PERLU LANGKAH ANTISIPASI MENCONTOH VIETNAM: - Produk RI Bisa Kena Tarif Impor AS Hingga 47%

 

Jakarta-Produk asal Indonesia dikenakan tarif impor Amerika hingga 47%, meskipun penerapan tarif resiprokal (timbal balik) untuk puluhan negara ditunda 90 hari. Menurut ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin,  Indonesia tidak boleh senang dulu. Indonesia justru harus menyiapkan langkah antisipasi dan  bisa mencontoh Vietnam dalam membuat kebijakan industri.

NERACA

Presiden Donald Trump mengumumkan pada 2 April bahwa tarif impor minimal untuk semua negara 10%. Pada saat yang sama, dia menyatakan pengenaan tarif resiprokal untuk ratusan negara, termasuk Indonesia 32%.

Namun kebijakan tarif resiprokal tersebut  ditunda penerapannya selama 90 hari sejak 9 April. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto,  produk asal Indonesia sementara hanya dikenakan tarif dasar 10%.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan Indonesia tidak boleh senang dulu. Dalam masa penundaan ini, menurut dia, Indonesia justru harus menyiapkan langkah antisipasi. Menurut dia, Indonesia bisa mencontoh Vietnam dalam membuat kebijakan industri.

 “Vietnam tidak ada premanisme di kawasan industri, kita harus wujudkan. Di Vietnam tidak ada polisi di pasar modal, tapi polisi yang jaga kawasan industri, kita harus wujudkan,” ujar  Wijayanto dalam Diskusi Publik Enam Bulan Pemerintahan Prabowo, pekan lalu (17/4).

Saat ini utilisasi sektor manufaktur Indonesia mentok di angka 60%. Penurunan sudah terjadi sejak pandemi Covid-19 yakni dari 75% menjadi 50%. Wijayanto menyarankan Indonesia mencari investasi baru dengan stimulus working capital. “Kalau output utilisasinya kembali naik dari 60% kembali ke 75%, maka pertumbuhan ekonomi bisa meningkat 3%,” ujarnya seperti dikutip Katadata.co.id  

Akan tetapi, Airlangga menjelaskan tarif impor yang dikenakan atas produk asal Indonesia sebenarnya bisa mencapai 47%. Dia mencontohkan produk garmen yang sudah terkena tarif impor 10% – 37% sebelum pengumuman Trump.

“Maka, dengan diberlakukannya 10% tambahan, tarifnya itu menjadi 10% ditambah 10% atau 37% ditambah 10%,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertajuk ‘Perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat’ yang dipantau secara online dari Jakarta, Jumat (18/7). Dengan begitu, tarif untuk produk garmen berkisar 20% sampai 47%.

Oleh karena itu, dalam kesempatan negosiasi tarif dengan Amerika, Airlangga mengatakan akan memperjuangkan kesetaraan tarif untuk produk-produk ekspor Indonesia.

 “Kami meminta ini agar diberikan secara lebih adil dan juga kami tidak diberikan tarif yang lebih tinggi,” ujar Airlangga. “Yang penting Indonesia mendapatkan tarif lebih rendah dan juga seimbang dengan negara-negara pesaing.” Negara pesaing yang dimaksud meliputi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, serta India, China, Korea Selatan, dan Jepang.

Saat ini, produk ekspor utama Indonesia, seperti garmen, alas kaki, tekstil, furnitur, dan udang, menjadi produk yang dikenakan bea masuk lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN dan non-ASEAN lainnya.

Tim delegasi pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tengah bernegosiasi dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) di Washington DC dalam rangka merespon pemberlakuan tarif oleh Presiden Donald Trump.

Pemerintah Indonesia mengajukan sejumlah penawaran, mulai dari meningkatkan pembelian produk dari AS hingga memberi insentif bagi perusahaan asal negara Paman Sam yang beroperasi di Tanah Air.

“Ada beberapa hal yang diusulkan, Indonesia akan meningkatkan pembelian energi dari Amerika Serikat, antara lain LPG, kemudian juga crude oil, dan gasoline,” ujar  Airlangga dalam konferensi pers yang digelar daring Jumat pagi, 18 April 2025. Indonesia juga berencana untuk terus membeli produk agrikultur dari AS seperti gandum, kedelai, dan susu kedelai.

Di sisi lain, Dalam riset terbaru Center of Reform on Economic (CORE),  Amerika Serikat menuduh Indonesia menerapkan kebijakan perdagangan tidak adil dan merugikan mereka. “Utamanya, dalam hal tarif, pajak, hambatan non-tarif, dan kuota,” demikian dikutip, belum lama ini.  Hal itu tertuang dalam dokumen United States Trade Representative (USTR) bertajuk 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers halaman 212-225.

USTR menyoroti Indonesia yang menetapkan tarif most favoured nation ( MFN) lebih tinggi dibanding AS, yakni 8,6% untuk produk pertanian dan 7,9% non-pertanian pada 2023. MFN merupakan tarif bea masuk yang dikenakan pada barang impor dari suatu negara ke negara lain, kecuali negara yang memiliki perjanjian khusus mengenai tarif bea masuk.

Indonesia juga dituding meningkatkan penetrasi tarif untuk produk-produk yang bersaing dengan produsen dalam negeri seperti elektronik, obat-obatan, kosmetik, dan produk pertanian. Beberapa produk nonpertanian bahkan dikenai tarif 35,5%. Produk sektor pertanian dikenakan tarif rata-rata di atas 25%. USTR menyampaikan angka-angka ini melampaui batas yang ditetapkan WTO ( World Trade Organization).

