Mengevaluasi Efektivitas Program Bantuan Sarana Produksi Pertanian

Mengevaluasi Efektivitas Program Bantuan Sarana Produksi Pertanian
NERACA
Jakarta - Impor pangan seringkali dipandang sebagai tindakan yang tidak nasionalis. Melihat rendahnya produktivitas pangan lokal, impor merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi kebutuhan pangan. Produktivitas yang rendah masih menjadi persoalan di sektor pangan. Padahal kebijakan terkait bantuan sarana produksi pertanian (saprotan) sudah ada. Efektivitas program bantuan sarana produksi pertanian (saprotan) perlu dievaluasi karena program ini belum terbukti mampu meningkatkan produksi pangan pokok, misalnya saja beras. Salah satu jenis saprotan atau input pertanian, yaitu pupuk bersubsidi, sering mengalami kelangkaan dan harganya juga berbeda jauh dengan pupuk tidak bersubsidi.
“Tidak efektifnya program ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rahmad Supriyanto, sebagaimana dikutip dalam keterangannya, kemarin. 
Kebijakan subsidi pupuk dalam jangka pendek belum menunjukkan potensi perubahan yang signifikan. Peningkatan anggaran tidak sebanding dengan produktivitas pangan, contohnya beras. Sementara itu, Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Bahkan di tahun 2024, produksi padi hanya menyentuh di angka 53,14 juta ton.
Kebijakan bantuan pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada tahun 2024. Padahal, perlu dilakukan reformasi bantuan untuk mencegah perverse incentive atau insentif yang menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Bantuan idealnya dapat mendorong kompetisi dan kemandirian usaha tani.
Mekanisme penebusan melalui Kartu Tani juga belum optimal dan merata. Setelah tiga tahun diperkenalkan, Kementerian Pertanian menyebut hanya sebesar 8,63% petani yang telah menggunakan Kartu Tani. Selanjutnya, upaya penyederhanaan penebusan pupuk bersubsidi melalui  melalui pengenalan iPubers (aplikasi untuk pengoptimalan penyaluran pupuk) juga belum maksimal. 
Selain program subsidi pupuk, pemerintah juga memberikan bantuan dalam penyediaan benih melalui alokasi benih gratis kepada para petani yang memenuhi persyaratan di Calon Petani Calon Lokasi (CPCL). Program bantuan benih merupakan respon atas rendahnya penyerapan benih bersubsidi di tingkat petani. “Tantangan juga terjadi seperti proses pendataan penerima dan pengajuan proposal yang lambat, serta perubahan perilaku petani dalam memilih benih di awal musim tanam,” jelas Rahmad.
Untuk mereformasi pasar saprotan, pemerintah perlu melakukan sejumlah perbaikan. Yang pertama adalah perlunya perbaikan untuk menciptakan sistem pasar yang lebih mendukung tumbuhnya usaha pertanian skala kecil. Selain itu, perlu adanya perbaikan untuk menyokong usaha pertanian tersebut untuk mencapai kesejahteraan dan berkontribusi terhadap ketahanan pangan.
Pemerintah perlu fokus pada paradigma keberlanjutan, yaitu terciptanya perubahan perilaku dimana petani dapat memilih jenis saprotan yang memang dibutuhkan olehnya. Petani memahami pentingnya menghindari efek samping kebijakan saprotan yang mendorong penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan berakibat pada buruknya kualitas tanah. 
Program bantuan saprotan idealnya disesuaikan dengan kebutuhan petani. Untuk itu, petani perlu mendapatkan akses yang mudah dalam mendapatkan berbagai bentuk sarana produksi pertanian supaya mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan, bukan karena harganya murah atau menyesuaikan dengan ketersediaannya di pasar. Selain itu, paradigma berkelanjutan juga membantu menciptakan pasar saprotan yang kompetitif dan berdaya saing untuk  menjaga stabilitas harga, baik di sisi produsen atau konsumen.
Rahmad menambahkan, kebijakan bantuan saprotan, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi. 
“Namun mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat dan selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani. Tidak kalah penting, perlu kebijakan di sisi suplai untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar,” tegasnya. 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Impor pangan seringkali dipandang sebagai tindakan yang tidak nasionalis. Melihat rendahnya produktivitas pangan lokal, impor merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi kebutuhan pangan. Produktivitas yang rendah masih menjadi persoalan di sektor pangan. Padahal kebijakan terkait bantuan sarana produksi pertanian (saprotan) sudah ada. Efektivitas program bantuan sarana produksi pertanian (saprotan) perlu dievaluasi karena program ini belum terbukti mampu meningkatkan produksi pangan pokok, misalnya saja beras. Salah satu jenis saprotan atau input pertanian, yaitu pupuk bersubsidi, sering mengalami kelangkaan dan harganya juga berbeda jauh dengan pupuk tidak bersubsidi.

“Tidak efektifnya program ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rahmad Supriyanto, sebagaimana dikutip dalam keterangannya, kemarin. 

Kebijakan subsidi pupuk dalam jangka pendek belum menunjukkan potensi perubahan yang signifikan. Peningkatan anggaran tidak sebanding dengan produktivitas pangan, contohnya beras. Sementara itu, Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Bahkan di tahun 2024, produksi padi hanya menyentuh di angka 53,14 juta ton.

Kebijakan bantuan pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada tahun 2024. Padahal, perlu dilakukan reformasi bantuan untuk mencegah perverse incentive atau insentif yang menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Bantuan idealnya dapat mendorong kompetisi dan kemandirian usaha tani.

Mekanisme penebusan melalui Kartu Tani juga belum optimal dan merata. Setelah tiga tahun diperkenalkan, Kementerian Pertanian menyebut hanya sebesar 8,63% petani yang telah menggunakan Kartu Tani. Selanjutnya, upaya penyederhanaan penebusan pupuk bersubsidi melalui  melalui pengenalan iPubers (aplikasi untuk pengoptimalan penyaluran pupuk) juga belum maksimal. 

Selain program subsidi pupuk, pemerintah juga memberikan bantuan dalam penyediaan benih melalui alokasi benih gratis kepada para petani yang memenuhi persyaratan di Calon Petani Calon Lokasi (CPCL). Program bantuan benih merupakan respon atas rendahnya penyerapan benih bersubsidi di tingkat petani. “Tantangan juga terjadi seperti proses pendataan penerima dan pengajuan proposal yang lambat, serta perubahan perilaku petani dalam memilih benih di awal musim tanam,” jelas Rahmad.

Untuk mereformasi pasar saprotan, pemerintah perlu melakukan sejumlah perbaikan. Yang pertama adalah perlunya perbaikan untuk menciptakan sistem pasar yang lebih mendukung tumbuhnya usaha pertanian skala kecil. Selain itu, perlu adanya perbaikan untuk menyokong usaha pertanian tersebut untuk mencapai kesejahteraan dan berkontribusi terhadap ketahanan pangan.

Pemerintah perlu fokus pada paradigma keberlanjutan, yaitu terciptanya perubahan perilaku dimana petani dapat memilih jenis saprotan yang memang dibutuhkan olehnya. Petani memahami pentingnya menghindari efek samping kebijakan saprotan yang mendorong penggunaan pupuk kimia secara berlebihan dan berakibat pada buruknya kualitas tanah. 

Program bantuan saprotan idealnya disesuaikan dengan kebutuhan petani. Untuk itu, petani perlu mendapatkan akses yang mudah dalam mendapatkan berbagai bentuk sarana produksi pertanian supaya mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan, bukan karena harganya murah atau menyesuaikan dengan ketersediaannya di pasar. Selain itu, paradigma berkelanjutan juga membantu menciptakan pasar saprotan yang kompetitif dan berdaya saing untuk  menjaga stabilitas harga, baik di sisi produsen atau konsumen.

Rahmad menambahkan, kebijakan bantuan saprotan, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi. 

“Namun mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat dan selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani. Tidak kalah penting, perlu kebijakan di sisi suplai untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar,” tegasnya. 

BERITA TERKAIT

Kinerja 2024, SIG Jaga Konsistensi Menuju Bisnis Bahan Bangunan Berkelanjutan

NERACA Jakarta – PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) mengumumkan kinerja keuangan konsolidasian tahun 2024 yang telah diaudit (audited). Volume…

Respon Pemimpin Dunia Menghadapi Kebijakan Tarif AS

Respon Pemimpin Dunia Menghadapi Kebijakan Tarif AS NERACA Jakarta - Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan…

Mengurai Kemacetan Arus Balik dengan FWA

Mengurai Kemacetan Arus Balik dengan FWA NERACA Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini menetapkan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Kinerja 2024, SIG Jaga Konsistensi Menuju Bisnis Bahan Bangunan Berkelanjutan

NERACA Jakarta – PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) mengumumkan kinerja keuangan konsolidasian tahun 2024 yang telah diaudit (audited). Volume…

Respon Pemimpin Dunia Menghadapi Kebijakan Tarif AS

Respon Pemimpin Dunia Menghadapi Kebijakan Tarif AS NERACA Jakarta - Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan…

Mengurai Kemacetan Arus Balik dengan FWA

Mengurai Kemacetan Arus Balik dengan FWA NERACA Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini menetapkan…