WACANA KEMASAN ROKOK TANPA IDENTITAS: - Berpotensi Ancam Kondisi Pedagang Eceran

 

Jakarta-Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek disinyalir dapat mengancam keberlangsungan pedagang eceran, pedagang kelontong, hingga pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi bagian hilir dari industri tembakau. Menurut Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (Keris), Ali Mahsum Atmo, sejak diterapkannya PP Nomor 28/2024 dampak terhadap omzet pedagang kecil sudah mulai terasa.

NERACA

 "Jika aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga akan diterapkan, maka dampaknya akan semakin besar terhadap omzet ekonomi rakyat, termasuk pedagang kaki lima (PKL), toko kelontong, dan tenant lainnya," ujarnya, Kamis (6/6/2025).

Saat ini, pedagang kecil telah menghadapi aturan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta larangan penjualan rokok secara eceran akibat pengesahan PP 28/2024. Jika rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek disahkan, pedagang kecil akan semakin tertekan dan pendapatannya akan berkurang.

Ali menambahkan bahwa aturan ini dapat menurunkan kesejahteraan sekitar satu juta pedagang asongan dan PKL serta 4,1 juta pedagang warung kelontong. Kebijakan yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini akan membawa dampak serius bagi ekonomi pelaku usaha kecil yang seharusnya mendapatkan dukungan, bukan hambatan. Selain itu, kebijakan ini bertentangan dengan visi Pemerintahan Prabowo yang berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek turut dinilai dapat merugikan ekonomi. Padahal, pada tahun 2024, pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp216,9 triliun atau menyumbang lebih dari 95% dari total penerimaan cukai. Selain itu, industri hasil tembakau (IHT) juga telah berkontribusi besar pada penyerapan tenaga kerja di tanah air. "Jadi, pemerintah harus bijak dalam mengatur aturan bagi produk tembakau ini," ujar Ali seperti dikutip Liputan6.com.

Oleh karena itu, dia meminta agar Kemenkes lebih fokus pada tindakan edukasi yang masif dan luas untuk membatasi konsumsi tembakau, daripada terus membuat aturan yang mencekik. Menurutnya, Kemenkes selalu beralasan bahwa pengetatan aturan bertujuan untuk mengurangi prevalensi merokok, terutama di kalangan anak-anak. "Edukasi akan lebih efektif karena memberikan pemahaman dan mengajak semua pihak, termasuk keluarga," ujarnya.

Ali pun telah mengajukan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut PP 28/2024 dan menghentikan penyusunan aturan turunannya, yakni Rancangan Permenkes. Ia menilai aturan tersebut sangat diskriminatif karena dampak negatifnya lebih banyak dirasakan oleh rakyat kecil.

"Aturan ini diskriminatif dan keluar dari ruh dan marwah Pak Prabowo yang menghormati dan bangga terhadap pedagang asongan dan kaki lima. Kebijakan ini mencederai keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berpenghasilan rendah," tutur Ali.

Selain itu, dia juga menilai rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek diduga kuat terdapat intervensi asing yang ingin mematikan industri tembakau di Indonesia. Padahal, Indonesia berhak untuk menentukan kebijakannya sendiri untuk dapat melindungi rakyatnya. ”Jangan sampai ujung-ujunganya rakyat kecil yang jadi korban,” ujarnya.

Ali pun telah mengajukan surat kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut PP 28/2024 dan menghentikan penyusunan aturan turunannya, yakni Rancangan Permenkes. Ia menilai aturan tersebut sangat diskriminatif karena dampak negatifnya lebih banyak dirasakan oleh rakyat kecil.

Indonesia, yang berada di peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia, perlu menemukan strategi lain untuk menurunkan angka kematian akibat rokok yang setiap tahunnya merenggut lebih dari 300.000 nyawa.

Metode THR

Di sisi lain, penelitian mengenai metode Pengurangan Risiko Tembakau atau Tobacco Harm Reduction (THR) sebagai alternatif berhenti merokok menjadi salah satu strategi dalam dasar penyusunan aturan.

Menurut Dr Ahli Fisiologi Universitas Padjajaran (Unpad), Ronny Lesmana,  peran pemerintah untuk mendukung riset tentang ini sangat diperlukan. Nantinya, hasil riset akan menjadi data awal untuk merumuskan peraturan berbasis data.

