Jakarta-Komisi XI DPR-RI menilai keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% berbeda dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi XI Misbakhun, Senin (23/12). Sementara itu tim peneliti Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan pengeluaran kelompok miskin akan naik Rp101.880 dan kelas menengah Rp354.293 per bulan, sebagai dampak kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025.
NERACA
Misbakhun menjelaskan, pada 5 Desember 2025 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diundang rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta. Hadir Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco, Misbakhun dan sederet pimpinan lainnya. "Presiden menyampaikan yang naik 12% itu hanya selected item," ujarnya.
Barang dan jasa yang dimaksud hanya untuk kelompok barang mewah yang sebelumnya sudah diatur pemerintah, baik impor maupun dalam negeri. Antara lain rumah mewah, apartemen mewah, mobil mewah hingga tas mewah. "Itu arahan Presiden. Sangat jelas dan clear, pak Presiden juga sampaikan di luar itu masih 11%," tutur Misbakhun seperti dikutip CNBCIndonesia.com.
Kebijakan PPN sejatinya sudah diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Pemerintah wajib menjalankan UU tersebut. Begitu pun dengan DPR yang sebelumnya sudah memberikan persetujuan.
Meski demikian, Misbakhun menyarankan implementasi kebijakan harus berdasarkan situasi dan kondisi pada masyarakat. "Presiden mengerti sangat dalam apa yang dirasakan oleh masyarakat, penurunan daya beli gejolak naik turun, bapak Presiden juga tahu kebutuhan uang negara seperti apa," jelasnya.
Sri Mulyani sudah mengumumkan kenaikan PPN menjadi 12% untuk seluruh barang dan jasa kecuali bahan pokok. Khusus tepung, gula dan minyakita akan diberikan PPnDPT, sehingga masyarakat tetap dikenakan PPN 11%.
Menurut Misbakhun kebijakan yang baru saja diumumkan tersebut berbeda dengan arahan Presiden. Maka dari itu, Kementerian Keuangan masih ada waktu mengubah keputusan sebelum mulai berlaku pada 1 Januari 2024. "Mudah-mudahan ada upaya bagaimana mengikuti arahan pak Presiden itu dijalankan dengan baik," ujarnya.
Tidak hanya itu. Pemerintah disebut memiliki kuasa untuk menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tanpa mengubah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Jangankan menunda, dalam UU tersebut pemerintah bahkan bisa menurunkan tarif PPN hingga 5%. Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI Dolfie Othniel Fredric Palit membenarkan tentang kemampuan pemerintah tersebut. "Betul," kata Dolfie ketika dikonfirmasi, belum lama ini.
Aturan yang disebut Dolfie tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang HPP. Ayat (3) Pasal 7 UU HPP mengatur tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PPN) dan membutuhkan persetujuan DPR.
Berikut ini merupakan aturan lengkap dalam Pasal 7 UU HPP yang memungkinkan pemerintah untuk bisa menunda bahkan menurunkan tarif PPN. Pasal 7 berbunyi:
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
a. sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
b. sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).
(4) Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kelompok Miskin
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu menyatakan, harga barang akibat pengenaan PPN 12 persen hanya naik 0,9 persen, sementara tim peneliti Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan pengeluaran kelompok miskin akan naik sebesar Rp101.880 dan kelas menengah Rp354.293 per bulan.
“Kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti dikutip dari keterangan di Jakarta, Minggu.
Sebagai ilustrasi, untuk minuman bersoda dengan harga jual Rp7.000, nilai pengenaan PPN dengan tarif 11 persen adalah sebesar Rp770. Maka, jumlah yang harus dibayar sebesar Rp7.770. Ketika PPN menjadi 12 persen, pengenaan PPN sebesar Rp840, sehingga total biaya yang harus dibayar sebesar Rp7.840.
Dari contoh itu, selisih kenaikan harga antara PPN dengan tarif 11 persen dan 12 persen sebesar Rp70 atau hanya 0,9 persen dari harga sebelum kenaikan Rp7.770.
Sama halnya untuk barang lain, televisi misalnya. Dengan harga jual senilai Rp5 juta, PPN yang dibebankan dengan tarif 11 persen adalah Rp550 ribu, sementara dengan tarif 12 persen menjadi Rp600 ribu. Total harga yang harus dibayar konsumen naik dari Rp5,55 juta menjadi Rp5,6 juta atau berselisih 0,9 persen. “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ujar Dwi.
Dalam kesempatan terpisah, Celios memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.
Perhitungan itu diperoleh melalui pengolahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tentang pengeluaran rumah tangga terkait makanan dan nonmakanan serta asumsi inflasi sebesar 4,11 persen.
Salah satu pemicu kenaikan inflasi (dari data per November 2024 sebesar 1,55 persen (yoy) adalah fenomena pre-emptive inflation, yakni pelaku usaha ritel dan manufaktur menaikkan harga lebih awal untuk menjaga margin keuntungan sebelum tarif baru diterapkan.
Kenaikan harga diperkirakan akan terlihat menjelang akhir 2024 hingga kuartal pertama 2025, didorong oleh tarif PPN baru dan musim liburan Natal dan Tahun Baru.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, kenaikan PPN akan melemahkan ekonomi terbukti keputusan pemerintah untuk memberikan stimulus ekonomi selama dua bulan di awal pelaksanaan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025. “Kalau mereka yakin memperkuat ekonomi, ngapain ada stimulus ekonomi?” ujar Bhima.
Dia menambahkan, meskipun pemerintah sudah memberikan beberapa stimulus. Bhima menilai hal tersebut masih belum cukup untuk menjaga stabilitas ekonomi setelah adanya kenaikan PPN. Sebabnya, stimulus yang diberikan hanya bersifat sementara. “Begitu stimulusnya dilepas, maka akan terjadi tekanan yang luar biasa bagi daya beli masyarakat,” ujarnya. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta – PT Asuransi Jasa Tania Tbk atau Asuransi Jastan mencatat pendapatan premi bruto hingga 30 November 2024 mencapai…
NERACA Jakarta – Kepala Eksekutif Pengawas PEPK OJK Frederica Widyasari Dewi menyampaikan, pembentukan Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) merupakan salah…
NERACA Jakarta – Bank Indonesia (BI) melakukan uji coba implementasi QRIS Tap berbasis teknologi Near Field Communication (NFC) sebagai alternatif alat…
NERACA Jakarta – PT Asuransi Jasa Tania Tbk atau Asuransi Jastan mencatat pendapatan premi bruto hingga 30 November 2024 mencapai…
Jakarta-Komisi XI DPR-RI menilai keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% berbeda dengan arahan Presiden…
NERACA Jakarta – Kepala Eksekutif Pengawas PEPK OJK Frederica Widyasari Dewi menyampaikan, pembentukan Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) merupakan salah…