Negara Oligarki: Pemerintahan Tanpa Oposisi

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta

 

Pemerintahan tanpa oposisi sering kali dianggap mampu menciptakan stabilitas politik yang kuat dan mempercepat proses pengambilan kebijakan. Namun, kenyataannya, kondisi ini dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi suatu negara. Oposisi yang sehat merupakan elemen penting dalam sistem demokrasi, karena mereka berfungsi sebagai pengawas dan pengimbang dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Ketika oposisi lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, berbagai konsekuensi negatif dapat muncul yang berdampak langsung pada stabilitas ekonomi jangka panjang.

Dalam sistem demokrasi yang ideal, oposisi memiliki peran krusial untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memberikan kritik konstruktif terhadap kebijakan yang dijalankan.

Tanpa oposisi yang kuat, pemerintahan bisa berjalan tanpa pengawasan memadai. Hal ini membuka ruang bagi keputusan ekonomi yang keliru, tidak efektif, atau bahkan merugikan.

Ketika tidak ada kekuatan yang mampu menantang atau mempertanyakan kebijakan pemerintah, kebijakan ekonomi yang dihasilkan berpotensi tidak didasarkan pada evaluasi yang menyeluruh, sehingga menghasilkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya negara.

Misalnya, kebijakan populis yang berlebihan seperti subsidi tanpa perhitungan yang matang bisa menyebabkan anggaran negara terbebani dan menambah utang.

Tanpa oposisi yang efektif, risiko terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Pemerintahan yang tidak diawasi cenderung lebih rentan terhadap praktik korupsi, nepotisme, dan pemborosan anggaran.

Dalam konteks ekonomi, korupsi mengurangi kepercayaan publik dan investor terhadap kredibilitas pemerintah. Ketika korupsi merajalela, biaya transaksi ekonomi meningkat, produktivitas menurun, dan distribusi kekayaan menjadi tidak merata. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan mungkin lebih memihak kelompok tertentu atau elite politik, yang semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.

Ketika sumber daya negara disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, ekonomi kehilangan potensi pertumbuhan yang optimal, dan kesejahteraan masyarakat terabaikan.

Pemerintah tanpa oposisi sering kali terdorong untuk mengeluarkan kebijakan ekonomi populis guna mempertahankan dukungan politik. Kebijakan populis ini mungkin berupa peningkatan subsidi atau program bantuan sosial jangka pendek yang dirancang untuk menarik simpati publik. Meskipun kebijakan ini bisa memberikan dampak positif dalam jangka pendek, sering kali tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Misalnya, peningkatan belanja negara untuk program-program populis dapat menyebabkan defisit anggaran yang besar dan meningkatkan utang negara. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu kestabilan fiskal, meningkatkan beban utang, dan menurunkan daya saing ekonomi negara di pasar global.

 

Dalam konteks globalisasi ekonomi, investor memerlukan keyakinan bahwa suatu negara memiliki tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, dan akuntabel. Ketika pemerintahan berjalan tanpa adanya oposisi, hal ini dapat menimbulkan keraguan terhadap kualitas tata kelola tersebut. Investor mungkin melihat adanya potensi ketidakstabilan jangka panjang yang disebabkan oleh kebijakan yang tidak transparan, korupsi yang meluas, serta kurangnya kepastian hukum.

Semua faktor ini dapat mengurangi minat investor untuk berinvestasi, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi. Ketidakpastian politik akibat absennya oposisi juga dapat memicu gejolak pasar keuangan dan menyebabkan keluarnya modal asing, yang akan memperburuk situasi ekonomi domestik.

Jika pemerintahan Prabowo berjalan tanpa oposisi, seperti dalam skenario di mana PDIP masuk ke dalam kabinet, dampak ekonominya bisa sangat signifikan. Seperti yang sudah dijelaskan, tanpa adanya oposisi yang kuat, ada risiko besar bahwa pengawasan terhadap kebijakan ekonomi akan berkurang. Keputusan ekonomi dapat diambil dengan lebih cepat, tetapi tanpa adanya kritik atau penyeimbang, kebijakan yang dihasilkan mungkin kurang teruji dan tidak melalui mekanisme checks and balances yang diperlukan.

Selain itu, tanpa oposisi, pemerintah bisa terjebak dalam pola kebijakan populis yang dirancang untuk menjaga dukungan politik, tetapi berpotensi merugikan perekonomian dalam jangka panjang. Misalnya, peningkatan subsidi atau proyek infrastruktur yang terlalu ambisius, tanpa perhitungan yang matang, bisa memperburuk defisit anggaran dan meningkatkan beban utang negara. Hal ini dapat mengganggu kestabilan fiskal dan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.

Jika PDIP bergabung dengan pemerintahan dan semua partai di parlemen menjadi pendukung pemerintah, situasi ini memperkuat fenomena berkelindannya antara pengusaha dan penguasa. Fakta bahwa banyak anggota parlemen merangkap sebagai pengusaha, seperti yang diungkapkan oleh riset ICW, menambah risiko konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ekonomi akan lebih condong untuk menguntungkan kelompok tertentu, terutama kelompok bisnis yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan.

BERITA TERKAIT

Masa Depan Pariwisata Syariah

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pariwisata syariah sempat menjadi "boom" opini di masyarakat. Hal ini terkait dengan besarnya…

RI Pimpin Pertemuan ATF di Bali

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal.   Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono pada Kamis (03/10) membuka pertemuan…

Riset Hingga Komersialisasi

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong pengembangan hilirisasi kelapa sawit yang berkelanjutan dengan berbasis riset dan inovasi. Melalui aktivitas riset dan inovasi…

BERITA LAINNYA DI

Negara Oligarki: Pemerintahan Tanpa Oposisi

  Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pemerintahan tanpa oposisi sering kali dianggap mampu menciptakan stabilitas politik…

Masa Depan Pariwisata Syariah

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pariwisata syariah sempat menjadi "boom" opini di masyarakat. Hal ini terkait dengan besarnya…

RI Pimpin Pertemuan ATF di Bali

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal.   Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono pada Kamis (03/10) membuka pertemuan…