Oleh: Sausan Afifah Muti, Analis Kebijakan di BKF, Kemenkeu
World Risk Report 2024 telah merilis peringkat negara-negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia, di mana Indonesia ditempatkan pada posisi kedua setelah Filipina. Fakta ini juga didukung dengan data hasil perhitungan indeks risiko bencana tahun 2023 oleh BNPB, di mana tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang berada pada kelas risiko bencana rendah. Tercatat 13 Provinsi berada pada kelas risiko tinggi, dan 25 Provinsi lainnya memiliki risiko sedang. Data ini mungkin tidak mengagetkan mengingat hampir setiap hari kita mendengar terjadinya bencana di berbagai wilayah Indonesia.
Kementerian Keuangan pernah merilis bahwa potensi kerugian ekonomi negara akibat bencana berada di kisaran 22,8 triliun rupiah per tahunnya. Ini tentunya bukan angka yang sedikit. Lalu, apa yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah dalam pembiayaan risiko bencana? Di tahun 2024 ini, Indonesia memiliki pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Menarik untuk dilihat bagaimana kebijakan pemerintahan era Prabowo dalam mengatasi tingginya risiko serta besarnya dampak yang ditimbulkan oleh bencana di negara ini.
Implementasi Pendanaan
Undang-Undang Nomor 24/2007 telah mengatur tanggung jawab pemerintah untuk mengalokasikan dana yang memadai guna kegiatan penanggulangan bencana. Selain alokasi rutin dalam APBN, UU ini juga mengatur mengenai berbagai dana yang diperuntukan dalam setiap tahap bencana, dari mulai prabencana, tanggap darurat, sampai pascabencana. UU Penanggulangan Bencana serta aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22/2008 telah mengatur pendanaan bencana secara komprehensif pada setiap tahapannya.
Selain skema pendanaan konvensional dalam berbagai peraturan di atas, pemerintah juga telah meluncurkan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) pada tahun 2018. Strategi PARB mengenalkan bauran kebijakan dengan mempertimbangkan dampak serta frekuensi bencana. Pemerintah akan menanggung risiko bencana berdampak kecil namun sering terjadi.
Sementara untuk bencana yang jarang terjadi tetapi memiliki risiko tinggi, pemerintah akan mentransfer risikonya. Dengan prinsip ini, Strategi PARB mengenalkan berbagai instrumen pembiayaan risiko bencana, di luar APBN/APBD, seperti asuransi aset pemerintah, asuransi mikro, pinjaman siaga, serta instrumen kuncinya yaitu Pooling Fund Bencana (PFB).
Sebagai salah satu instrumen Strategi PARB, PFB telah memiliki payung hukum tersendiri yakni Peraturan Presiden Nomor 75/2021. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup telah ditunjuk untuk mengelola dana PFB, di mana sampai saat ini telah terhimpun sebesar 7,3 triliun rupiah. PFB digadang-gadang akan menjadi skema pembiayaan inovatif mengingat PFB dapat mengumpulkan pendanaan dari berbagai sumber. Selain itu PFB juga akan mengintegrasikan berbagai instrumen pembiayaan inovatif, seperti asuransi.
Dalam perkembangannya, implementasi Strategi PARB ini mengalami berbagai tantangan. Sesuai peta jalan jangka menengahnya, Strategi PARB sedianya berakhir pada tahun 2023 lalu. Namun dalam kenyataannya, hanya beberapa skema pembiayaan saja yang telah diimplementasikan misalnya asuransi Barang Milik Negara. Masih terdapat beberapa instrumen pembiayaan risiko bencana yang belum dapat terrealisasikan secara utuh, misalnya PFB. Walaupun telah memiliki dasar hukum dalam bentuk Perpres, dana PFB yang telah terkumpul dan dikelola saat ini belum dapat disalurkan. Perlu ketentuan lebih lanjut mengenai operasionalisasi PFB agar dananya dapat segera disalurkan. Implementasi menyeluruh dari Strategi PARB dan PFB ini sangat dinantikan, mengingat perannya sebagai alternatif dan komplemen bagi mekanisme pendanaan bencana yang telah ada.
Sayangnya, pentingnya kebutuhan alternatif pembiayaan penanggulangan bencana belum menjadi fokus utama pada rencana kerja pemerintahan baru. Jika dibandingkan dengan RPJMN 2020-2024, pemerintah saat itu secara spesifik menyebutkan strategi peningkatan pengembangan dan inovasi skema alternatif pembiayaan penanggulangan bencana sebagai salah satu arah kebijakan peningkatan ketahanan bencana dan iklim. Hal ini karena pemerintah sadar bahwa kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh bencana, tidak dapat sepenuhnya ditanggung oleh APBN/APBD.
Namun hal ini tentunya tidak serta merta menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo menghiraukan kegiatan penanggulangan bencana. Penguatan resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim menjadi salah satu prioritas nasional pemerintah di 2025. Pemerintah menetapkan target penurunan kerugian ekonomi langsung akibat bencana relatif terhadap PDB sebesar 0,03% dan penurunan indeks risiko bencana menjadi 1,2% di tahun 2025.
Untuk mencapai target ini, pemerintah akan meningkatkan layanan peringatan dini dan kedaruratan bencana, serta meningkatkan resiliensi masyarakat. Hanya saja sumber pendanaan utama untuk kegiatan-kegiatan tersebut akan berasal dari APBN, sehingga beban pembiayaan penanggulangan bencana akan kembali ditempatkan pada APBN.
Padahal, sebagaimana disebutkan dalam Strategi PARB, agar Indonesia memiliki ketahanan bencana diperlukan beragam alternatif pembiayaan di luar APBN, seperti asuransi. Asuransi dapat membantu pemerintah menanggung beban risiko kerugian ekonomi akibat bencana. Berdasarkan studi GAIP, tingkat perlindungan asuransi yang tinggi justru dapat membantu pemulihan ekonomi lebih cepat.
Pada kasus Selandia Baru misalnya, bencana gempa bumi 2011 menyebabkan kerugian sebesar 10% PDB. Namun, 80% kerugian tersebut ditanggung oleh asuransi. Sehingga meskipun dampak kerugian ekonomi tersebut cukup besar tetapi perekonomian mereka tetap mengalami kenaikan menjadi 2.3% di 2012, dibandingkan tahun 2010 sebesar 1,5%.
Sementara itu, gempa bumi di Jepang pada 2011 menimbulkan kerugian sebesar 5,4% dari PDB dan hanya 17% kerugian tersebut yang ditanggung oleh asuransi. Perekonomian Jepang baru mengalami kenaikan menjadi 1,4% di 2012, dibandingkan 4,1% pada 2010. Jadi, meskipun Selandia Baru menderita kerugian ekonomi yang lebih besar dibandingkan Jepang, namun perekonomian mereka dapat pulih dengan lebih cepat karena sebagian besar kerugian tersebut ditransfer ke perusahaan asuransi.
Contoh kasus di atas menekankan pentingnya pemerintah untuk dapat melakukan investasi lebih pada program asuransi kebencanaan. Selain dapat mengurangi risiko fiskal ketika terjadi bencana, hal ini juga dapat mempercepat pemulihan ekonomi serta memperkuat resiliensi masyarakat terhadap bencana. Pemerintah dapat memanfaatkan PFB untuk dapat mendukung program asuransi kebencanaan.
Namun agar hal ini dapat direalisasikan, payung hukum untuk penyaluran dana tersebut harus segera diselesaikan. Percepatan operasionalisasi PFB dalam mendukung program asuransi kebencanaan dapat membantu pemerintah mencapai target prioritas nasional untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana.
Oleh: Arinindya Kusuma, Pengamat Kebijakan Publik Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi tonggak penting dalam perjalanan pembangunan…
Oleh : Angga Setiawan, Mahasiswa PTS di Malang Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjukkan…
Oleh : Anindira Putri Maheswani, Pengamat Sosial Budaya Pilkada Serentak 2024 telah dilaksanakan meninggalkan berbagai dinamika yang…
Oleh: Sausan Afifah Muti, Analis Kebijakan di BKF, Kemenkeu World Risk Report 2024 telah merilis peringkat negara-negara dengan…
Oleh: Arinindya Kusuma, Pengamat Kebijakan Publik Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi tonggak penting dalam perjalanan pembangunan…
Oleh : Angga Setiawan, Mahasiswa PTS di Malang Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjukkan…