KEMASAN ROKOK POLOS TANPA MERK: - Berpotensi Persulit Pengawasan di Lapangan

Jakarta-Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terus menjadi sorotan. Sejumlah kementerian bertanya-tanya soal penerapannya. Sekaligus menganggap penyusunan aturan itu tergesa-gesa tanpa melibatkan banyak masukan. Seperti dilontarkan Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.

NERACA

Askolani mengatakan, penerapan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menimbulkan masalah dalam hal pengawasan, terutama terkait upaya membedakan jenis rokok yang beragam. "Jika semua rokok dikemas secara polos, akan sulit bagi kami untuk membedakan golongan dan jenis rokok hanya dari kemasan luarnya," ujarnya dari keterangan tertulis, Senin (30/9).

Menurut dia, eksekusi aturan itu dapat menghambat pengawasan yang selama ini dilakukan berdasarkan perbedaan kasat mata pada kemasan. Akibatnya, ancaman rokok ilegal di masyarakat akan meningkat. Selama ini Bea Cukai telah berupaya keras dalam menekan peredaran rokok ilegal.

Askolani menjelaskan bahwa pembeda visual pada kemasan menjadi langkah proteksi awal bagi Ditjen Bea Cukai dalam memantau industri hasil tembakau. Jika kemasan rokok dibuat seragam tanpa ciri khas yang jelas, risiko pengawasan dapat meningkat. "Kita tidak bisa lagi membedakan kemasan secara kasat mata, padahal itu adalah bagian penting dari perlindungan dan pengawasan kami," ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.

Meski demikian, dia memastikan bahwa Kemenkeu telah memberikan sejumlah masukan kepada Kemenkes terkait dampak kebijakan ini. Termasuk risiko yang dihadapi dalam pengawasan produk rokok di pasaran. "Kami sudah memberikan pandangan kepada Kemenkes mengenai risiko yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan ini," tutur dia.

Askolani tak memungkiri kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. "Namun aspek pengawasan dan perlindungan hukum menjadi perhatian utama bagi Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Sehingga produk kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek perlu ditinjau kembali demi mengukur seberapa efektif aturan ini," ujarnya.

Sebelumnya, ekonom kembali menyoroti potensi kerugian ekonomi akibat rencana untuk memberlakukan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, memaparkan kalkulasi potensi dampak ekonomi yang hilang dari tiga skenario kebijakan terkait industri tembakau pada PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan berjualan dalam radius 200 meter, dan larangan iklan, dapat mencapai Rp308 triliun dan penerimaan perpajakan menurun sebesar Rp160,6 triliun.

“(Akibatnya apa dari kemasan rokok polos tanpa merek?) Downtrading, karena tidak ada lagi pemisahan rokok lain. Rokok ilegal gampang ditiru, tinggal font-nya diubah-ubah. Saya kalau misalnya jadi pelaku industri yang ilegal begini, saya tinggal buat merek yang dijajarkan dengan aslinya, bedanya apa sekarang? Sedangkan penerimaan negara bisa loss juga di sana,” ujar Andry, Jumat (27/9).

Selain itu, Andry juga menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih rancu karena tidak disebutkan dengan jelas tempat pendidikan seperti apa yang dimaksud.

Selain itu, pembatasan penjualan di tempat bermain anak juga dinilai tidak masuk akal jika diimplementasikan dan justru menimbulkan ketidakpastian usaha karena pungutan liar di lapangan. “Ini yang perlu diluruskan kembali, mau diletakkan di satuan pendidikan mana? Karena masih belum jelas. Dampaknya ya memunculkan rokok ilegal yang akan masuk dan mudah dibeli ketengan,” ujarnya.

Dampak Tarif Cukai Tinggi

Sementara itu, hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB-UB) menyatakan, kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru berisiko mendorong peredaran rokok ilegal. Hasil kajian PPKE juga menunjukkan adanya hubungan elastisitas harga terhadap permintaan rokok.

Hal itu dikemukakan oleh direktur PPKE FEB UB, Prof. Dr. Candra Fajri Ananda pada focus group discussion (FGD) "Menavigasi Kenaikan Tarif Cukai dan Peredaran Rokok Ilegal Demi Menjaga Keseimbangan Kebijakan IHT di Indonesia" di Malang, pekan lalu.

Candra Fajri mengemukakan, rokok golongan 1 memiliki elastisitas harga yang negatif yang ternyata lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan konsumen rokok golongan 2 dan 3. "Hasil analisis tersebut selaras dengan perkembangan industri hasil tembakau (IHT), dimana penurunan produksi terjadi paling besar pada golongan 1 sehingga berdampak juga pada penurunan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT)," ujarnya.

Candra Fajri mengatakan, ketika tarif cukai naik dan harga rokok Golongan 1 (rokok mahal) menjadi semakin tinggi, konsumen yang sensitif terhadap harga mungkin mulai berpindah ke rokok golongan 2 dan 3 atau golongan yang lebih murah, yang cukainya lebih rendah. "Sehingga sebetulnya, jumlah total rokok yang dikonsumsi tidak berkurang, hanya pergeseran dari produk mahal ke yang lebih murah terjadi pada konsumen," katanya.

Menurut dia, terdapat korelasi negatif yang kuat antara volume produksi rokok golongan 2 dan 3 terhadap peredaran rokok ilegal. Hal itu menunjukkan bahwa ketika volume produksi rokok golongan 2 dan 3 meningkat, peredaran rokok ilegal cenderung menurun. Artinya, peningkatan ketersediaan rokok golongan 2 dan 3 yang lebih terjangkau dapat menekan pasar rokok illegal.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok karena ketika tarif cukai dinaikkan, maka mendorong konsumen untuk beralih ke produk ilegal yang lebih terjangkau," ujarnya.

Hasil kajian juga menunjukkan, kebijakan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai titik optimum, di mana kenaikan tarif lebih lanjut tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok.

"Konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal atau produk dengan harga lebih murah. Hal ini tidak hanya mengurangi volume produksi rokok legal tetapi juga berpotensi menurunkan penerimaan negara dari CHT," kata Prof. Dr. Candra Fajri.

Menurut dia, peredaran rokok ilegal di Indonesia telah meningkat seiring dengan kenaikan harga rokok akibat tarif cukai yang terus naik. Meskipun pemerintah telah meningkatkan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, data menunjukkan bahwa ketika harga rokok meningkat, jumlah rokok ilegal yang beredar di pasaran turut mengalami peningkatan.

Pada 2023, hasil penelitian PPKE FEB UB mengungkapkan, lebih dari 40% konsumen rokok pernah membeli rokok polos tanpa pita cukai. Selain itu, simulasi yang dilakukan oleh PPKE menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% dapat meningkatkan peredaran rokok ilegal dari 6,8% menjadi 11,6%.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi CHT yang hilang akibat peredaran rokok illegal seiring dengan kenaikan tarif cukai, dari 4,03 triliun rupiah ketika tidak ada kenaikan tarif cukai (0%), hingga mencapai 5,76 triliun rupiah ketika cukai dinaikkan sebesar 50%.

Perlu dicatat bahwa angka tersebut diasumsikan bahwa pemerintah juga masih menjalankan upaya pengawasan dan penindakan rokok illegal sebagaimana yang dilakukan saat ini. "Ini menjadi indikasi bahwa kebijakan cukai yang terlalu ketat dapat memperparah peredaran rokok ilegal dan menimbulkan kerugian bagi negara," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

KEBIJAKAN KEMASAN ROKOK POLOS TANPA MEREK - Gappri Menolak Tegas Rancangan Permenkes

Jakarta-Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok…

Ekonom Minta Pemerintah Waspada Tren Daya Beli Turun

NERACA Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama…

INDONESIA ALAMI DEFLASI 5 BULAN BERTURUT-TURUT - BPS: Tidak Ada Intervennsi dari Pihak Manapun

Jakarta-Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan pihaknya selama ini berkomitmen untuk menjaga independensi. Dia memastikan tidak ada intervensi dari…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

KEBIJAKAN KEMASAN ROKOK POLOS TANPA MEREK - Gappri Menolak Tegas Rancangan Permenkes

Jakarta-Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menolak tegas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok…

Ekonom Minta Pemerintah Waspada Tren Daya Beli Turun

NERACA Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan deflasi September 2024 sebesar 0,12 persen (month-to-month/mtm) yang melanjutkan tren deflasi selama…

INDONESIA ALAMI DEFLASI 5 BULAN BERTURUT-TURUT - BPS: Tidak Ada Intervennsi dari Pihak Manapun

Jakarta-Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan pihaknya selama ini berkomitmen untuk menjaga independensi. Dia memastikan tidak ada intervensi dari…