USTR juga mengkritik kebijakan pajak cukai barang impor Indonesia yang dianggap tidak transparan dan eksesif. Contohnya, minuman beralkohol 5% - 20% dikenakan cukai 24% lebih tinggi untuk produk impor dibanding produk domestik.

Selain itu, sistem perizinan impor dinilai rumit dan memberatkan. Indonesia juga dituding memperluas cakupan produk yang harus melalui perizinan impor dari lima komoditas menjadi 19 produk. Selain itu, memasukkan bawang putih ke dalam cakupan perizinan mulai tahun ini.

USTR menyoroti kebijakan kuota produk pertanian, seperti gula, yang didasarkan pada produksi dan konsumsi dalam negeri. Pabrik gula hanya diperbolehkan mengimpor, jika tidak memenuhi kapasitas penggilingan.

Trump menunda pengenaan tarif resiprokal untuk semua negara, termasuk Indonesia, kecuali Cina, selama 90 hari sejak ditetapkan. Akan tetapi,

Perizinan Impor yang Rumit

Kantor perwakilan dagang AS (USTR) mengklaim perdagangan Amerika dengan Indonesia mengalami defisit hingga US$ 17,9 miliar pada 2024. Angka ini naik 5,4 persen atau US$ 923 juta dari tahun 2023. Indonesia pun dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen.

Dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada 31 Maret 2025, USTR mencatat sejumlah hambatan tarif maupun nontarif yang dihadapi negara tersebut dengan para mitra dagang, termasuk Indonesia. Berikut adalah beberapa hambatan perdagangan yang dipersoalkan AS:

USTR mengklaim bahwa Indonesia telah meningkatkan tarif impor selama 10 tahun terakhir terutama untuk komoditas yang bersaing dengan industri dalam negeri. Beberapa contohnya adalah barang elektronik, produk kecantikan, obat-obatan, minuman beralkohol, serta produk pangan.

Dokumen tersebut menyebut Indonesia memberlakukan tarif di atas 25 persen untuk 99 persen produk pangan. Sedangkan, rata-rata tarif Most-Favored Nation (MFN) Indonesia adalah 8 persen. Tertulis juga AS keberatan dengan tarif yang diberlakukan Indonesia untuk komoditas teknologi informasi dan komunikasi.

Laporan USTR menyebut perizinan impor di Indonesia rumit, tumpang tindih, dan kebijakannya kerap berubah. USTR menyoroti kinerja Online Single Submission (OSS) yang disebut menambah kerumitan dan menyebabkan keterlambatan karena sering mengalami isu teknis dan kurang terintegrasi.

Selain itu, USTR juga menyinggung kuota impor yang diberlakukan pemerintah Indonesia. “Pembatasan ini dideasin untuk melindungi industri lokal tapi berdampak signifikan terhadap akses pasar AS dan eksportir negara lain,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

USTR menyoroti minimnya perlindungan pemerintah Indonesia terhadap properti intelektual yang ditunjukkan dengan maraknya kasus pembajakan dan pelanggaran hak cipta. Bahkan, laporan ini secara spesifik menyorot Pasar Mangga Dua di Jakarta yang masuk ke dalam daftar Review of Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy 2024.

Hal lain yang dipersoalkan USTR adalah terkait jasa keuangan, salah satunya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Laporan tersebut menyebutkan, perusahaan AS—termasuk bank dan penyedia jasa pembayaran—merasa tidak dilibatkan saat Bank Indonesia membuat kebijakan mengenai QRIS. “Stakeholder internasional tidak diberitahu potensi perubahan akibat kebijakan ini dan tidak diberi kesempatan untuk memberi pandangan terhadap sistem tersebut,” tulis USTR. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Perusahaan Migas RI Jajaki Investasi Strategis di AS

  Perusahaan Migas RI Jajaki Investasi Strategis di AS Jakarta – Pemerintah dengan penuh semangat mendorong ekspansi global perusahaan migas…

Mentan: Ada Pejabat Lobi Kasus Pengamat Rugikan Negara Rp5 Miliar

NERACA Jakarta - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan adanya upaya lobi dari sejumlah pihak termasuk pejabat yang memintanya…

USULAN ANGGOTA DPR RI: - Pemerintah Diminta Diversifikasi Pasar Ekspor

NERACA Jakarta- Usai Presiden Amerika Serikat Donald trump menetapkan kenaikan tarif atau Bea Masuk Impor (BMI) sebesar 32 persen terhadap…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PERLU LANGKAH ANTISIPASI MENCONTOH VIETNAM: - Produk RI Bisa Kena Tarif Impor AS Hingga 47%

  Jakarta-Produk asal Indonesia dikenakan tarif impor Amerika hingga 47%, meskipun penerapan tarif resiprokal (timbal balik) untuk puluhan negara ditunda…

Perusahaan Migas RI Jajaki Investasi Strategis di AS

  Perusahaan Migas RI Jajaki Investasi Strategis di AS Jakarta – Pemerintah dengan penuh semangat mendorong ekspansi global perusahaan migas…

Mentan: Ada Pejabat Lobi Kasus Pengamat Rugikan Negara Rp5 Miliar

NERACA Jakarta - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan adanya upaya lobi dari sejumlah pihak termasuk pejabat yang memintanya…