Investasi Budaya Harus Berbasis Pelestarian Lingkungan

NERACA

Jakarta - Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evaluasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ary Prihardhyanto menyatakan bahwa investasi budaya harus berbasis pada pelestarian lingkungan.

“Jadi bangsa kita ini sebenarnya bukan buta sejarah, tetapi amnesia sejarah, jadi kita lupa siapa diri kita. Bagaimana mungkin pembangunan mau berkelanjutan sementara budaya kita saja dipisahkan dari alam? Jadi kalau mau mendatangkan banyak uang dari budaya itu sangat bisa, asal kembali pada alam, pada lingkungan,” katanya dalam seminar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Depok Jawa Barat, Selasa (29/10).

Ia mencontohkan, salah satu investasi pada bakau yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sangat besar, mengingat tradisi sejak zaman nenek moyang telah menempatkan laut dan hutan bakau sebagai pusat perdagangan sehingga Nusantara menjadi negeri yang sangat kaya.

“Tentang bakau misalnya, saya sendiri melihat, memang merawat bakau itu butuh proses, tetapi bisa menghasilkan kepiting, ikan, bahkan termasuk ikan yang termahal harganya, misalnya napoleon, mengapa sampai diekspor? Itu kan karena anak-anaknya menginjak di akar bakau, begitu pula tuna, anak-anaknya berkembang biak di sana,” paparnya.

Ary juga mengemukakan, Indonesia disebut ibu pertiwi atas dasar filosofis sumber daya alam sebagai ibu yang akan menyelamatkan bangsa dari kepunahan.

“Pada akhirnya, yang menyelamatkan kita itu bukan ibu orang lain, melainkan ibu kita sendiri, ibu pertiwi itu sumber daya alam, itulah mengapa kita sebut dia sebagai motherland, ibu yang menyayangi kita jadi harus terus kita jaga,” ucapnya.

Ia juga mencontohkan salah satu pariwisata yang ada di Pulau Galang, Riau, yang banyak didatangi wisatawan dari Vietnam karena memiliki keterikatan sejarah yang kuat.

“Wisatawan Vietnam banyak yang berkunjung ke sana karena di tempat itulah dulu ada tempat pengungsian leluhur mereka ketika lari dari perang Vietnam. Jadi, wisata itu jangan wisata alam saja, sejarah juga bisa menjadi wisata yang bisa menjadi komoditas dan menghasilkan banyak uang,” tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) periode 2025-2045 pada 10 Oktober 2024 dengan visi "Indonesia Bahagia Berlandaskan Keanekaragaman Budaya yang Mencerdaskan, Mendamaikan, dan Menyejahterakan.”

RIPK tersebut memiliki tujuh misi utama pembangunan kebudayaan di Indonesia, salah satunya yakni memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem budaya dalam konteks keberlanjutan lingkungan. Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Lawan Intoleransi dengan Tingkatkan Interaksi Antarumat

NERACA Jakarta - Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta Pdt. Risang Anggoro Elliarso menyebutkan bahwa salah satu…

Perempuan Berdaya Melalui Teknologi Digital

NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengatakan bahwa teknologi dan transformasi digital berperan penting sebagai alat…

Kolaborasi Sukseskan Perhutanan Sosial Lintas Desa

NERACA Jakarta - Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal (Kemendes PDT) menyampaikan bawah kolaborasi dari berbagai pihak terkait menjadi salah…

BERITA LAINNYA DI

Lawan Intoleransi dengan Tingkatkan Interaksi Antarumat

NERACA Jakarta - Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta Pdt. Risang Anggoro Elliarso menyebutkan bahwa salah satu…

Perempuan Berdaya Melalui Teknologi Digital

NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid mengatakan bahwa teknologi dan transformasi digital berperan penting sebagai alat…

Kolaborasi Sukseskan Perhutanan Sosial Lintas Desa

NERACA Jakarta - Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal (Kemendes PDT) menyampaikan bawah kolaborasi dari berbagai pihak terkait menjadi salah…