Matinya Kemaritiman

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Ya, kemaritiman kita mati. Padahal, era baru pemerintahan baru saja dimulai. Lihatlah kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Presiden Prabowo. Menurut Prof. Daniel M. Rosyid, guru besar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang beredar luas dalam jaringan aplikasi perpesanan, jajaran menteri yang disusun oleh Prabowo-Gibran merupakan “Kabinet Darat”. Dia mengacu kepada kualitas kemaritiman yang ada dalam sanubari bakal kabinet yang dalam pandangannya “jauh panggang dari api”. Tak hanya para menteri, bahkan Prabowo sendiri, masih menurut Daniel, sepertinya berkecenderungan menganggap bahwa memerintah di darat dan laut itu sama saja. 

Prabowo sejatinya memang tidak dikenal dengan kesadaran kemaritiman dan jikapun ada denyut nadinya lemah. Dalam dua kali kontestasi pemilihan presiden, 2014 dan 2019, misalnya, dia mengusung visi-misi yang minim isu kemaritiman. Karena itu, diprediksi oleh banyak pihak bahwa selama kepemimpinannya ke depan aspek kemaritiman yang multidimensional itu tidak akan banyak mendapat tempat dalam program-program pemerintahannya. Seperti yang sering disampaikannya, ia hanya akan melanjutkan program warisan pendahulunya, Joko Widodo. Dalam bidang kemaritiman, di mana ada tol laut di dalamnya, dapat dimaknai bahwa Prabowo kemungkinan besar akan melanjutkannya. Kemaritiman yang lain tidak jelas.

Tol laut dipayungi oleh visi poros maritim dunia (PMD), dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Global Maritime Fulcrum atau GMF. Dengan berakhirnya kepemimpinan Jokowi, maka dengan sendirinya Poros Maritim Dunia berakhir.

Saya mengikuti isu kemaritiman sudah lumayan lama. Sejatinya telah ada beberapa kebijakan yang berhubungan dengan bidang kemaritiman yang diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti Inpres No. 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Tiga tahun setelahnya, disahkan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang isinya merupakan penyempurnaan dari apa yang diatur dalam Inpres No. 5.

Lalu, diterbitkan Perpres No. 32 Tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Ketiga aturan yang dikeluarkan SBY itu sangat kental dengan dimensi maritim. Ambil contoh, penetapan hub port Kuala Tanjung di Sumatra Utara dan Bitung di Sulawesi Utara. Sebelumnya tidak ada hal seperti ini. Oleh empat perusahaan pelabuhan pelat merah yang ada saat itu – Pelindo I, II, III dan IV – kebijakan MP3EI ditindaklanjuti dengan meluncurkan pendulum nusantara. Secara konseptual, pendulum nusantara merupakan sebuah pola operasi kapal niaga domestik yang bergerak laksana pendulum yang mengayun dari barat dan timur.

Ketika Jokowi meluncurkan gagasan Poros Maritim Dunia pada 2014 dalam kampanye kepresidennya, pendulum nusantara sedang dalam tahap akhir untuk diluncurkan. Hanya saja gaungnya mulai sayup terdengar akibat ditingkahi oleh pemberitaan yang masif seputar Poros Maritim Dunia. Ketika ide tol laut mulai dimunculkan, pendulum nusantara sudah tidak menjadi buah bibir, terutama di kalangan kemaritiman-pelayaran. Mereka ini menaruh harapan besar terhadap pendulum nusantara, kendati dengan sejumlah catatan kritis tentunya. Bagi pelayaran konsep tersebut bisa memberi kepastian muatan bagi kapal dan pelayanan yang makin baik di pelabuhan-pelabuhan yang dikelola Pelindo. Di samping itu, sebagaimana yang diatur dalam Inpres No. 5 Tahun 2005, akan ada kebijakan bunga rendah untuk industri pelayaran.

Begitu administrasi negara beralih kepada administratur yang baru usai pilpres 2014, pendulum nusantara berganti baju menjadi tol laut. Tol laut masuk ke dalam pilar infrastruktur dan konektivitas maritim. Ada pilar lainnya: budaya maritim, sumberdaya maritim, diplomasi maritim dan pertahanan maritim. Namun, tidak dapat dipungkiri tol laut merupakan pilar yang paling membentot perhatian karena terkait dengan perikehidupan bangsa di antara pilar yang lain. Bila dikatakan bahwa isu maritim atau kemauan untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara maritim hanyalah buzzword politik karena perhatian terhadapnya sudah melemah atau hilang, di tol lautlah tuduhan itu paling tepat dialamatkan. Karena ia begitu dekat dengan urusan perut masyarakat kita.

Singkat cerita, Joko Widodo meninggalkan legacy kemaritiman yang kocar-kacir kepada Prabowo. Parahnya, sang presiden baru tidak terlihat greget kemaritimannya. Di sisi lain, Dekin (zaman Suharto dinamai Dewan Maritim Indonesia atau DMI) memiliki peran yang besar kalau tidak mau disebut amat sentral mengingat bidang kemaritiman pada zaman Prabowo ini tersebar dan sangat susah dikoordinasikan walaupun ada kemenko pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY yang menaunginya.

Bila dalam lima tahun ke depan Sekina tau DMI tidak berdiri juga, maka matilah kemaritiman kita.

BERITA TERKAIT

Kerja Sama Multilateral

Oleh: Thomas Djiwandono Wakil Menteri Keuangan Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Grup Bank Dunia (WBG) di Washington, D.C.…

Risiko Pengalihan Subsidi BBM ke BLT

  Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pengalihan subsidi BBM dan listrik ke bantuan langsung tunai (BLT)…

Judol, Bagaimana Bank Syariah ?

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak pemerintahan Prabowo - Gibran dilantik di bulan Oktober 2024, gebrakan populis pemerintah …

BERITA LAINNYA DI

Kerja Sama Multilateral

Oleh: Thomas Djiwandono Wakil Menteri Keuangan Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Grup Bank Dunia (WBG) di Washington, D.C.…

Risiko Pengalihan Subsidi BBM ke BLT

  Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pengalihan subsidi BBM dan listrik ke bantuan langsung tunai (BLT)…

Judol, Bagaimana Bank Syariah ?

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak pemerintahan Prabowo - Gibran dilantik di bulan Oktober 2024, gebrakan populis pemerintah …