BI INTERVENSI DI PASAR NDF REDAM GEJOLAK RUPIAH - Prabowo: Tenang, Kita Punya Kekuatan Berunding

Jakarta-Meski Indonesia terdampak oleh kebijakan tarif yang dikenakan oleh Presiden AS Donald Trump, Presiden Prabowo Subianto mengaku pemerintahan tetap tenang dan optimis. "Seluruh dunia sedang diguncang oleh banyak masalah, termasuk perseteruan antara negara-negara besar. Perang dagang kita juga kena. Tapi kita tenang. Kita punya kekuatan dan kita akan berunding," ujarnya di Kecamatan Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat, Senin (7/4).

NERACA   

Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan membuka perundingan dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.  Menurut dia,  pemerintah  ingin hubungan yang baik, adil, dan setara dengan setiap negara.  Indonesia tidak merasa terancam atau khawatir, meskipun ada tantangan yang dihadapi dalam hubungan dagang internasional.

Presiden juga menekankan pentingnya prinsip resiprositas dalam hubungan internasional. “Jadi apa yang mereka minta, kalau masuk akal, wajib kita hormati. Pemimpin-pemimpin Amerika memikirkan kepentingan rakyat Amerika, dan kita memikirkan kepentingan rakyat kita," ungkap Prabowo seperti dikutip Bisnis.com.

Prabowo optimis Indonesia dapat mengatasi segala tantangan dengan kekuatan dan keteguhan bangsa. “Tidak perlu ada rasa kecewa, tidak perlu khawatir. Kita percaya dengan kekuatan kita sendiri. Kalau ada tantangan, kita hadapi dengan gagah dan tegar. Mungkin ada beberapa saat yang sulit, tapi kita yakin akan bangkit dengan lebih baik," tegas dia. 

Sebelumnya diberitakan, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif terbaru pada 2 April 2025. Trump menerapkan tarif minimal 10 persen terhadap semua impor barang dari seluruh dunia, dan Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen.

Sementara itu, tarif resiprokal yang dikenakan AS terhadap negara-negara ASEAN bervariasi. Malaysia dan Brunei Darussalam dikenakan tarif 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Kamboja 49 persen, Laos 48 persen, Vietnam 46 persen, Myanmar 44 persen, dan Thailand 36 persen.

Di sisi lain, kurs rupiah terhadap dollar AS di pasar non-deliverable forward (NDF) bahkan sempat menembus 17.000 per dollar AS. NDF merupakan kontrak derivatif valas yang memungkinkan dua pihak menukar mata uang dengan kurs tertentu di masa mendatang. Nilai tukar rupiah sebesar itu merupakan   terburuk, setelah  titik terendah di level Rp 16.650 pada masa krisis moneter 1998.

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk melakukan intervensi di pasar  NDF guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, menyusul tekanan global yang meningkat akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

"Tekanan terhadap nilai tukar rupiah telah terjadi di pasar off-shore (NDF) di tengah libur panjang pasar domestik dalam rangka Idulfitri 1446 Hijriah," ujar Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, di Jakarta, kemarin ( 7/4). 

Sebelumnya, kurs rupiah melemah hingga Rp17.171 per dolar AS pada Jumat (4/4) di pasar NDF. Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg kemarin  pk. 14.40 WIB, rupiah berada di posisi Rp16.804 per dolar AS.

Sebagai bentuk stabilisasi, BI melakukan intervensi secara berkesinambungan di pasar off-shore Asia, Eropa, dan New York. Intervensi juga akan dilanjutkan secara agresif di pasar domestik mulai pembukaan perdagangan pada 8 April 2025, mencakup intervensi di pasar valas (spot dan domestic NDF/DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Selain itu, BI juga akan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah untuk memastikan kecukupan dana di pasar uang dan sistem perbankan nasional. "Serangkaian langkah-langkah Bank Indonesia ini ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah serta menjaga kepercayaan pelaku pasar dan investor terhadap Indonesia," ujar  Ramdan.

Sebagai informasi, NDF adalah kontrak derivatif valuta asing yang digunakan untuk lindung nilai (hedging), di mana penyelesaian transaksinya dilakukan secara tunai (cash settlement) tanpa perpindahan fisik mata uang.

