Masa Depan BPRS

Oleh : Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Kehadiran dari BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syariah) merupakan salah satu peran kunci  bagi pengembangan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan keberadaan dari Bank Umum Syariah (BUS) belum bisa secara inklusi untuk bisa diakses secara menyeluruh bagi masyarakat di barbagai daerah. Maka kehadiran BPRS sebagai pelengkap dalam pengembangan perbankan syariah dianggap urgent, ketika keberadaan dari BUS belum mampu maksal dalam memberikan pelayanan. Selain itu, kehadiran BPRS yang selama ini banyak berdiri di daerah sebagai instrumen alternatif masyarakat untuk memilki dan merasakan transaksi keuangan syariah.  Dengan demikian kehadiran BPRS sebagai antitesis dari perbankan konvensional (BPR).

Dalam kajian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menyebutkan kehadiran BPRS sebagai keuangan formal selama ini berperan dalam dalam meningkatkan akses keuangan bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini karena BPRS adalah lembaga keuangan syariah (LKS) yang segmen utamanya usaha mikro kecih dan menengah (UMKM). Meningkatkan akses UMKM kepada layanan keuangan formal penting, karena UMKM memiliki peranan besar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penyerapan 97% angkatan tenaga kerja nasional dan berkontribusi sebesar 61% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sayangnya, persoalan klasik seputar pembiayaan dan pengembangan usaha masih tetap melekat pada UMKM.

Sampai saat ini, Pemerintah mencatat dari 65,47 juta UMK di seluruh Indonesia, hanya 18% yang mampu mengakses pembiayaan. Dari persentase tersebut, sebanyak 76,1% mendapatkan kredit dari bank sedangkan 23,9% mengakses pembiayaan dari Institusi nonbank termasuk institusi keuangan mikro seperti koperasi. Dengan kata lain, sekitar 60%-70% dari seluruh sektor UMKM belum memiliki akses pembiayaan melalui lembaga keuangan formal seperti bank.

Meski demikian, industri BPR dan BPRS akan selalu dihadapkan pada tantangan, baik tantangan global dan domestik yang bersumber dari eksternal, maupun tantangan struktural yang bersumber dari internal BPR dan BPRS. Adopsi teknologi informasi di bidang keuangan yang semakin masif berdampak pada perubahan perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari bank, termasuk BPR dan BPRS. Selain itu, BPR dan BPRS juga menghadapi persaingan yang semakin ketat khususnya pada penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen mikro dan kecil, yang diiringi dengan potensi peningkatan risiko kredit atau pembiayaan.

Tantangan inilah yang menjadikan BPR dan BPRS harus berbenah jika ingin tetap eksis sebagai lembaga keuangan di masyarakat. Apalagi dengan segmen pasar pembiayaan UMKM, BPRS secara tak langsung berhadapan dengan dua kekuatan yaitu  BUS yang selama ini menjadi penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Koperasi Syariah d level mikro. Maka sangat wajar sekali di tahun 2024 bagi BPR/ BPRS yang tak mampu mengikuti perkembangan, dinamika dan tidak kompetitif tergerus secara alami. Bahkan  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan pencabutan izin usaha (CIU) kepada sebanyak 20 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) sejak awal tahun 2024. Pencabutan izin usaha ini memiliki dampak yang signifikan bagi kepercayaan (trust) masyarakat dalam menempatkan dananya di BPRS.

Untuk itu dalam menatap masa depan BPRS diperlukan penguatan diberbagai bidang khususya di sisi kelembagaan serta perluasan kegiatan usaha dan aktivitas BPRS. BPRS diharapkan memiliki struktur yang lebih kuat untuk mampu menyerap potensi risiko tersebut sehingga dapat memanfaatkan kesempatan dari regulasi yang ada selama ini seperti di Undang–Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) agar lebih berkembang. 

Seperti di Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR/BPRS 2024 – 2027 yang diluncurkan oleh OJK yang memiliki arah pengembangan dan penguatan struktural sebagai respon terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh industri BPR dan BPRS ke depan, baik dari sisi internal maupun eksternal industri BPR dan BPRS. Secara umum, RP2B terdiri atas 4 (empat) pilar utama, yaitu: Penguatan struktur dan daya saing, akselerasi digitalisasi BPR dan BPRS, penguatan peran BPR dan BPRS terhadap wilayahnya, penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan. RP2B inilah menjadi harapan dan masa depan pengembangan BPRS.

BERITA TERKAIT

Optimalisasi KUR di 2025

Oleh: Airlangga Hartarto Menko Bidang Perekonomian   Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali mencatatkan kinerja positif di tahun 2024. sejumlah capaian program…

DIPA 2025 Diserahkan, Rakyat Menanti Eksekusi

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Presiden Prabowo telah menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan…

Generasi Muda Masa Depan Industri

Oleh: Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita Sektor industri manufaktur kerap disebut sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini didukung dengan fakta…

BERITA LAINNYA DI

Optimalisasi KUR di 2025

Oleh: Airlangga Hartarto Menko Bidang Perekonomian   Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali mencatatkan kinerja positif di tahun 2024. sejumlah capaian program…

Masa Depan BPRS

Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran dari BPRS (Bank Perekonomian Rakyat Syariah) merupakan salah satu peran kunci  bagi…

DIPA 2025 Diserahkan, Rakyat Menanti Eksekusi

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Presiden Prabowo telah menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan…