NERACA
Jakarta – Dosen Universitas Paramadina sekaligus ekonom Indef Ariyo DP Irhamna menilai, diversifikasi sumber impor menjadi langkah strategis yang harus ditempuh Indonesia untuk mengurangi risiko ekonomi di masa depan.
Pasalnya, Indonesia saat ini tergolong mempunyai ketergantungan impor yang tinggi terhadap China yang tidak hanya mencerminkan risiko ekonomi, tetapi juga geopolitik, kata Ariyo dalam acara diskusi Indef bertajuk ‘Catatan Akhir Tahun: Investasi dan Industri Faktor Kritis Pertumbuhan 8 persen’, dikutip dari keterangannya di Jakarta, Selasa (24/12).
Jika terjadi disrupsi perdagangan bilateral akibat konflik geopolitik, seperti perang dagang yang mungkin berlanjut dengan terpilihnya kembali Donald Trump di AS, ekonomi Indonesia bisa sangat terdampak.
Ketergantungan ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan harga dan kebijakan perdagangan China. “Dari catatan sejak 2004, China menjadi eksportir terbesar ke Indonesia dengan peningkatan signifikan dalam 20 tahun terakhir dengan sembilan persen namun di 2023 menjadi 28 persen. Itu menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor dari China,” ujarnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Ariyo mengusulkan dua strategi utama. Pertama, diversifikasi sumber impor dengan memanfaatkan produk lokal sebagai substitusi impor. Langkah ini juga harus diiringi dengan penguatan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Kedua, diversifikasi pasar ekspor juga menjadi kunci. Data menunjukkan bahwa tujuan ekspor Indonesia belum mengalami perubahan struktural yang signifikan selama hampir 20 tahun terakhir.
Pada 2004, Jepang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia dengan pangsa pasar 40 persen, yang meningkat menjadi 45 persen pada 2023. Sementara itu, Vietnam naik pesat dari peringkat 10 (tiga persen) menjadi peringkat 2 (17 persen) pada periode yang sama. Namun, struktur ini menunjukkan ketergantungan yang sama pada beberapa negara tujuan saja.
"Dari sisi ekspor juga perlu langkah-langkah diversifikasi negara tujuan ekspor agar tidak tergantung pada segelintir negara tujuan ekspor," ujarnya. Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada November 2024 mencapai 24,01 miliar dolar AS atau turun 1,70 persen dibanding ekspor Oktober 2024 yang mencapai 24,42 miliar dolar AS.
"Penurunan ekspor November 2024 disebabkan oleh menurunnya ekspor nonmigas 1,67 persen dari 23,07 miliar dolar AS menjadi 22,69 miliar dolar AS, demikian juga ekspor migas turun 2,10 persen, yaitu dari 1,34 miliar dolar AS menjadi 1,32 miliar dolar As," ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Senin (16/12).
Dari sepuluh komoditas dengan nilai ekspor nonmigas terbesar November 2024, sebagian komoditas mengalami penurunan, dengan penurunan terbesar pada lemak dan minyak hewani/nabati sebesar 317,9 juta dolar AS (10,48 persen). Sementara yang mengalami peningkatan terbesar adalah nikel dan barang daripadanya sebesar 467,6 juta dolar AS (87,26 persen).
NERACA Jakarta – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mengharapkan tidak ada badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.…
NERACA Jakarta – Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan pemerintah mengklaim kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih kuat…
NERACA Jakarta – Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali mencatatkan kinerja positif di tahun 2024. Rapat Koordinasi Komite Kebijakan Pembiayaan…
NERACA Jakarta – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mengharapkan tidak ada badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.…
NERACA Jakarta – Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan pemerintah mengklaim kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih kuat…
NERACA Jakarta – Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali mencatatkan kinerja positif di tahun 2024. Rapat Koordinasi Komite Kebijakan Pembiayaan…