ADA HOTEL DAN RESTORAN BISA BANGKRUT IMBAS PPN - Sistem Transaksi QRIS dan E-Tol Bebas PPN 12%

Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, memprediksi tarif hotel akan meningkat imbas kenaikan PPN menjadi 12 persen. Bahkan, beberapa kategori hotel atau restoran diperkirakan bisa bangkrut.

NERACA

“Payment sistem hari ini ramai, QRIS itu tidak dikenakan PPN sama seperti debit card dan transaksi lain,” tegas Airlangga dalam pembukaan acara Launching of EPIC SALE di Alam Sutera, Minggu (22/12). Dia mengaku pihaknya selalu memantau perkembangan apa yang sedang ramai di masyarakat. Menurut dia, PPN hanya dikenakan pada barangnya bukan pada sistem transaksinya.

Airlangga juga menekankan bahan pokok penting dan turunanya tidak akan dikenakan PPN. Selain itu untuk sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga tidak dikenakan PPN kecuali hal yang khusus. “Berita akhir-akhir ini banyak yang salah. Pertama urusan bahan pokok penting tidak kena PPN termasuk turunannya turunan tepung, terigu turunan minyak kita, turunan gula. Bayar tol juga tak kena PPN,” ujarnya.  

Sebelumnya beredar isu di masyarakat bahwa transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberikan klarifikasi.

“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti seperti dikutip Antara, Jumat (20/12).

UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.

Aturan rinci mengenai pengenaan PPN terhadap transaksi uang elektronik, atau layanan teknologi finansial (fintech) secara umum, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022. Adapun daftar layanan yang dikenakan PPN antara lain:

Uang elektronik (e-money); Dompet elektronik (e-wallet);Gerbang pembayaran; switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.

PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara. Misalnya, biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.

Hal yang sama berlaku pada layanan dompet elektronik, termasuk biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR). Sementara nilai uang elektronik itu, termasuk saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.

Bukan Objek Pajak Baru

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menekankan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru. "Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial," jelas Dwi Astuti.  

Namun, menurut Dwi, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli. Melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut. "Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru," ujarnya.  

Sebagai contoh, isi ulang atau top up uang elektronik sebesar Rp 1.000.000. Biaya top up misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:

11%xRp 1.500 = Rp 165. Dengan kenaikan PPN 12%, PPN dihitung menjadi sebagai berikut:

12%xRp 1.500= Rp 180. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15.

Selain itu contoh lainnya, pengisian dompet digital (e-wallet) Rp 500 ribu. Transaksi itu misalnya kena biaya pengisian dompet digital Rp 1.500. Maka pengenaan PPN dihitung 12 persen dari Rp 1.500, dengan biaya tambahan Rp 180. Sebelumnya PPN dihitung 11 persen dari Rp 1.500 dengan biaya tambahan Rp 165. “Jadi kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp 15,” demikian seperti dikutip.

"Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah,” ujar Dwi.

Selain dompet digital, transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pun merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN, sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Dengan begitu, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru.Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.

Begitu pun untuk biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, dan Youtube Premium. Itu merupakan objek pajak PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).  “Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru,” ujar Dwi.

Selain itu, atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Artinya, atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher bukan merupakan objek pajak baru.

Hotel dan Restoran

Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyebut harga hotel akan meningkat imbas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Bahkan, beberapa kategori hotel atau restoran diprediksi bisa bangkrut.

Dia menerangkan, beban PPN 12 persen itu secara langsung akan menjadi tanggungan konsumen. Pasalnya, setiap pasokan yang digunakan oleh hotel dan restoran turut terkena PPN. Alhasil, angka kenaikannya bisa lebih tinggi. "Soal hotel itu kan suplainya macam-macam ya, yang suplai ke hotel dan restoran itu, dan itu pasti kena PPN semua," kata Sutrisno, ditemui di Kantor Apindo, pekan lalu.

Belum lagi, hotel dihadapkan dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas 50 persen. Artinya, kegiatan dinas instansi di hotel akan berkurang. "Jadi implikasinya apa? Kalau kemudian PPN naik itu kan pasti dibebankan kepada harga. Kalau harga naik, permintaan akan turun. Sementara dari sisi permintaan sekarang ini, adanya pembatasan 50% perjalanan dinas itu dihilangkan, itu saja sudah sangat memukul, ditambah lagi dengan harga naik," ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.

Dengan kenaikan tarif tadi, biaya yang ditanggung konsumen juga meningkat. Dari sisi pengusaha, hal tersebut akan membebani operasional. "Semakin tidak ada orang yang kemudian menginap atau mengunjungi objek pariwisata. Itu implikasi dari PPN itu, belum lagi nanti kerumitan dari sisi administrasinya," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

KETUA BANGGAR DPR-RI SAID ABDULLAH: - Pemerintah Diminta Memitigasi Risiko Dampak PPN 12%

Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…

BERPOTENSI SUMBER BADAI PHK - Wamenaker Minta Permendang 8/2024 Kembali Direvisi

NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…

November 2024, Nilai Impor Capai US$19,59 Miliar

NERACA Jakarta – Pada November 2024, nilai impor Indonesia tercatat sebesar US$19,59 miliar atau turun 10,72 persen dibandingkan Oktober 2024…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KETUA BANGGAR DPR-RI SAID ABDULLAH: - Pemerintah Diminta Memitigasi Risiko Dampak PPN 12%

Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…

BERPOTENSI SUMBER BADAI PHK - Wamenaker Minta Permendang 8/2024 Kembali Direvisi

NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…

ADA HOTEL DAN RESTORAN BISA BANGKRUT IMBAS PPN - Sistem Transaksi QRIS dan E-Tol Bebas PPN 12%

Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua…