YLKI: PEMERINTAH KEJAR PAJAK ORANG KAYA, BUKAN RAKYAT KECIL - Anggota DPR-RI Minta Pemerintah Tunda PPN 12%

Jakarta-Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI dari fraksi PKB, Chusnunia Chalim meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN 12 persen tersebut. Menurut dia, dampak dari kenaikan pajak ini akan semakin membuat ekonomi masyarakat kelas menengah semakin sulit. Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan diberlakukan pada awal 2025.

NERACA                   

"Terlebih lagi daya beli masyarakat sedang menurun, ini tidak pas," ujar Chusnunia di Jakarta, Jumat (22/11). Menurut Chusnunia, dampak tarif PPN 12 persen dapat mendorong ekonomi masyarakat kelas menengah kian sulit hingga  mengurangi belanjanya. Hal ini setelah kenaikan tarif PPN akan membuat harga barang dan jasa menjadi lebih mahal.

"Sudah pasti masyarakat semakin eman-eman untuk mengeluarkan duitnya untuk belanja. Pajak yang naik ini biasanya akan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa," tutur dia.

Di sisi lain, pendapatan kelas menengah relatif lebih rendah dibandingkan inflasi hingga pungutan  tarif PPN. Sontak kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan aktivitas perekonomian menjadi lesu. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Lantaran PPN ini akan menyebabkan aktivitas perekonomian menjadi lesu.

"Kemarin saya senang sekali adanya kebijakan untuk menghapus utang UMKM, namun untuk kenaikan pajak ini saya minta pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan ini dan dapat menunda kenaikan pajak tersebut," ujarnya Chusnunia.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal tahun 2025.

Plt Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih menyebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. “Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen," ujar Indah di Jakarta, Kamis (21/11).

Menurut dia, kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Menyusul, adanya potensi kebijakan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III yang akan berlaku usai DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016.

"Pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. Pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tegas dia.

Saat ini, masyarakat masih terbebani kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 lalu. Dengan ini, kenaikan PPN tidak realistis untuk diterapkan pada tahun depan.

Jika dipaksakan, menurut Indah, masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan pajak tinggi. Seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga. "Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," ujarnya.

Tidak Perlu Revisi UU HPP

Komisi XI DPR-RI pada Rabu (20/11) telah menegaskan bahwa penundaan kenaikan PPN 12% tidak perlu mengubah UU HPP (Harmonisasi Peraturan Pajak) 2021. Artinya prosesnya bisa diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Menanggapi hal itu, DPP PKB ikut mengadvokasi pandangan tersebut. Menurut Ketua DPP PKB Dita Indah Sari, UU HPP itu memang memberi ruang untuk exit, sehingga kenaikan PPN bukan harga mati.  “Tergantung situasi ekonomi rakyat. Maka keputusan saat ini ada di tangan presiden," kata Dita seperti dikutip dari keterangan tertulis, pekan lalu.

Dita menambahkan, PKB memahami keinginan pemerintah yang membutuhkan penguatan APBN. Namun situasi ekonomi sekarang yang belum tepat. Apalagi kenaikan PPN akan mengganggu rantai produksi manufaktur dan padat karya, yang bisa berujung pada PHK pekerja. “Hingga Oktober 2024, PHK terlapor sudah 64.947 orang. Belum yang tidak dilaporkan,” ujarnya.

Maka dari itu, menurut dia, untuk menggenjot APBN, PKB fokus mendorong ide opsi-opsi jangka pendek lain untuk dikaji, yang jika dilakukan dampaknya tidak akan luas seperti PPN. Misal, penyesuaian royalti dan bagi hasil produk tambang dan komoditi yang sedang bagus harganya di dunia. Cara lainnya, sambung Dita, cukai ekspor komoditi lain yang sedang baik harganya, dan cukai impor barang mewah. “Bisa ada pemasukan, namun tidak mengganggu daya beli yang sedang merosot," saran Dita.

