Jakarta-Rencana Pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal 2025 sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), hingga kini masih menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat, mulai dari ekonom, pengusaha hingga mantan pejabat.
NERACA
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas 2014-2015, Andrinof Chaniago menilai peluang menaikkan penerimaan pajak negara (PPN) terbuka lebar. Namun, kebijakan ini dinilai tidak tepat dijalankan saat ini.
Andrinof mengatakan alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kenaikan PPN malah berisiko melemahkan ekonomi karena akan menekan sisi permintaan masyarakat. Hal ini pun sudah disuarakan oleh pelaku usaha. "Kan kalau sudah pelaku usaha yang bereaksi ya sudah. Mereka akan blak-blakan minta turun. Permintaan akan berkurang, maka produksi mereka akan turun. Produksi turun, maka penghasilan, ROE (return on equity), segala macam akan mengecil, sebetulnya balik juga ke penerimaan negara. Yang ditargetkan Rp 70 triliun bisa jadi gak sampai, jauh," ujarnya.
Oleh karena itu, dia yakin akan ditinjau kembali. Pasalnya, industri dan pengusaha akan terdampak. "Itu namanya, menyelesaikan masalah dengan beberapa masalah," ujarnya.
Dosen Fisip-UI itu mengaku bahwa kelas menengah dan kelas menengah bawah mengalami stagnasi aset. "Kelas menegah stagnan, yang menegah bawahnya stagnan tapi yang atas itu majunya akselerasinya tinggi. Yang kaya makin kaya," ujarnya.
Andrinof mengungkapkan kebijakan menaikkan PPN sebesar 12% menjadi tanda jelas bahwa negara kurang uang untuk membiayai program pemerintah.
"Itu tanda-tanda Indonesia kurang uang. Kalau lagi bicara sumber uang, berarti negara, pemerintah kurang uang berarti. Ya pajak, cari sumber-sumber pajak. Dinaikkin pajaknya, atau basis pajaknya dicari. Ya kemudian, nambah utang," ujarnya.
Menurut Andrinof, hal ini disebabkan oleh adanya sumber penerimaan negara yang tidak maksimal. Contohnya bagi hasil sumber daya alam. "Bukan gak ada sumber lain, ada yang menjadi haknya negara itu ada, tapi gak ada diambil. Ya, itu contohnya bagi hasil sumber daya alam. Itu contoh nyata," ujarnya.
Batalkan via Perppu
Sementara itu, penolakan keras datang dari Mantan Dirjen Pajak di era Presiden SBY, Hadi Poernomo. Dia mendesak pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN 12%, bukan sekedar mengundur penerapannya.
Sebagai alternatif, Hadi mengusulkan sistem perpajakan berbasis sistem monitoring self-assessment untuk menjaga penerimaan negara sekaligus menurunkan tarif PPN kembali ke 10%. Dia pun menegaskan kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.
Hadi menilai pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan tarif PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan. "Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena ini kan sudah diatur undang-undang di UU HPP," ujar Hadi dalam rilisnya, Rabu (3/12).
Dia menambahkan, mengacu pada UU HPP, tarif PPN 12 persen ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya masih ada waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut.
"Waktu yang singkat ini masih bisa dilakukan pemerintah dengan menerbitkan perppu, karena hanya membutuhkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto," tutur Hadi. Menurut dia, mengandalkan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi.
Hadi mengusulkan sistem monitoring self-assessment, di mana seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan. Dengan demikian, pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga alat yang sangat strategis untuk memberantas korupsi dan melunasi semua utang negara.
Menkeu era Presiden Jokowi, Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro pun ikut buka suara. Dia menegaskan penolakannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN, jika dilakukan demi mengkompensasi penurunan pajak penghasilan (PPh) badan. "Secara prinsip sebenarnya saya kurang setuju. Tapi karena sudah dilakukan, dan kebetulan itu dinyatakan dengan suatu tahapan," ujarnya seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (4/12).
Bambang mengungkapkan, saat menjadi menteri keuangan periode pertama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, penolakan gencar dia lakukan karena didasari pada tidak adilnya paket kebijakan kompensasi pajak tersebut, karena PPN dikenakan untuk setiap transaksi masyarakat Indonesia, sedangkan PPh Badan hanya dipungut untuk perusahaan menengah dan besar.