“Data dari penelitian menjadi komparasi yang baik sebagai dasar bagaimana memutuskan suatu regulasi. Regulasi ini mau dibuat seperti apa? Pemerintah harus investasi untuk penelitian, termasuk metode alternatif ini. Sebab, untuk memahami suatu ilmu itu mahal. Topik ini (THR) tidak pernah diangkat,” ungkap Ronny, dalam keterangannya belum lama ini.

Selama ini, penelitian didominasi sudut pandang tembakau sebagai komoditas. Sementara dari sisi kesehatan, studi untuk memanfaatkan produk alternatif tembakau yang rendah risiko belum dilakukan.

Melihat situasi ini, akademisi pun melakukan studi-studi alternatif, termasuk lembaga yang dinaungi universitas tempat Ronny bekerja. Meskipun begitu, penelitian tersebut belum diterima dengan baik oleh pemerintah sebagai penunjang penetapan aturan. Menurut dia, pemerintah masih belum melihat THR sebagai peluang yang bisa dimaksimalkan untuk membuat perokok beralih hingga akhirnya berhenti merokok.

Ronny menegaskan, merujuk pada riset “Lives Saved Report” yang terbit November 2024 lalu, penerapan THR dalam kebijakan publik diproyeksikan akan menyelamatkan 4,6 juta nyawa di Indonesia hingga 2060.

Metode THR hadir sebagai pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat rokok dengan memberikan opsi alternatif yang lebih rendah risiko bagi pengguna.

Hasil penelitian pun membuktikan bahwa produk alternatif yang tersedia mendukung upaya untuk berhenti merokok. Di negara-negara maju seperti Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan Jepang, THR menjadi bagian vital bagi pemerintahnya dalam mendesain kampanye berhenti merokok. Di Swedia, tingkat merokok menurun dalam 15 tahun terakhir, dari 15 persen menjadi 5,3 persen.

“Pemerintah kita terlalu ketat dalam memandang produk tembakau alternatif ini, hanya jalan dengan paradigma tidak boleh merokok. Namun, fakta di lapangan, selama rokok masih diizinkan, perlu opsi menurunkan risiko dalam bentuk lain. Secara rasional, ini bukan sesuatu yang bisa ditunda, tapi dipikirkan bersama untuk ke depannya,” ujarnya.

Usaha-usaha ini adalah bagian yang dilakukan untuk menurunkan risiko dan dampak buruk penggunaan tembakau. Konsep THR yang masih asing juga perlu diperkenalkan kepada masyarakat dan digali lebih mendalam mengenai manfaatnya bagi perokok untuk beralih hingga akhirnya benar-benar berhenti merokok.

Untuk itu, pemerintah perlu mendukung penelitian agar mereka bisa mencurahkan fokus terhadap keberadaan produk tembakau alternatif dan bagaimana cara mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh rokok. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Proyek Prioritas Berjalan di Saat Efisiensi

NERACA  Jakarta – Genjarnya pemerintahan Prabowo Gibran dalam menekan efisiensi anggaran diisambut baik publik. Meskipun demikian, proyek strategis akan terus…

Sinyal Reshuffle Kabinet Usai 100 Hari Kerja

NERACA Jakarta - Isu adanya reshuffle Kabinet Merah Putih usai 100 hari kerja di pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan…

EKONOM SENIOR INDEF: - Pangkas Anggaran Berpotensi Membuat K/L Menderita

  Jakarta-Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Mohamad Fadhil Hasan menyebut kebijakan pemangkasan anggaran Presiden Prabowo…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Pemerintah Pastikan Proyek Prioritas Berjalan di Saat Efisiensi

NERACA  Jakarta – Genjarnya pemerintahan Prabowo Gibran dalam menekan efisiensi anggaran diisambut baik publik. Meskipun demikian, proyek strategis akan terus…

WACANA KEMASAN ROKOK TANPA IDENTITAS: - Berpotensi Ancam Kondisi Pedagang Eceran

  Jakarta-Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek disinyalir dapat mengancam keberlangsungan pedagang eceran, pedagang kelontong, hingga pedagang kaki lima…

Sinyal Reshuffle Kabinet Usai 100 Hari Kerja

NERACA Jakarta - Isu adanya reshuffle Kabinet Merah Putih usai 100 hari kerja di pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan…