Oleh: Firman Raharja, Staf Direktorat Jenderal Pajak *)
Memasuki pengujung tahun 2024, jagat media dihangatkan dengan permasalahan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pro-kontra bermunculan, baik politisi, pengamat, akademisi juga pihak pemerintah. Namun yang lebih hangat lagi, banyaknya netizen di media sosial yang juga ikut memberikan komentar mendukung juga menolak kenaikan tarif ini.
Meskipun demikian, perlu tetap disadari bahwa kenaikan ini sudah menjadi amanat undang-undang yang sudah disepakati beberapa tahun yang lalu. Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pada awal kenaikan tarif dari 10% menjadi 11%, tidak banyak gejolak kontra dari masyarakat. Namun, saat ini banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini tidak tepat. Beberapa pandangan menyatakan bahwa kenaikan ini akan menyebabkan multiplier effect, yang berarti menganggap dampaknya akan berlipat sehingga melebihi dari nilai kenaikan tarif PPN yang 1%.
Bukan soal benar-tidaknya pendapat-pendapat yang menolak tersebut, namun akan lebih tepat jika kita mengenal dulu bagaimana mekanisme PPN dipungut.
Mekanisme Pemungutan PPN
Sebagaimana namanya, pajak pertambahan nilai merupakan pemajakan atas penambahan nilai yang terjadi. PPN merupakan pajak yang dibebankan atas konsumen akhir melalui cara pemungutan. Pemungutan PPN dilakukan oleh penjual barang (pengusaha kena pajak atau PKP). Selanjutnya diperhitungkan melalui mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (PMPK) yang memastikan PPN akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir.
Mekanisme ini memberi hak pada PKP untuk meminta kembali PPN yang telah dipungut dengan cara mengkreditkan PPN yang sudah dibayar atas pembelian barang yang dilakukan untuk keperluan usaha/dijual kembali, yang disebut sebagai Pajak Masukan. Penjual/PKP memungut PPN atas transaksi penjualannya berupa Pajak Keluaran. Pajak Masukan dikreditkan /dikurangkan terhadap Pajak Keluaran, selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke negara melalui mekanisme pelaporan PPN.
Pemungutan PPN dihitung secara sederhana yaitu harga barang dikali tarif PPN. Sehingga nilai yang dibayar konsumen sebesar harga barang ditambah PPN. Sebagaimana contoh berikut:
Harga Barang = Rp 1.000.000
Pemungutan PPN (11%) = Rp 110.000
Harga dibayar konsumen = Rp 1.110.000
Pada bulan berikutnya, penjual (PKP) akan melaporkan PPN dan menyetorkan hasil pemungutannya ke kas negara sebesar Rp110.000.
Jika penjual tersebut merupakan bagian dari rantai distribusi, dalam hal ini penjual membeli barang dari pabrik yang juga telah memungut PPN kepada penjual maka ilustrasinya akan seperti berikut:
Harga barang dari penjual = Rp 1.000.000
Pemungutan PPN oleh penjual (11%) = Rp 110.000
Harga dibayar konsumen = Rp 1.110.000
Saat barang tersebut dibeli dari pabrik (misalkan) Rp800.000
Harga barang dari pabrik = Rp 800.000
Pemungutan PPN oleh pabrik (11%) = Rp 88.000
Harga dibayar penjual = Rp 888.000
Bagi pabrik, PPN senilai Rp88.000 adalah Pajak Keluaran sehingga pabrik akan melaporkan dan menyetorkan PPN ke negara sebesar Rp88.000.
Bagi penjual, PPN senilai Rp88.000 merupakan Pajak Masukan, sehingga akan melaporkan dan menyetorkan PPN ke negara sebesar :
Pajak Keluaran – Pajak Masukan = setoran pajak ke negara
Rp110.000 – Rp88.000 = Rp22.000
Sehingga penerimaan negara dari PPN adalah Rp88.000 + Rp22.000 = Rp110.000
Maka akan terlihat nilai PPN yang disetor ke negara akan sama, baik melalui jalur distribusi maupun tidak, tidak ada multiplier effect di situ. Perhitungan ini juga akan tetap sama meskipun rantai transaksi lebih panjang. Dengan mekanisme perhitungan PPN tersebut tidak akan menyebabkan pemungutan berlipat ganda/multiplier effect. Bahkan jika barang merupakan gabungan dari beberapa bahan baku, mekanisme perhitungan PPN ini akan menghasilkan hasil perhitungan yang sama. Semua bahan baku, jasa yang digunakan yang dikenakan PPN, bagi pabrik ataupun penjual akan menjadi Pajak Masukan yang mengurangi Pajak yang harus disetor ke negara.
Dampak Kenaikan Tarif PPN
Adanya kenaikan tarif PPN sebesar 1% tidak mengubah mekanisme yang dipakai dalam perhitungan PPN. Dengan memahami mekanisme ini juga akan diketahui bagaimana dampak kenaikan tarif PPN terhadap harga di pabrik, penjual dan di konsumen akhir.
Dengan menggunakan contoh yang sama kita simulasikan kondisi yang akan terjadi
Harga Barang dari penjual = Rp 1.000.000
Pemungutan PPN oleh penjual (12%) = Rp 120.000
Harga dibayar konsumen = Rp 1.120.000
Saat barang tersebut dibeli dari pabrik senilai (misalkan) Rp800.000
Harga barang dari pabrik = Rp 800.000
Pemungutan PPN oleh pabrik (12%) = Rp 96.000
Harga dibayar penjual = Rp 896.000
Pabrik akan melaporkan dan menyetorkan PPN ke negara sebesar Rp96.000
Penjual akan melaporkan dan menyetorkan PPN ke negara sebesar
Pajak Keluaran – Pajak Masukan = setoran pajak ke negara oleh pedagang
Rp120.000 – Rp96.000 = Rp24.000
Sehingga penerimaan negara dari PPN adalah Rp96.000 + Rp24.000 = Rp120.000
Dengan asumsi pabrik dan penjual tidak menaikkan harga barang, maka bagi pabrik dan penjual kenaikan tarif PPN bisa dikatakan tidak ada pengaruhnya. Sedangkan untuk konsumen akhir akan terjadi kenaikan seperti perhitungan adalah sebesar Rp1.120.000 – Rp1.110.000 = Rp10.000. Jika dihitung secara persentase sebesar Rp10.000/Rp1.110.000 = 0,009 = 0,9%.
Sehingga dapat diambil kesimpulan, jika terjadi kenaikan PPN 1% dengan kondisi ceteris paribus (tidak ada hal lain yang berubah) maka kenaikan PPN 1% akan mengakibatkan kenaikan harga di konsumen sebesar 0,9%.
Sebagai sebuah gambaran, jika harga dasar sebuah mobil senilai satu miliar rupiah maka kenaikan di konsumen akhir akan sebesar sepuluh juta rupiah. Sebuah nilai yang tidak begitu signifikan bagi pembeli mobil mewah. Namun sangat berarti bagi kuatnya perekonomian negeri ini. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Justin Bahar, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di…
Oleh : Pujiastuti, Pemerhati Sosial Budaya Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman luar biasa, baik dalam hal suku, adat,…
Oleh : Andika Pratama, Pengamat Pangan Pemerintah terus menunjukkan komitmen yang kuat dalam memastikan stabilitas stok dan harga pangan…
Oleh: Justin Bahar, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di…
Oleh : Pujiastuti, Pemerhati Sosial Budaya Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman luar biasa, baik dalam hal suku, adat,…
Oleh : Andika Pratama, Pengamat Pangan Pemerintah terus menunjukkan komitmen yang kuat dalam memastikan stabilitas stok dan harga pangan…