NERACA
Palu - Akademisi dari Universitas Tadulako (Untad) Palu Aminuddin Kasim menegaskan media memiliki peran krusial dalam pengungkapan kasus korupsi.
“Mens rea atau niat jahat dalam tindak pidana korupsi sering kali berawal dari kebijakan yang menyimpang. Oleh karena itu, pengawasan terhadap kebijakan publik sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang,” katanya di Palu, dikutip Antara, kemarin.
Guru Besar Hukum Tata Negara menjelaskan aparat penegak hukum sering menjadikan media sebagai barometer, dalam mendeteksi adanya pelanggaran hukum, termasuk kasus-kasus korupsi yang merugikan negara.
Penegasan itu disampaikan Aminuddin dalam Pelatihan Jurnalistik Investigasi dan Liputan Korupsi yang diselenggarakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah.
Ia menekankan bahwa meskipun media berperan penting dalam menyoroti kasus korupsi, aparat penegak hukum tidak boleh hanya bertindak berdasarkan sorotan media.
“Aparat harus tetap bekerja secara profesional dan tidak menunggu kasus menjadi viral dulu baru ditindaklanjuti,” katanya menegaskan.
Lanjut dia, fenomena “no viral no justice” atau “tidak viral, tidak ada keadilan” menjadi bukti nyata dari keresahan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Banyak kasus yang baru mendapat perhatian setelah viral di media sosial, menunjukkan bahwa tekanan publik menjadi faktor pendorong dalam proses hukum.
“Kondisi ini mencerminkan adanya celah dalam sistem hukum kita. Seharusnya hukum berjalan independen tanpa harus bergantung pada tekanan publik atau viralitas sebuah kasus,” jelasnya.
Kata dia, banyak kasus hukum yang mendapat sorotan luas di dunia maya sering kali memaksa aparat bertindak lebih cepat dan tegas. Meskipun hal ini berdampak positif dalam mempercepat penegakan hukum, di sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan lemahnya inisiatif aparat dalam menjalankan tugasnya secara profesional dan independen.
“Jangan sampai muncul kesan bahwa tanpa tekanan publik, kasus-kasus besar tidak akan tersentuh. Ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum,” katanya.
Dalam konteks itu, peran media menjadi semakin vital. Selain sebagai alat kontrol sosial, media juga berperan dalam membentuk opini publik dan menekan pemerintah serta aparat hukum untuk bertindak tegas.
“Media, termasuk media sosial, kini menjadi sarana utama dalam mengungkap dan mempublikasikan kasus-kasus korupsi,” katanya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tugas media dan aparat penegak hukum semata.
Menurutnya, diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai elemen lainnya untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel.
“Kita harus membangun kesadaran kolektif bahwa korupsi merugikan semua pihak. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan yang sistematis dan melibatkan berbagai pihak,” pesannya. Ant
NERACA Jakarta - Mahkamah Agung (MA) berhasil memutus sebanyak 30.908 perkara sepanjang tahun 2024 dari total 31.138 beban perkara sehingga…
NERACA Jakarta - Kementerian Hukum (Kemenkum) menyosialisasikan layanan hukum yang ada di lingkungan Kemenkum dan transformasi organisasi yang sedang berjalan…
NERACA Jakarta - Ombudsman meminta dukungan rekonstruksi anggaran pada program efisiensi pemerintah dari Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang…
NERACA Jakarta - Mahkamah Agung (MA) berhasil memutus sebanyak 30.908 perkara sepanjang tahun 2024 dari total 31.138 beban perkara sehingga…
NERACA Palu - Akademisi dari Universitas Tadulako (Untad) Palu Aminuddin Kasim menegaskan media memiliki peran krusial dalam pengungkapan kasus korupsi.…
NERACA Jakarta - Kementerian Hukum (Kemenkum) menyosialisasikan layanan hukum yang ada di lingkungan Kemenkum dan transformasi organisasi yang sedang berjalan…