Realisasi Anggaran IKN: Beban Negara yang Kian Besar, Haruskah Berlanjut?

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta

 

Sejak pertama kali dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) telah menjadi proyek ambisius pribadi yang meminta izin kepada DPR dalam pidato kenegaraan 2019 silam.

Namun, seiring berjalannya waktu, realisasi pendanaan proyek ini justru menunjukkan ketimpangan yang signifikan antara rencana awal dan implementasi di lapangan.

Pemerintah semula menargetkan bahwa pendanaan IKN akan banyak berasal dari sektor swasta, baik melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) maupun dari investasi BUMN/BUMD. Namun, realita berkata lain: justru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus menanggung beban pembangunan IKN.

Pada periode 2022-2024, kontribusi APBN terhadap proyek ini mencapai angka yang sangat tinggi, berkisar antara 64%-85% dari total pendanaan yang direncanakan.  Sebaliknya, investasi dari sektor swasta melalui skema KPBU masih jauh dari harapan, hanya mencapai 13,8% dari target.

Lebih parah lagi, kontribusi dari BUMN/BUMD hampir tidak terdengar, menunjukkan minimnya peran mereka dalam proyek strategis nasional ini. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah IKN benar-benar akan menjadi kota masa depan yang mandiri dan berkelanjutan, atau justru menjadi beban fiskal bagi negara dalam jangka panjang?

Salah satu indikasi bahwa proyek IKN semakin membebani negara adalah keputusan pemerintah untuk kembali meningkatkan anggaran APBN untuk IKN menjadi Rp48,8 triliun pada 2025-2029. Dengan penambahan ini, total anggaran yang berasal dari kas negara mencapai Rp106 triliun, jauh melampaui target awal sebesar Rp89,4 triliun.

Artinya, bukan hanya beban fiskal yang semakin berat, tetapi juga ada ketidakkonsistenan antara rencana awal dengan pelaksanaannya. Sejak awal, pemerintah telah menegaskan bahwa porsi terbesar pendanaan IKN tidak akan berasal dari APBN, melainkan dari skema KPBU dan investasi swasta/BUMN.

Namun, realitas menunjukkan bahwa dari total Rp253,4 triliun yang ditargetkan melalui KPBU, realisasinya baru mencapai Rp35 triliun (13,8%).

Jika dibandingkan dengan kontribusi APBN yang telah menyerap lebih dari 60% dari targetnya, jelas bahwa pemerintah gagal menarik investor dalam jumlah yang cukup besar. Lantas, mengapa KPBU tidak berjalan sesuai harapan? Beberapa alasan utama antara lain:

Pertama,  Minimnya Kepercayaan Investor. Tterutama dari sektor swasta, masih ragu terhadap prospek jangka panjang IKN. Ketidakjelasan regulasi, kepastian hukum, serta infrastruktur pendukung yang belum memadai menjadi hambatan utama.  Banyak investor menganggap bahwa risiko berinvestasi di IKN masih terlalu tinggi dibandingkan potensi keuntungan yang akan didapat.

Kedua, Kondisi Ekonomi Global yang Tidak Menentu. Kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan geopolitik dunia membuat banyak investor lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya.  Akibatnya, investasi ke sektor infrastruktur besar seperti IKN menjadi pilihan yang kurang menarik dibandingkan dengan investasi di sektor yang lebih likuid dan berisiko rendah.

Ketiga, Keterbatasan Peran BUMN/BUMD. Hingga saat ini, tidak ada data transparan mengenai realisasi investasi dari BUMN dan BUMD dalam proyek IKN.

Seharusnya, sebagai entitas yang memiliki modal besar dan akses lebih mudah ke pendanaan pemerintah, BUMN dan BUMD dapat menjadi motor penggerak utama dalam pembangunan infrastruktur IKN.  Namun, kenyataannya, partisipasi mereka masih sangat minim, bahkan nyaris tidak terdengar.

Penundaan Relokasi ASN

Salah satu indikator kuat bahwa proyek IKN tidak berjalan sesuai rencana adalah penundaan relokasi Aparatur Sipil Negara (ASN) ke IKN.  Padahal, keberadaan ASN di ibu kota baru sangat penting karena menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di kawasan tersebut.

Dengan adanya ASN, aktivitas ekonomi di sekitar IKN akan mulai bergerak, memberikan kepastian bagi investor swasta untuk masuk. Namun, dengan penundaan ini, kepercayaan investor terhadap proyek ini semakin menurun.

Jika ASN saja tidak segera pindah, lalu siapa yang akan lebih dulu menghuni IKN?

Apakah IKN hanya akan menjadi kota kosong dengan gedung-gedung mewah tanpa aktivitas ekonomi yang nyata?  Jika situasi ini berlanjut, maka ada risiko besar bahwa proyek IKN akan menjadi seperti banyak proyek infrastruktur besar lainnya yang berakhir sebagai “white elephant project”—proyek mahal yang akhirnya terbengkalai karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan realitas di lapangan.