"Karena bagi saya, kalau kita menurunkan PPh badan, maka yang mendapatkan manfaat adalah, ya mohon maaf ya, pengusaha-pengusaha menengah besar," ujar ekonom senior yang sempat menjadi Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2016-2019 itu.
"Sedangkan kalau kompensasinya, kenaikan PPN, itu akan mengena kepada seluruh masyarakat, seluruh penduduk Indonesia yang melakukan transaksi ekonomi. Tidak peduli apakah dia kelas yang paling atas atau kelas yang paling bawah," tegas dia.
'Butuh Uang'
Mantan Wakil Menkeu Anny Ratnawati mengungkapkan dugaannya mengapa pemerintah terkesan ngotot ingin menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di tengah tekanan daya beli masyarakat.
Anny menduga pemerintah butuh tambahan penerimaan untuk membiayai program-program pemerintah baru. "Kita memang tahu pemerintah sekarang butuh kenaikan penerimaan negara, ada program-program baru yang harus didanai," ujarnya.
Selain membiayai program, Anny menduga pemerintah butuh banyak uang untuk kebutuhan lainnya, yakni membayar utang yang jatuh tempo dan bunga utang. Dia mengatakan seperti diketahui, pemerintah akan menghadapi utang jatuh tempo dan bunga utang yang menumpuk pada 2025 dan 2026.
"Kita pada 2025 dan 2026 harus membayar utang dan bunga utang dalam jumlah besar, sementara APBN yang kita memiliki keterbatasan.. jadi itu urgensi kenapa PPN menjadi 12%," ujarnya.
Meski mengetahui kebutuhan pemerintah, Anny menilai kenaikan PPN menjadi 12% dirasa kurang tepat dan akan sangat menekan daya beli masyarakat. Terlebih, kata dia, masyarakat juga akan menghadapi berbagai kenaikan iuran, seperti BPJS Kesehatan, iuran perumahan hingga rencana peralihan subsidi BBM. "Jadi isu-isu itu yang membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan daya beli, utamanya masyarakat kelas menengah kita," ujarnya.
Politikus Gerindra yang merupakan mantan Menkeu periode Maret-Mei 1998 era Pemerintahan Soeharto, Fuad Bawazier menilai suara-suara penolakan kenaikan PPN itu wajar terjadi karena ekonomi masyarakat saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, khususnya yang berkaitan dengan daya beli masyarakat. Tercermin dari kondisi deflasi 5 bulan berturut-turut sejak Mei-September 2024, sebelum akhirnya inflasi sedikit pada Oktober 2024 sebesar 0,08%.
"Artinya banyak yang menilai ini adalah penurunan daya beli. Apalagi ke penduduk kelas menengah. Itu bisa dilihat dari macam-macam indikasi. Antara lain ada yang deposito di bank-bank itu depositnya kemungkinan menurun, sementara yang atas malah naik," ujar Fuad.
Dia meyakini permasalahan itu tentu akan menjadi pertimbangan Prabowo untuk meninjau kembali rencana kenaikan PPN sesuai amanat UU HPP.
Menurut dia, penundaan implementasi dari amanat UU ini pernah terjadi pada 1985 saat akan berlakunya UU PPN. Kala itu, pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan tarif PPN sebesar 10% karena memang kondisi ekonomi masyarakat belum siap untuk menanggung beban pungutan terhadap setiap transaksi barang dan jasa.
"Salah satunya saat itu PPN, yang mustinya berlaku Januari 1984 ditunda menjadi Januari 1985. Nah ini bisa saja. Misalnya apakah ditunda itu kan sebelumnya ada enggak ada pemerintahan baru ataupun tidak memang sudah harus berlaku tahun 2025, ada undang-undang," ujarnya. bari/mohar/fba
Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…
NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…
Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua…
Jakarta-Ketua Badan Anggaran DPR-RI, Said Abdullah memastikan, pihaknya sudah menyampaikan agar pemerintah memitigasi risiko atas dampak kenaikan PPN dari 11…
NERACA Jakarta - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 80.000 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari—awal…
Jakarta-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS dan e-Tol tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara itu, Ketua…