Isu-isu Krusial

 

Oleh: Prof. Didik J. Rachbini

Rektor Universitas Paramadina

 

Isu krusial yang menjadi fokus adalah isu ekonomi, yang merupakan sebuah warisan Jokowi yang harus diselesaikan. Banyak masalah yang diwariskan yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo. Antara lain hasil survei dari BPS dan yang ditemukan oleh peneliti UI bahwa kelas menengah menurun dan ini mengindikasikan banyak hal. Pertumbuhan 4% lebih karena dukungan konsumsi sehingga jika pemerintah tidak kerja maksimal target pertumbuhan 5 persen bisa dicapai.

Sehingga sekarang, dorongan kelas menengahnya sudah turun berarti kekuatan konsumsi itu melemah dan menjadi faktor yang krusial bagi Prabowo Subianto untuk menyelesaikan janjinya untuk tumbuh 8%. Itu sangat tidak mudah walaupun sudah punya kasus tumbuh 7%-8% pada tahun 80-an. Kuncinya, ya harus mempunyai strategi ekonomi menuju pertumbuihan 7%-8% tadi, sebagaimana pernah dilakukan pada 1980-an.

Strategi pada waktu itu, adalah kebijakan ekonomi industri yang outward looking, bersaing pada lebel tinggi di tingkat internasional. Semua kerja kebijakan ditujukan untuk memenangkan persaingan pasar di dalam dan luar negeri. Pendukungnya adalah industri yang kuat dan bersaing dengan target pertumbuhan 8%-10% dan investasi berkualitas dari dalam dan luar negeri. 

Pertumbuhan ekonomi 5% atau kurang selama satu dekade terakhir  menunjukkan ekonomi tidak berkembang secara dinamis, dimana peluang kerja kurang dan tidak ada leading  sector selama 5 tahun terakhir.

Berdasarkan riset dari Continuum, hasil indeks konsumen penduduk Indonesia baik pendapatan dan IKON (indeks konsumen) menunjukkan bahwa indikator konsumen relatif lemah. Lemah ini sama dengan mobil atau motor dengan kecepatan 80 Km tiba-tiba turun ke 20 Km itu memerlukan effort yang sangat keras. 

Saya meyakini bahwa Prabowo Subianto merupakan sosok independen yang tidak bisa berada di bawah orang lain, kecuali bertapa menurunkan ego dan tunduk selama 5 tahun ini sebagai suatu strategi. Lalu ketika sudah berkuasa, ada harapan baru bahwa pidato yang disampaikan benar-benar terjadi dan diwujudkan.

Pertumbuhan ekonomi lemah kurang dari 5% dengan alasan Covid-19, sehingga disalip oleh negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam. Walaupun industri di kedua negara tersebut dikatakan lemah pada tahun 2000-an, tetapi berhasil bangkit dan mengalahkan Indonesia dengan terus berkembang dan jauh lebih maju. Saat ini yang menjadi permasalahan adalah tax ratio rendah dan kapasitas ruang fiskalnya yang kecil.

Jika ekspor kuat, berarti negara itu memiliki dua garda pasar di dalam negeri dan luar negeri. Di Indonesia sendiri mengandalkan pasar dalam negeri dengan beranggapan bahwa penduduknya sangat besar tetapi jika tidak memiliki industri yang dapat bersaing di pasar internasional, itu tandanya produksinya yang lemah.

Untuk tumbuh 8% akan sangat sulit, terlebih berdasarkan basis pertumbuhan yang diwariskan oleh Presiden Jokowi. Walaupun ada sebuah keuntungan yaitu infrastruktur, tetapi pemerintahan Jokowi tidak memiliki strategi pertumbuhan melainkan starategi adhoc untuk infrastruktur, pembangunan IKN, KCIC, tol laut. Kedepannya, harus memiliki strategi yaitu leading sector-nya industry. Artinya, industri yang bagus yang bisa menetrasi pasar nasional dengan dukungan teknologi yang tinggi.

Tax ratio saat pemerintahan SBY berada di 12% tetapi menurun saat presiden Jokowi  berada di sekitar 8%-9% merupakan indikasi fiskal Indonesia yang memiliki masalah. Tax ratio terhadap PDB harus juga terhadap ekspor diberlakukan.

Dalam masalah pengangguran terselubung adalah sangat berat dimana rata-rata penduduk yang bekerja hanya 20 jam per 5 hari, berarti per harinya hanya bekerja 4 jam bahkan banyak yang kurang dari 4 jam dalam bekerja.

Dalam permasalahan tingkat pengangguran terbuka diatasi oleh Presiden SBY dimana saat SBY pertama kali menjabat pada 2004 mencapai angka hampir 12% dan pada akhir periode 2014 berada di angka 5,94%. Sedangkan pada masa Jokowi tercatat pada 2014 atau periode pertama menjabat di angka 6,18% dan pada akhir periode 2024 sebanyak 4,92%. Tentunya berlaku pada pengentasan tingkat kemiskinan juga, dimana dapat dikatakan SBY lebih berhasil dalam mengatasinya.

BERITA TERKAIT

Kontribusi Ekonomi Syariah di SDI

Oleh: Agus Yuliawan  Pemerhati Ekonomi SyariahKabinet Merah Putih (KMP) telah disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto semalam (20/10/2024) di Istana Negara…

Tantangan Kebijakan Fiskal Masa Kabinet Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal       Publik menunggu dengan antusias pembentukan kabinet Presiden Prabowo-Gibran.…

Menjaga Aliran Investasi

Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dalam satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terus berkinerja baik, ditunjukkan dengan keberhasilan menjaga…

BERITA LAINNYA DI

Isu-isu Krusial

  Oleh: Prof. Didik J. Rachbini Rektor Universitas Paramadina   Isu krusial yang menjadi fokus adalah isu ekonomi, yang merupakan…

Kontribusi Ekonomi Syariah di SDI

Oleh: Agus Yuliawan  Pemerhati Ekonomi SyariahKabinet Merah Putih (KMP) telah disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto semalam (20/10/2024) di Istana Negara…

Tantangan Kebijakan Fiskal Masa Kabinet Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal       Publik menunggu dengan antusias pembentukan kabinet Presiden Prabowo-Gibran.…