Narasi Klasik

Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom  UPN Veteran Jakarta, Bank Indonesia (BI) kembali mengulangi narasi klasik yaitu, tekanan eksternal adalah biang kerok pelemahan rupiah ke level Rp17.000 per dolar AS. Namun, klaim ini mengabaikan fakta bahwa negara-negara dengan fundamental ekonomi domestik solid—seperti Vietnam, Filipina, atau India—tidak mengalami depresiasi mata uangnya seburuk Indonesia.

“Rupiah justru menjadi mata uang terlemah di Asia Tenggara pada April 2025, padahal gejolak tarif AS-China berdampak global. Ini bukan sekadar persoalan eksternal, melainkan ketidaksiapan BI dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang tahan banting,” ujar Achmad dalam keterangan tertulisnya kepada Neraca, kemarin. 

BI mengumumkan intervensi di pasar ND) pada 7 April 2025, tepat setelah Rupiah terjun bebas mendekati level  Rp17.200 di pasar luar negeri.  Langkah ini menurut dia, terkesan berulang namun hasilnya kurang memuaskan hanya sebagai upaya damage control yang tidak efektif, bukan antisipasi matang.  “Padahal, sejak awal Maret 2025, sinyal kenaikan tarif AS-China sudah jelas,” ujarnya.

Achmad mengatakan, ketika AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April, BI seharusnya langsung mengaktifkan segenap langkah antisipasi (protokol) depresiasi lebih dalam, bukan menunggu liburan panjang hingga Rupiah terjerembap di level terendah sejarah. 

Dia membandingkan dengan kebijakan Bank Sentral Filipina (BSP)  dan Bank Sentral lainnya menunjukkan perbedaan mencolok.  Sejak AS mulai mengancam kenaikan tarif pada Februari 2025, BSP telah memperkuat cadangan devisa melalui forward contracts.

Alhasil, Peso Filipina hanya terdepresiasi 6,8% pada periode 1  Februari- 7 April 2025, sementara Rupiah merosot 13,2% pada periode yang sama. BI, di sisi lain, bereaksi di NDF setelah depresiasi besar terjadi—bukti nyata ketidaksiapan,” ujar dosen PTN itu. 

Meskipun demikian, kebijakan moneter adalah kebijakan yang bersifat kompleks dan responsif terhadap berbagai faktor, dan perbedaan strategi dengan bank sentral lain bukti independensi bank sentral. Ada pengambil kebijakan (policy makers) yang tepat (smart) dan ada juga yang tidak tepat, itu semua diukur dari kinerja penurunan depresiasi mata uangnya.

Achmad mengingatkan, setiap depresiasi Rupiah secara otomatis menggelembungkan nilai utang dalam mata uang lokal. Beban pembayaran bunga dan pokok utang, baik oleh pemerintah (yang menggerus APBN) maupun korporasi swasta (yang menggerus laba), membengkak secara drastis.

“Ini bukan lagi sekadar risiko teoritis, ini adalah kenyataan pahit yang menekan likuiditas dan solvabilitas banyak pihak. ULN dalam valas, sementara pendapatan mayoritas dalam Rupiah, adalah resep klasik menuju krisis jika nilai tukar terus bergejolak liar,” ujarnya. bari/mohar/fba  

BERITA TERKAIT

MENKO PEREKONOMIAN AIRLANGGA HARTARTO: - RI Negara Pertama Lakukan Negosiasi Tarif di AS

  Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi perihal tarif…

RI Perlu Siapkan Mitigasi Skenario Terburuk Jika Negosiasi Gagal

    NERACA Jakarta – Pemerintah akan mengirim sejumlah menteri untuk melakukan negosiasi soal tarif timbal balik atau resiprokal yang…

Pemerintah Relaksasi Aturan TKDN dan Dorong Sektor Migas

NERACA Jakarta – Perang dagang yang digaungkan Donald Trump, presiden Amerika Serikat sangat terasa dampaknya terhadap negara-negara berkembang dan termasuk.…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENKO PEREKONOMIAN AIRLANGGA HARTARTO: - RI Negara Pertama Lakukan Negosiasi Tarif di AS

  Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi perihal tarif…

RI Perlu Siapkan Mitigasi Skenario Terburuk Jika Negosiasi Gagal

    NERACA Jakarta – Pemerintah akan mengirim sejumlah menteri untuk melakukan negosiasi soal tarif timbal balik atau resiprokal yang…

Pemerintah Relaksasi Aturan TKDN dan Dorong Sektor Migas

NERACA Jakarta – Perang dagang yang digaungkan Donald Trump, presiden Amerika Serikat sangat terasa dampaknya terhadap negara-negara berkembang dan termasuk.…