Dengan melihat berbagai kendala yang terjadi dalam pendanaan dan realisasi proyek IKN, sudah saatnya pemerintah menghentikan ketergantungan proyek ini pada APBN.

Jika pemerintah tetap ingin melanjutkan proyek ini, maka harus ada kebijakan yang tegas untuk mengalihkan sebagian besar pendanaannya dari APBN ke sektor swasta. Namun, melihat kenyataan di lapangan, langkah yang lebih realistis adalah mengubah fungsi IKN menjadi kawasan ekonomi khusus.

Misalnya, IKN bisa dialihkan menjadi kawasan pariwisata, pusat riset teknologi, atau kota berbasis industri hijau yang menarik minat investasi global. Dengan konsep ini, peran APBN bisa lebih dibatasi hanya pada pembangunan infrastruktur dasar, sementara pengembangan selanjutnya dilakukan sepenuhnya oleh swasta.

Selain itu, otoritas IKN juga bisa dijadikan sebagai badan independen yang bertanggung jawab atas pengelolaan kawasan ini tanpa harus terus mengandalkan APBN.  Dengan pendekatan ini, pemerintah bisa fokus pada pembangunan daerah lain yang lebih membutuhkan anggaran, seperti sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur di daerah tertinggal.

Evaluasi Kembali IKN

Pembangunan IKN seharusnya menjadi momentum untuk membangun ibu kota yang lebih modern dan inklusif tanpa menjadi beban bagi negara.  Namun, realisasi anggaran selama 2022-2024 menunjukkan bahwa IKN masih sangat bergantung pada APBN, sementara kontribusi KPBU dan BUMN/BUMD jauh di bawah ekspektasi.

Jika tren ini terus berlanjut, maka beban fiskal negara akan semakin besar, dan proyek ini bisa menjadi sumber defisit anggaran yang berkepanjangan.  Oleh karena itu, pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek ini.

Jika memang pembangunan IKN tidak sesuai dengan rencana awal, maka lebih baik mengubah fungsinya menjadi kawasan ekonomi khusus atau proyek lain yang lebih realistis dan berkelanjutan.

Sudah saatnya pemerintah menempatkan kepentingan negara di atas ambisi politik dan proyek mercusuar.  IKN harus menjadi proyek yang benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya menjadi simbol kebanggaan yang justru membebani keuangan negara dalam jangka panjang.

Penambahan anggaran IKN sebesar Rp8,1 triliun di tengah pemangkasan anggaran kementerian menunjukkan bahwa pemerintah masih sangat bergantung pada APBN untuk proyek ini. Padahal, sejak awal, skema pendanaan IKN seharusnya mengutamakan KPBU dan investasi swasta/BUMN, yang faktanya hingga kini masih sangat rendah.

Dalam kondisi ekonomi saat ini, kebijakan ini bisa dikatakan kurang tepat, karena ada banyak sektor lain yang lebih membutuhkan alokasi dana daripada proyek infrastruktur yang masih jauh dari tahap operasional. Dampak fiskal dari tambahan anggaran ini juga bisa memperburuk defisit APBN, terutama jika investasi swasta tetap tidak terealisasi sesuai target.

Ke depan, pemerintah harus memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran IKN. Jika tren ketergantungan pada APBN terus berlanjut, maka ada baiknya dilakukan evaluasi ulang terhadap proyek ini, termasuk kemungkinan mengubah konsep IKN menjadi kawasan ekonomi khusus atau proyek yang lebih realistis dan tidak membebani APBN dalam jangka panjang.

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Lintas Sektoral Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis

    Oleh : Cintya Medina, Pemerhati Kebijakan Publik   Pemerintah terus menggencarkan program makan bergizi gratis (MBG) sebagai upaya…

Komitmen Tingkatkan Kuantitas dan Kualitas Pembiayaan UMKM

  Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat UMKM   Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan…

Ketersediaan Pupuk Kunci Wujudkan Ketahanan Pangan

  Oleh: Ganindra Putera, Mahasiswa Ilmu Pertanian di PTN Ketahanan pangan merupakan pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Realisasi Anggaran IKN: Beban Negara yang Kian Besar, Haruskah Berlanjut?

  Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Sejak pertama kali dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, pembangunan Ibu…

Kolaborasi Lintas Sektoral Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis

    Oleh : Cintya Medina, Pemerhati Kebijakan Publik   Pemerintah terus menggencarkan program makan bergizi gratis (MBG) sebagai upaya…

Komitmen Tingkatkan Kuantitas dan Kualitas Pembiayaan UMKM

  Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat UMKM   Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan…