KEBIJAKAN PPN 12% BERLAKU MULAI JANUARI 2025: - Pengusaha Bingung Kriteria Penentuan Barang Mewah

Jakarta-Kalangan pengusaha masih bingung dengan penentuan barang yang bakal terkena pajak pertambahan nilai (PPN) 12%. Sekjen Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Haryanto Pratantara mengaku belum mendapatkan keterangan yang jelas mengenai regulasi ini. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menegaskan kenaikan PPN ini dapat berdampak langsung pada daya beli masyarakat.

NERACA

"Perlu dijelaskan mengenai definisi barang mewah, ini apa mengacu pada Permenkeu 11/2023 atau akan dibuat definisi baru, misal kategori tas dan sepatu, gimana mengkategorikan yang mewah atau biasa? karena rangenya luas sekali, mulai puluhan ribu sampai ratusan juta, apa dari sisi harga dibedakan?" ujarnya, Senin (9/12).

Kebingungan itu membuat pelaku usaha tidak bisa berancang-ancang dalam menentukan harga dan kesiapan dalam strategis perusahaan, termasuk mengimpor barang yang berpotensi mengalami kenaikan PPN. "Apa semua jenis kategori barang akan dibedakan mana mewah, mana bukan, sehingga juga jadi rumit," kata Haryanto.

Belajar dari kejadian sebelumnya, seperti barang ilegal, justru terjadi celah yang membuat negara rugi karena kehilangan potensi pajak. "Sesuatu yang rumit dan kontrolnya sulit akan menyebabkan kebingungan dan membuat celah bagi oknum yang berpotensi akan merugikan negara dan masyarakat umumnya, ini perlu diklarifikasi dulu," ujarnya seperti dikutip CNBCIndonesia.com.

Rencana penerapan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% akhirnya menemui titik terang. Kebijakan yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025 tersebut, dipastikan hanya untuk kelompok barang mewah. Keputusan ini didapatkan setelah pertemuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta pekan lalu.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco mengatakan, sejumlah barang mewah itu di antaranya mobil, apartemen, hingga rumah mewah. Terhadap usulan ini, Dasco mengatakan, Prabowo mempertimbangkan untuk mengambil keputusan tersebut. "Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah, yang semuanya serba mewah," ungkap Dasco dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, baru-baru ini.  

Pengusaha mengkhawatirkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk barang mewah bakal membuat masyarakat kelas menengah ke atas bakal berbondong-bondong belanja di luar negeri. Pasalnya kenaikan pajak itu membuat konsumen harus membayar produk dengan lebih mahal.

Belum lagi, barang-barang mewah yang cenderung impor juga sudah mahal harganya ketika dijual di Indonesia. Sebab, barang-barang tersebut dikenakan pajak, termasuk juga pajak tambahan berupa bea masuk tindakan pengamanan (BMTP). Akibatnya, kenaikan PPN jadi 12% di tahun 2025 nanti dikhawatirkan bakal menambah masalah baru. Tidak terkecuali bagi orang kaya di Indonesia.

"Kenaikan PPN itu membuat situasi semakin berat karena selama ini untuk impor barang mewah aja banyak persyaratannya kaya BMTP, safeguard," kata Haryanto Pratantara.

"Barang mewah umumnya impor dengan BMTP, safeguard membuat barang dijual di Indonesia semakin mahal dan stok sulit didapat, ini menyebabkan orang tahan belanja dan mungkin ketika ke luar negeri akan shopping maksimal," tambahnya.

Sayangnya saat ini banyak pelaku usaha ritel di dalam negeri yang kesulitan mendapatkan produk mewah seperti tas dan produk lainnya. Jika usaha yang legal ini terus menerus kesulitan mendapatkan barang maka black market akan subur.

"Sedangkan kami sadar pemerintah memiliki keterbatasan dalam memberantas illegal impor sehingga impor ini makin sulit dikendalikan. Yang ilegal ngga bayar pajak, negara ngga dapat apa-apa, sehingga pengusaha legal yang bayar pajak justru penjualannya turun, kemudian ngga bisa ekspansi, bisa tutup toko dan pengurangan tenaga kerja," ujarnya.

Menurut dia, daya beli untuk kalangan menengah atas untuk barang mewah cukup kuat, namun kenaikan PPN membuat psikologi mereka akan tahan belanja. Di satu sisi, dengan kekuatan finansialnya memungkinkan mampu keluar negeri untuk membeli barang di luar negeri karena global brand di semua negara jauh lebih murah dari Indonesia.

"Penurunan penjualan barang mewah ini sudah terasa dampaknya sejak awal tahun, aturan impor sempat berubah-berubah sehingga ngga pasti suplai barang, stok terbatas karena sulit didapat, keterbaruan barang ketinggalan dibanding negara tetangga jadi orang Indonesia yang ke luar negeri beli disana," ujar Haryanto.

"Bisa jadi karena peritel banyak tahan ekspansi karena ngga punya barang, barang mewah ada kuota impor dimana ngga bisa impor sesuai kebutuhan untuk ekspansi bahkan untuk memenuhi kebutuhan toko yang ada pun keterbatasannya besar. Apalagi kalau lanjut terus bahkan toko yang ada pun kurang barang dan buat penurunan penjualan bahkan tutup toko. Ritel itu padat karya, penutupan toko bakal buat pengurangan tenaga kerja," ujarnya.

Minta Penundaan Kenaikan PPN

Sebelumnya kalangan pengusaha merasa khawatir dengan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan. Karena Menkeu Sri Mulyani Indrawati sebelumnya memberikan sinyal bahwa kenaikan ini tetap akan diberlakukan, namun pelaku usaha meminta pemerintah menunda kebijakan tersebut. Pengusaha khawatir kenaikan PPN akan memicu lonjakan harga barang dan semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja menegaskan kenaikan PPN ini dapat berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Ia mengungkapkan, daya beli telah melemah sejak awal 2024, dan kenaikan PPN hanya akan memperparah situasi.

"Jadi memang dari awal kan kami sudah meminta kepada pemerintah untuk menunda kenaikan PPN ini dari 11% menjadi 12% karena berpotensi untuk semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Karena kenaikan PPN ini akan mempengaruhi harga produk, harga barang akan naik," kata Alphonzus saat ditemui di ICE BSD Tangerang, Jumat (15/11).

Alphonzus mengingatkan bahwa daya beli masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 57% dari total produk domestik bruto (PDB). Ia mengkhawatirkan penurunan daya beli ini akan menghambat target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

"Struktur masyarakat Indonesia kan didominasi oleh kelas menengah bawah. Artinya kalau ini terganggu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdampak. Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir 57% didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Jadi ini akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, padahal pemerintah punya target 8%," ujarnya.

Senada dengan Alphonzus, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah juga meminta pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%.

Tidak hanya itu. Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas 2014-2015, Andrinof Chaniago menilai peluang menaikkan penerimaan pajak negara (PPN) terbuka lebar. Namun, kebijakan ini dinilai tidak tepat dijalankan saat ini.

Andrinof mengatakan alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kenaikan PPN malah berisiko melemahkan ekonomi karena akan menekan sisi permintaan masyarakat. Hal ini pun sudah disuarakan oleh pelaku usaha. "Kan kalau sudah pelaku usaha yang bereaksi ya sudah. Mereka akan blak-blakan minta turun. Permintaan akan berkurang, maka produksi mereka akan turun. Produksi turun, maka penghasilan, ROE (return on equity), segala macam akan mengecil, sebetulnya balik juga ke penerimaan negara. Yang ditargetkan Rp 70 triliun bisa jadi gak sampai, jauh," ujarnya.

Dosen Fisip-UI  itu mengaku bahwa kelas menengah dan kelas menengah bawah mengalami stagnasi aset. "Kelas menegah stagnan, yang menegah bawahnya stagnan tapi yang atas itu majunya akselerasinya tinggi. Yang kaya makin kaya," ujarnya.

Menkeu era Presiden Jokowi, Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro pun ikut buka suara. Dia menegaskan penolakannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN, jika dilakukan demi mengkompensasi penurunan pajak penghasilan (PPh) badan.  "Secara prinsip sebenarnya saya kurang setuju. Tapi karena sudah dilakukan, dan kebetulan itu dinyatakan dengan suatu tahapan," ujarnya, pekan lalu.

Bambang mengungkapkan, saat menjadi menteri keuangan periode pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, penolakan gencar dia lakukan karena didasari pada tidak adilnya paket kebijakan kompensasi pajak tersebut, karena PPN dikenakan untuk setiap transaksi masyarakat Indonesia, sedangkan PPh Badan hanya dipungut untuk perusahaan menengah dan besar. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

KETUA BANGGAR DPR-RI SAID ABDULLAH: - Pemerintah Diminta Memitigasi Risiko Dampak PPN 12%

Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…

BERPOTENSI SUMBER BADAI PHK - Wamenaker Minta Permendang 8/2024 Kembali Direvisi

NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…

ADA HOTEL DAN RESTORAN BISA BANGKRUT IMBAS PPN - Sistem Transaksi QRIS dan E-Tol Bebas PPN 12%

Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KETUA BANGGAR DPR-RI SAID ABDULLAH: - Pemerintah Diminta Memitigasi Risiko Dampak PPN 12%

Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…

BERPOTENSI SUMBER BADAI PHK - Wamenaker Minta Permendang 8/2024 Kembali Direvisi

NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…

ADA HOTEL DAN RESTORAN BISA BANGKRUT IMBAS PPN - Sistem Transaksi QRIS dan E-Tol Bebas PPN 12%

Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua…