NERACA
Jakarta - Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara termasuk Indonesia, yang efektif 3 hari setelah diumumkan. Kebijakan Trump itu bakal diterapkan secara bertahap, yaitu mulai dari pengenaan tarif umum 10 persen untuk seluruh negara terhitung sejak tanggal 5 April 2025, kemudian tarif khusus untuk sejumlah negara mulai berlaku pada 9 April 2025 pukul 00.01 EDT (11.01 WIB).
Pemimpin dunia pun merespon atas kebijakan tesebut. Pasalnya AS menjadi salah satu pasar ekspor dari banyaknya negara. China menjadi negara yang terkena dampak besar mengingat banyak produk China yang masuk pasar Amerika. Negeri tirai bambu tesebut justru membalas kebijakan dari Trump dengan menerapkan tarif 34 persen atas produk-produk impor asal AS.
"Semua barang impor asal AS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 34 persen atas tarif yang berlaku saat ini. Kebijakan bebas bea dan keringanan tarif yang berlaku saat ini tidak berubah, dan tarif tambahan ini tidak termasuk dalam keringanan," demikian disebutkan dalam laman Komite Tarif Dewan Negara China
Komite Tarif menyebut pengenaan tarif tambahan tersebut berdasarkan Undang-Undang (UU) Tarif, UU Kepabeanan dan UU Perdagangan Luar Negeri China maupun prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang akan mulai diberlakukan mulai 10 April 2025. Sedangkan dalam laman Kementerian Luar Negeri China pada Sabtu (5/4) disebutkan bahwa pemberlakuan tarif oleh AS tersebut telah melanggar hak dan kepentingan sah berbagai negara, melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), merusak sistem perdagangan multilateral berbasis aturan serta mengguncang stabilitas tatanan ekonomi global.
Presiden RI Prabowo Subianto bersama empat pemimpin negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengatur strategi untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat yang ditetapkan oleh Presiden AS Donald Trump. Tim Media Presiden Prabowo Subianto dalam siaran resminya di Jakarta, Sabtu, menjelaskan keempat pemimpin itu berdiskusi melalui sambungan telepon. “Presiden Prabowo melakukan telewicara dan bertukar pandangan dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong,” demikian siaran resmi Tim Media Presiden Prabowo.
Dalam kesempatan terpisah, PM Malaysia Anwar Ibrahim mengungkap isi pembicaraan tersebut dalam akun sosial media pribadinya. PM Anwar menyebut dirinya bersama Presiden Prabowo, Presiden Marcos, dan PM Wong berbagi pandangan masing-masing terkait kebijakan tarif Trump, dan mengoordinasikan respons bersama terhadap kebijakan tersebut. “Hari ini saya berkesempatan melakukan diskusi melalui telepon dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Singapura untuk memperoleh pandangan dan mengoordinasikan tanggapan bersama mengenai masalah tarif timbal balik oleh Amerika Serikat,” kata PM Anwar sebagaimana dikutip dari akun media sosial resminya di Jakarta, Sabtu.
Potensi Resesi
Akibat lebih jauh dari harga-harga yang melambung adalah naiknya inflasi yang bisa berujung pada turunnya aktivitas ekonomi atau resesi, padahal Trump berusaha keras memacu lagi gairah ekonomi AS. Dalam pandangan sejumlah ekonom dan lembaga keuangan, dinamika tarif impor malah menaikkan kemungkinan resesi. Ken Rogoff, mantan kepala ekonom IMF, memprediksi kemungkinan resesi di AS kini naik menjadi 50 persen, sementara JP Morgan menyebut kemungkinan terjadi resesi meningkat menjadi 60 persen.
Skenario ini mengusik banyak kalangan di AS, termasuk Senator John Neely Kennedy. Mereka khawatir manuver perdagangan Trump terlalu berlebihan yang malah bisa sangat merugikan konsumen dan pasar domestik AS, yang sudah merintih lama akibat harga-harga membumbung tinggi akibat berbagai faktor. Sudah begitu, perang tarif yang dilancarkan Trump tidak jelas arahnya. Trump menegaskan beban tarif ditanggung oleh mitra-mitra dagang AS, tapi faktanya importir-importir AS yang mesti menanggung beban itu.
Alasan-alasan menjatuhkan tarif pun kerap tidak kuat, termasuk rumus tarif yang ternyata hanya untuk mengakali defisit perdagangan, dan alasan-alasan sumir, seperti alasan arus imigran ke AS seperti ditudingkan kepada Kanada. Masalah lain yang mengemuka adalah koordinasi dalam pemerintahan AS, sehingga pengenaan tarif kepada mitra dagang sering maju mundur. Hari ini diumumkan, besok ditangguhkan, diumumkan lagi, ditangguhkan lagi, begitu seterusnya.
Ini membuat sejumlah kalangan meyakini perang tarif hanyalah cara Trump untuk menggertak mitra-mitra dagang AS agar menegosiasi ulang perdagangannya dengan AS sehingga tidak terus-terusan defisit. Bagi negara yang postur ekonominya tidak sebesar China atau Uni Eropa, mereka akan cepat-cepat bernegosiasi ulang dengan Trump. Tapi bagi raksasa seperti China, yang penyuka berat stabilitas, manuver coba-coba dan gertakan dianggap sebagai langkah riskan yang tak hanya bisa mencelakakan mereka tapi juga membahayakan perekonomian global.
NERACA Jakarta – Blending bahan bakar minyak (BBM) adalah bagian dari kegiatan pengolahan yang diperbolehkan, selama mengikuti izin dan…
Launching Koperasi MIMS, Kemenkop Dukung Kemandirian Ekonomi Pekerja Migran Indonesia Surabaya - Kementerian Koperasi (Kemenkop) memberikan dukungan penuh, terhadap…
NERACA Jakarta – Pertumbuhan e-commerce Tanah Air terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Merujuk laporan e-Conomy SEA 2024…
NERACA Jakarta – Blending bahan bakar minyak (BBM) adalah bagian dari kegiatan pengolahan yang diperbolehkan, selama mengikuti izin dan…
Launching Koperasi MIMS, Kemenkop Dukung Kemandirian Ekonomi Pekerja Migran Indonesia Surabaya - Kementerian Koperasi (Kemenkop) memberikan dukungan penuh, terhadap…
NERACA Jakarta – Pertumbuhan e-commerce Tanah Air terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Merujuk laporan e-Conomy SEA 2024…