Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik & Advokat
Kasus dugaan korupsi pada anak usaha grup PT Pertamina menambah panjang deretan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tersandung kasus fraud ditanah air. Bahkan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (go public) sekalipun tak luput dari kasus tersebut. Publik pun bertanya-tanya grup Pertamina sebagai BUMN kelas kakap dengan jajaran Direksi yang dianggap bagus, berusia relatif muda dan dilengkapi dengan organ pengawasan Dewan Komisaris dan Komite Audit yang lengkap, kok bisa kecolongan.
Penunjukan Direksi dan Komisaris BUMN merupakan kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang dalam hal ini oleh Menteri BUMN, bahkan untuk Pertamina melalui persetujuan Presiden, sehingga publik pantas menaruh berbagai spekulasi. Jika Pertamina saja “kecolongan”, bagaimana dengan perusahaan publik lainnya ?.
Bagaimana mekanisme penunjukan Komisaris dilingkungan BUMN sesungguhnya ? Mengingat BUMN sebagai Badan Usaha Milik Negara yang notabene milik rakyat, tentu rakyat berhak meminta pertanggung jawaban kepada Menteri BUMN, yang selama ini terkenal dengan slogan “BUMN untuk Indonesia”. Corporate culture AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif) yang tidak bermakna apa-apa. Jika grup Pertamina saja bobol dengan nilai yang fantastis, bagaimana dengan BUMN dan grup yang lain ?. Tampaknya permasalahn dilingkungan Pertamina sebagai BUMN raksasa merupakan puncak gunung es, dengan demikian sudah saatnya dilakukan audit khusus (audit investigasi) terhadap seluruh BUMN.
Dari laporan keuangan audited yang dipublikasi, khususnya BUMN yang go public berbagai hal patut dipertanyakan, karena kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan pada tataran entitas sub holding dan entitas dibawahnya (entitas anak perusahaan). Standar Akuntansi Keuangan (SAK) mewajibkan laporan keuangan entitas anak wajib dikonsolidasikan dengan laporan keuangan holding (induk) perusahaan. Dengan demikian fraud yang terjadi dilevel entitas anak dapat disamarkan. Hal ini terkonfirmasi dengan apa yang terjadi dalam kasus Pertamina dan berbagai kasus kejahatan korporasi lainnya.
Disamping itu perlu dipahami, bahwa financial audit yang dilakukan oleh Akuntan Publik hanya menguji kewajaran laporan keuangan suatu entitas. Jadi tidak meguji kebenaran materiil atas transaksi, perbuatan hukum yang dilakukan Direksi perusahaan. Dengan demikian meskipun hasil audit laporan keuangan mendapatkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan tersebut bebas dari fraud atau kejahatan keuangan dan juga tidak bebas dari transaksi-transaksi perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam berbagai media, penulis selalu meminta pemerintah untuk mewajibkan seluruh BUMN dan perusahaan publik lainnya yang berada dibawah pengawasan OJK untuk segera dilakukan audit hukum, disamping audit laporan keuangan oleh Akuntan Publik.
Fraud Korporasi
Maraknya fraud dalam kaitan hubungan kerja atau accupational fraud yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masuk dalam jenis kejahatan. Occupational Fraud terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yakni corruption, misappropriation of assets dan fraudulent financial reporting. Corruption sendiri pengertiannya lebih luas dari korupsi seperti yang diatur dalam UU Tipikor. Dalam konsep corruption benturan kepentingan (conflicts of interest) sudah masuk dalam corruption.
Kita saksikan begitu banyak benturan kepentingan yang terjadi dilingkungan BUMN selama ini, seperti jabatan rangkap pejabat pemerintah, baik Menteri, Pejabat Eselon 1, Eselon 2 yang merangkap sebagai anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas pada BUMN, termasuk pada Danantara. Hal ini merupakan suatu bentuk tata kelola yang buruk, baik di BUMN itu sendiri maupun di Kementerian/Lembaga Negara tersebut yang berpotensi suburnya korupsi ditanah air. Hal ini contoh tata kelola yang buruk dan telah dipertontonkan sejak lama.
Apakah perangkat Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang dibantu oleh Komite Audit sudah diisi oleh profesional ahli akuntansi forensik ? Jawabannya menurut amatan penulis dilapangan belum, bahkan Komisaris Independen yang merangkap Ketua Komite Audit bukanlah Akuntan Forensik, bahkan banyak yang bukan dari latar belakang disiplin akuntansi, sehingga tidak memahami proses akuntansi dan pelaporan keuangan dengan baik. Apa cerita sesungguhnya dibalik angka-angka laporan keuangan?.
Ironisnya lagi tidak nyambung dengan Anggota Komite Audit lainnya, sehingga konsep Good Corporate Governance (GCG) yang didengung-dengungkan hanya dalam tataran konsep belaka, bukan dalam tataran operasionalisasi. Jadi tidak heran maraknya fraud yang terjadi saat ini, baik pada BUMN maupun perusahaan publik dan jasa keuangan yang berada dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Disamping itu dilingkungan BUMN tampaknya Akuntan Publik yang melakukan audit atas laporan keuangan tahunan BUMN hanya berkisar sekitar 12 (dua belas) Kantor Akuntan Publik (KAP) member dari Akuntan Publik afiliasi KAP Asing yang berpotensi melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Untuk itu Aparat Penegak Hukum (APH) perlu mendalami, sinyalemen tersebut lebih lanjut, agar dapat mengungkap modus kejahatan keuangan tersebut secara komprehensif dalam menciptakan Indonesia bersih.
Dengan kata lain, fraud telah mengganggu keberlanjutan perusahaan-perusahaan besar, seperti kasus Asuransi Jiwasraya, Bank Century, Tbk dan perusahaan bidang keuangan lainnya di Indonesia. Kegagalan itu setidaknya terjadi disebabkan tidak efektifnya fungsi organ komisaris sebagai organ pengawas perusahaan yang merupakan pihak terkait dengan tata kelola perusahaan.
Pembenahan pun harus dimulai dari “hulunya”, agar ‘Fraudulent Financial Reporting’ (FFR) dapat dicegah, karena FFR merupakan pembungkus atau penyamaran dari bentuk 2 (dua) cabang fraud tree lainnya (corruption dan missappropriation of assets). Sebagai oversight committee) Komisaris Independen wajib diisi oleh kaum profesional yang kompeten dan independen sebagai point penting dari GCG.
Optimalkan Peran Komisaris
Ketika kerugian korporasi berimplikasi pada pidana, logika sederhananya peran komisaris tidak berjalan. Padahal Pasal 1 angka 6 UU PT 40/2007 menyatakan tugas Komisaris melakukan pengawasan secara umum atau khusus serta memberi nasihat arahan kepada Direksi. Sayangnya, peran itu, tidak berjalan optimal, dan cenderung sebagai aksesoris belaka, untuk memenuhi syarat formalitas saja.
Dari sisi hukum, sedikitnya dua peran komisaris patut dijalankan supaya korporasi terhindari dari jerat pidana. Pertama, tindakan hukum berupa persetujuan rencana kerja. Korporasi tidak dapat berjalan jika tidak ada persetujuan komisaris (Pasal 64 ayat 2 UU PT). Kedua, tindakan hukum menelaah laporan tahunan (Pasal 66 ayat 1 UU PT). Penelaahan laporan keuangan tidak bermakna apa-apa jika yang menelaahnya tidak mempunyai kompetensi yang mumpuni karena berbagai macam kejahatan dapat dibungkus rapi dalam laporan keuangan tersebut.
Dalam analisis penulis, dua hal yang mengakibatkan kasus hukum dari korporasi terus terjadi, pertama, senjata yang dimiliki komisaris tidak dijalankan, atau dijalankan tetapi tidak menyentuh esensi persoalan atas bisnis korporasi. Kedua, peran komisaris kurang optimal karena tidak profesional dan tidak kompeten.
Jika Direksi melakukan penyimpangan yang berpotensi merugikan Perusahaan bahkan ada unsur pidana berupa penggelapan (Pasal 372-375 KUHP) melalui fraudulent financial reporting maupun misappropriation of assets, Komisaris sebagai organ yang dipercaya melakukan pengawasan tetapi tidak melakukannya, harus bertanggung jawab menurut hukum.
Kalau begitu, seorang komisaris patut dilengkapi dengan tim kuat memahami laporan keuangan dan ada apa dibalik laporan keuangan, termasuk persoalan hukumnya. Posisi hukum Komisaris Independen sebagai Ketua Komite Audit atau Komite Pemantau Risiko (Anti Fraud), patut dipertanyakan jika risiko terus terjadi dan semakin masif. Karena tanda tangan komisaris atas laporan keuangan, menjadi tanda hukum untuk bertanggungjawab (Pasal 67 ayat 1).
Simpulan dan Rekomendasi
Terjadinya dugaan korupsi yang dahsyat dilingkungan Pertamina menjadi pembelajaran yang berarti bagi bangsa Indonesia, bahwa terdapat fakta empiris betapa lemah dan buruknya tata kelola perusahaan di Indonesia.
Organ perseroan yang strategis dalam keberlangsungan perusahaan ternyata tidak berjalan efektif, yang selama ini dipermukaan seolah-olah baik saja. Mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan wajib audit hukum oleh profesi Auditor Hukum, disamping audit keuangan oleh Akuntan Publik.
Oleh: Rahmat Affandi Ghozali, Pemerhati Transportasi Libur panjang Lebaran selalu identik dengan fenomena arus mudik yang padat dan kemacetan lalu…
Oleh: Darmaji Sadat, Pengamat Hukum Militer Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…
Oleh: Eleine Pramesti, Pengamat Sosial Budaya Menjelang perayaan Idul Fitri 2025, perhatian masyarakat tertuju pada ketersediaan bahan…
Oleh: Rahmat Affandi Ghozali, Pemerhati Transportasi Libur panjang Lebaran selalu identik dengan fenomena arus mudik yang padat dan kemacetan lalu…
Oleh: Darmaji Sadat, Pengamat Hukum Militer Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…
Oleh: Eleine Pramesti, Pengamat Sosial Budaya Menjelang perayaan Idul Fitri 2025, perhatian masyarakat tertuju pada ketersediaan bahan…