Ekonom Minta Pemerintah Waspada Tren Daya Beli Turun

NERACA

Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama lima bulan berturut-turut dipengaruhi oleh penyesuaian pada sisi suplai pangan. Tren deflasi telah terjadi sejak Mei 2024 dan terus berlanjut hingga September. Catatan deflasi September 2024, secara historis, menjadi deflasi terdalam bila dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir.

Menyikapi hal itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengingatkan pemerintah untuk mendorong pendapatan masyarakat guna mengatasi tren deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut. “Pemerintah perlu meningkatkan produktivitas belanja agar dapat mendorong efek berganda (multiplier effect) fiskal pada perekonomian dan pendapatan masyarakat,” kata Josua dalam keterangannya di Jakarta, Selasa kemarin.

Menurut Josua , deflasi lima bulan berturut-turut belum bisa menjadi kesimpulan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.

Namun, jika mempertimbangkan data-data lainnya, terlihat adanya indikasi tren penurunan daya beli masyarakat terutama kelompok kelas menengah. Misalnya, meningkatnya jumlah tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 2022 hingga Agustus 2024 serta tren penurunan rasio disposible income terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dalam 10 tahun terakhir.

Untuk itu, perlu adanya intervensi kebijakan yang menopang daya beli masyarakat, salah satunya peningkatan pendapatan masyarakat. Pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga, baik harga komponen bergejolak (volatile food) maupun harga diatur pemerintah. “Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga sehingga tidak memberikan tekanan kepada masyarakat mengingat pendapatan riil masyarakat yang cenderung menurun,” kata Josua dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Pada September 2024, komponen harga bergejolak mengalami deflasi sebesar 1,34 persen, dengan andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen. Komoditas utama yang berperan dalam deflasi bulanan yaitu cabai merah sebesar 0,09 persen; cabai rawit sebesar 0,08 persen; telur ayam ras dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,02 persen; tomat, daun bawang, kentang, dan wortel masing-masing sebesar 0,01 persen.

Senada, Ekonom sekaligus Dosen Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, ketimpangan ini dapat berpotensi untuk menimbulkan dampak buruk terhadap stabilitas sosial.

Menurutnya, sejarah sendiri sudah membuktikan bahwa kesenjangan yang tidak tertangani dapat memicu ketidakpuasan sosial yang lebih besar, berujung pada masalah-masalah sosial seperti meningkatnya kriminalitas atau konflik horizontal. “Jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi yang ada belum berhasil menjawab persoalan mendasar terkait pemerataan kesejahteraan,” ujar Achmad.

Menurut Achmad, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi ketimpangan ini. Salah satunya adalah dengan memperkuat kebijakan redistribusi ekonomi.

Dalam hal ini, Pemerintah bisa mengambil langkah untuk memperbaiki sistem perpajakan, memastikan bahwa kelompok berpenghasilan tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pembangunan negara. “Pajak yang progresif dan efektif dapat digunakan untuk membiayai program-program kesejahteraan sosial yang tepat sasaran, seperti subsidi kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi masyarakat bawah,” jelas Achmad.

Selain itu, Achmad melanjutkan, kebijakan yang mendorong pertumbuhan UMKM, memberikan akses terhadap modal bagi masyarakat kecil, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih inklusif sangat diperlukan. “Langkah-langkah ini akan membantu mengurangi ketimpangan pendapatan dan memberikan kesempatan yang lebih merata bagi semua lapisan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perekonomian,” ujar Achmad.

Di sisi lain, Achmad juga menghimbau Pemerintah untuk memastikan bahwa program bantuan sosial atau subsidi yang ada saat ini betul-betul menjangkau mereka yang paling rentan.

Menurutnya, bantuan langsung tunai, subsidi bahan pokok, serta program perlindungan sosial lainnya perlu didesain ulang agar lebih efisien dan tidak salah sasaran. agus

BERITA TERKAIT

KEBIJAKAN KEMASAN ROKOK POLOS TANPA MEREK - Gappri Menolak Tegas Rancangan Permenkes

Jakarta-Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok…

INDONESIA ALAMI DEFLASI 5 BULAN BERTURUT-TURUT - BPS: Tidak Ada Intervennsi dari Pihak Manapun

Jakarta-Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan pihaknya selama ini berkomitmen untuk menjaga independensi. Dia memastikan tidak ada intervensi dari…

Kementerian Bakal Ditambah, Jumlah Komisi di DPR Ikut Naik

    NERACA Jakarta – Jumlah Kementerian/Lembaga di era Presiden Prabowo Subianto ada kemungkinan akan ditambah. Untuk jumlahnya, Wakil Ketua…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KEBIJAKAN KEMASAN ROKOK POLOS TANPA MEREK - Gappri Menolak Tegas Rancangan Permenkes

Jakarta-Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok…

Ekonom Minta Pemerintah Waspada Tren Daya Beli Turun

NERACA Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama…

INDONESIA ALAMI DEFLASI 5 BULAN BERTURUT-TURUT - BPS: Tidak Ada Intervennsi dari Pihak Manapun

Jakarta-Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan pihaknya selama ini berkomitmen untuk menjaga independensi. Dia memastikan tidak ada intervensi dari…