, Jaga Kesinambungan Fiskal

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Beban APBN 2025 diperkirakan akan lebih berat  dari saat disetujui pada Oktober…

BERITA LAINNYA DI

Ramadhan 2025: Konsumsi Tetap Naik, Tak Semeriah Tahun Lalu

  Oleh:  Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta   Ramadhan selalu menjadi momen puncak konsumsi bagi masyarakat Indonesia. Setiap…

Koperasi Merah Putih Desa

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Untuk memutus benang rantai kemiskinan, meningkatkan ekonomi  dan  kesejahteraan masyarakat desa, pemerintah di…

Menakar Beban APBN, Jaga Kesinambungan Fiskal

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Beban APBN 2025 diperkirakan akan lebih berat  dari saat disetujui pada Oktober…