Dita mengatakan, dalam jangka menengah PKB berharap lebih banyak upaya efisiensi dan penegakan hukum untuk mencegah kebocoran anggaran dalam pemasukan dan pengeluaran, seperti yang menjadi concern Presiden Prabowo. “Misalnya illegal mining, illegal fishing dan logging, impor ilegal yang lolos cukai, penyelewengan BBM bersubsidi. Semua itu memusnahkan potensi penghasilan negara ratusan triliun,” ujarnya.  

Sebelumnya, pengamat ekonomi yang juga Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda meminta pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro daya beli masyarakat, merespon keputusan pemerintah melanjutkan kebijakan PPN 12 persen. “Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang pro terhadap daya beli, bukan malah menekan daya beli masyarakat,” ujarnya belum lama ini.

Menurut dia, menaikkan tarif PPN pada tahun depan merupakan keputusan yang kurang bijak mengingat daya beli masyarakat masih cukup terpukul. Nailul mengatakan, di pasal 7 nomor (3) dan (4) yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN di rentang 5 persen hingga 15 persen melalui Peraturan Pemerintah. Poin ini, menurut dia, sekaligus membantah klaim Menkeu Sri Mulyani yang mengatakan “hanya” mematuhi Undang-Undang.

Menurut Nailul, tarif PPN Indonesia saat ini 11% masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan bahkan negara-negara OECD. "Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen," ujarnya. Atas dasar tersebut, Nailul meminta kenaikan tarif PPN di tahun 2025 wajib dibatalkan.

Namun Menkeu Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU). Artinya, PPN 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025.

Diketahui, ketentuan itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Maka, per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen. "Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak ibu sekalian itu sudah ada Undang-Undangnya, kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan," ujar Sri Mulyani dalam Raker dengan Komisi XI DPR-RI, Kamis (14/11).

Pada kesempatan itu, dia menjelaskan ada beberapa golongan yang memang bisa mendapatkan PPN lebih rendah dari 12 persen. Bahkan, ada beberapa yang bisa dibebaskan tarif PPN-nya. "Yang PPN 12 persen dengan pada saat yang sama ada tarif pajak yang boleh mendapatkan 5 (persen), 7 (persen), apalagi bisa dibebaskan atau dinol-kan," ungkapnya.

Dengan adanya kenaikan tarif PPN jadi 12 persen, Menkeu melihat perlu dijaganya kesehatan APBN. Termasuk berfungsi untuk menjadi bantalan saat adanya krisis finansial global. "Tapi dengan tadi penjelasan yang baik sehingga tadi kita tetap bisa, bukannya membabi buta tapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya," ujarnya.

"Namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan harus merespon seperti yang kita lihat dalam episode-seperti global financial crisis, seperti terjadinya pandemi itu kita gunakan APBN," kata Menkeu.  bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Rumusan UMP 2025 Seimbangkan Buruh dan Usaha

NERACA  Jakarta – Rencana kenaikan upah minimum provinsi di tengah rencana kenaikan PPn 12% di tahun depan, menuai beragam penolakan…

KOMISI INFORMASI PUSAT (KIP): - Pemerintah Diminta Jelaskan Rinci Soal PPN 12%

Jakarta Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk memberikan informasi yang…

Di London, Presiden Raih Investasi Hingga US$8,5 Miliar

NERACA London – Lawatan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, ke Inggris berhasil membawa komitmen investasi sebesar US$8,5 miliar setelah bertemu…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Rumusan UMP 2025 Seimbangkan Buruh dan Usaha

NERACA  Jakarta – Rencana kenaikan upah minimum provinsi di tengah rencana kenaikan PPn 12% di tahun depan, menuai beragam penolakan…

KOMISI INFORMASI PUSAT (KIP): - Pemerintah Diminta Jelaskan Rinci Soal PPN 12%

Jakarta Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk memberikan informasi yang…

YLKI: PEMERINTAH KEJAR PAJAK ORANG KAYA, BUKAN RAKYAT KECIL - Anggota DPR-RI Minta Pemerintah Tunda PPN 12%

Jakarta-Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI dari fraksi PKB, Chusnunia Chalim meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN 12 persen tersebut. Menurut…