Opsi Turunkan Tarif PPN

 

 

Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA, Advokat dan Praktisi Pajak

 

          Maraknya gelombang protes dari berbagai kalangan masyarakat atas rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025 perlu mendapat perhatian serius dari Presiden Prabowo Subianto. Mengapa demikian ? Karena Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang, artinya Menteri Keuangan memberi sinyal bahwa bolanya agar diambil alih oleh Presiden, mengingat dampak “bola” ini bersifat nasional. Maka hanya Presiden yang dapat membatalkannya, bahkan dapat menurunkannya serendah-rendahnya menjadi 5% sesuai dengan amanat Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) melalui Peraturan Pemerintah.

Dampak Ekonomi

          Pasca pandemi covid 19 sesungguhnya kondisi sosial ekonomi masyarakat belumlah pulih, karena covid 19 menyisakan luka yang amat dalam ditambah lagi kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan berimbas terhadap ekonomi nasional sebagai konsekuensi ekonomi terbuka. Melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang dollar khususnya menambah runyamnya ekonomi Indonesia yang berdampak menggerus daya beli masyarakat, ditambah lagi peningkatan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diberbagai perusahaan.

          Berbagai rencana kenaikan harga dan tarif yang langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap melemahnya daya beli masyarakat. Hal yang sama juga dialami oleh dunia usaha di dalam negeri seperti yang dikemukakan oleh berbagai asosiasi pengusaha karena kenaikan tarif PPN sudah pasti mempengaruhi rantai pasok kegiatan ekonomi masyarakat, termasuk bagi barang dan jasa yang bukan objek PPN sebagai dampak ikutannya.

                    Dampak dari pembebanan PPN yang tinggi akan meningkatkan harga beli pada konsumen akhir, berimplikasi terhadap inflasi. Harga naik dalam situasi pendapatan tetap masyarakat bahkan turun, maka permintaan masyarakat turun, volume perdagangan dan produksi nasional juga turun. Dari sisi pelaku usaha terjadi penurunan penjualan, karena volume transaksi mengecil (small scale of economy) yang berdampak high cost economy, pada ujungnya terjadi kerugian dikalangan pelaku usaha, bahkan cenderung kebangkrutan usaha. Jadi dengan naiknya tarif PPN dalam situasi ekonomi yang sangat berat, kenaikan tarif PPN justru akan berdampak kontraproduktif terhadap penerimaan pajak, baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun PPN, bahkan berdampak pada berbagai masalah sosial, akibat dari PHK.

Data statistik menunjukkan kontribusi konsumsi masyarakat terhadap produk domestik bruto kurang lebih 54,53% pada kuartal II 20204. Jika daya beli masyarakat melemah, dapat dipastikan tingkat konsumsi juga akan menurun, akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional menurun, dengan kata lain tingkat kesejahteraan masyarakat menurun.        Model ekonomi makro sederhana, instrumen pajak dapat berdampak kontraksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan laju impor tampaknya tidak dapat dikurangkan yang pada akhirnya menambah dampak kontraksi terhadap PDB.

          Berdasarkan analisis tersebut, maka kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah justru harusnya menurunkan tarif PPN. Dengan demikian gairah konsumsi masyarakat tetap terjaga, sehingga volume transaksi perdagangan dan produksi dapat menghasilkan laba berkelanjutan yang berimbas terhadap penerimaan PPN dan PPh secara positif. Dalam waktu bersamaan pemerintah secara koordinatif harus proaktif melakukan upaya ekstensifikasi seperti penggalian potensi pajak diberbagai sektor yang selama ini belum tersentuh.

          Penggalian potensi pajak atas Underground Economy yang Unreported harus diupayakan serius dan juga tindak lanjut pasca Tax Amnesty jilid satu dan jilid dua semuanya harus berdasarkan data dan bukti yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seharusnya DJP memiliki bukti yang kuat terkait Wajib Pajak yang tidak mengikuti Tax Amnesty jilid satu dan dua, dimana hartanya belum dilaporkan dalam SPT Tahunan. Tindak lanjut dari pasca Tax Amnesty perlu diketahui publik sebagai wujud asas tranparansi, sehingga publik yang mengikuti Tax Amnesty merasa yakin dan percaya atas manfaat kebijakan Tax Amnesty yang telah dijalankan tempo hari. Public trust dari masyarakat Wajib Pajak perlu selalu dibangun. 

Pertimbangan Sisi Hukum

          Dengan diterapkannya kenaikan tarif PPN menjadi 12% diawal tahun 2025 publik semakin resah, baik kalangan konsumen maupun pelaku usaha. Keresahan publik ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah, yang dalam istilah latin dikenal dengan Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan). Kenyataan sosial yang demikian itulah yang dinyatakan Ehrlich secara ekonomis, karena ekonomi pada hakekatnya merupakah basis kehidupan manusia.

Hal demikian yang harus direspon oleh aturan hukum yang tertuang dalam Undang-undang Pasal 7 ayat (3) yang menyatakan tarif PPN dalam besaran antara 5% hingga 15%,  sehingga terdapat rongga untuk menurunkan tarif PPN paling rendah menjadi 5%. Jadi tidak satu-satunya opsi hanya untuk menaikkan. Tentu sebagai negara hukum, pemerintah tidak mengabaikan living law. Menurunkan tarif PPN juga merupakan perbuatan patuh hukum, dan patuh pada living law.

          Living Law mengandung makna hukum yang terbuka, dengan demikian tekanan publik dari berbagai kalangan untuk membatalkan kenaikan tarif menjadi 12% dapat dipahami sebagai wujud dari living law. Presiden Prabowo Subianto dapat mewujudkan penurunan tarif PPN dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah, artinya dapat diturunkan paling rendah menjadi 5%. Jadi juga terbuka opsi untuk menurunkan tarif PPN dari 11%. Tidak melulu harus naik dengan memperhatikan kondisi nyata ditengah-tengah masyarakat. Seandainya Presiden Prabowo Subianto bisa mewujudkannya, artinya Presiden telah memaknai hukum tidak tunggal, tapi memaknai hukum secara terbuka.

Simpulan

          Kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat dipastikan berimbas terhadap penurunan kemakmuran rakyat, khususnya golongan menengah kebawah ditengah-tengah kondisi global yang tidak pasti dan tidak baik-baik saja. Sebagai negara hukum, pemerintah harus memperhatikan suara rakyat, termasuk rakyat yang diam. Karena diam mempunyai makna yang dalam, menggambarkan sulitnya kehidupan yang dialaminya. Pemimpin wajib kiranya mendengar dan memperhatikan dengan serius suara rakyatnya, suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei).

Dari sisi ekonomi makropun opsi penurunan tarif PPN justru berdampak positif terhadap ekonomi nasional, asal pemerintah melakukan berbagai terobosan cerdas untuk menggali berbagai potensi pajak, bea dan cukai dan penerimaan negara bukan pajak yang tersebar diberbagai sektor dan Kementerian dan Lembaga termasuk Underground Economy yang legal, tetapi Unreported. Agar ekonomi tetap tumbuh, maka opsi penurunan tarif PPN perlu dipertimbangkan.

BERITA TERKAIT

Optimalkan Pemberdayaan UMKM Demi Jaga Ketahanan Ekonomi

  Oleh: Satria Permana, Pengamat UMKM   Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024…

Pendekatan Humanis Berantas Peredaran Narkoba

Oleh : Mika Putri Larasati, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan   Dalam menghadapi ancaman narkoba yang terus menggerogoti berbagai lapisan masyarakat, Presiden…

Masa Depan Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana di Era Pemerintahan Baru

  Oleh: Sausan Afifah Muti, Analis Kebijakan di BKF, Kemenkeu   World Risk Report 2024 telah merilis peringkat negara-negara dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Opsi Turunkan Tarif PPN

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA, Advokat dan Praktisi Pajak             Maraknya gelombang protes dari berbagai kalangan…

Optimalkan Pemberdayaan UMKM Demi Jaga Ketahanan Ekonomi

  Oleh: Satria Permana, Pengamat UMKM   Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024…

Pendekatan Humanis Berantas Peredaran Narkoba

Oleh : Mika Putri Larasati, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan   Dalam menghadapi ancaman narkoba yang terus menggerogoti berbagai lapisan masyarakat, Presiden…