Pemerintah Diminta Tunda Menaikan PPN 12 Persen

NERACA

Jakarta - Pemerintah diminta menunda Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen. Pasalnya jika itu dinaikan akan menggerus daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5 persen.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF, Eko Listiyanto mengatakan kenaikan PPN akan semakin menekan daya beli hingga konsumsi kelas menengah. "Kalau dipaksa PPN naik jadi 12 persen tanpa melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini, ya kita mungkin akan mulai berbicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen tahun depan," kata Eko di  kanal youtube Indef, Rabu (11/9).

Eko mengatakan PPN belum naik jadi 12 persen saja, konsumsi rumah tangga sudah menurun. Sebelum pandemi covid-19, konsumsi rumah tangga minimal tumbuh 5 persen secara kuartalan (quarter to quarter/qtq), tetapi pasca covid-19 pertumbuhan konsumsi hanya 4,9 persen.

Meski, hanya turun 0,1 persen, Eko mengatakan tren ini harusnya menjadi alarm bagi pemerintah. "Kenapa demikian, karena 50 persen lebih bahkan hampir 60 persen, bicara pertumbuhan ekonomi sebenarnya bicara konsumsi. Kalau kita lihat konsumsi ini sudah cukup berbahaya," katanya.

PPN yang saat ini sebesar 11 persen akan naik jadi 12 persen mulai tahun depan. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam Pasal 7 beleid tersebut ditetapkan tarif PPN sebesar 11 persen berlaku 1 April 2022 dari sebelumnya 10 persen. Kemudian naik lagi 1 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. "Tarif PPN yaitu sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 ayat 2 UU tersebut.

Pada kesempatan sebelumnya, Anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari, menyebut regulasi kenaikan PPN tersebut memerlukan kajian yang mendalam sebelum dilaksanakan. “Terkait rencana penerapan kenaikan PPN jadi 12 persen sebagaimana diatur dalam UU HPP tahun 2021, pasal 7 ayat 1 yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 memerlukan kajian yang mendalam sebelum dilaksanakan termasuk perhitungan ulang risiko,” ujar Ratna.

Menurut Ratna, perhitungan risiko tersebut termasuk apakah kenaikan PPN dapat menaikkan inflasi dan bisa berdampak ke sektor usaha kecil menengah. "Sehingga secara tegas, kami meminta pemerintah, itu PPN 12 persen merupakan kebijakan yang tepat?" tutur Ratna.

Senada, Said Abdullah Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengatakan, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan kenaikan PPN secara komprehensif. “Prinsipnya, saya minta pemerintah untuk membuat kajian atas rencana kenaikan PPN lebih komprehensif, mempertimbangkan semua aspek,” ujarnya.

Merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah menetapkan kenaikan PPN jadi 12 persen tahun 2025, sesudah naik dari 10 ke 11 persen pada April 2022.

Menurut Said, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat sebelum menerapkan kebijakan menaikkan PPN. Legislator dari PDI Perjuangan itu menyatakan, daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dibandingkan sebelum Pandemi Covid-19. Indikatornya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun 2023 di angka 4,83 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan periode 2011-2019 ada di level 5,1 persen.

Kemudian, angka Indeks Penjualan Riil (IPR) tahun 2023 rata-rata di bawah 210. Angka itu lebih rendah dari tahun 2019 di kisaran 220. Walau pendapatan negara bisa meningkat sampai Rp375 triliun dari kenaikan PPN, Said menilai pemerintah perlu cari alternatif lain untuk pendongkrak penerimaan pajak, tanpa menambah beban masyarakat.

"Jadi, bukan semata-mata keinginan untuk menaikkan pendapatan negara. Tapi, menimbang kondisi perekonomian nasional pada 2025, terutama daya beli masyarakat, tingkat inflasi di consumer good, perumahan, transportasi, dan kesehatan,” tegas Said.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan terkait dengan kenaikan PPN 12 persen. "Untuk tarif pajak, sesuai dengan UU HPP, kenaikan PPN menjadi 12 persen, kami serahkan kepada pemerintahan baru," kata Sri Mulyani. agus

BERITA TERKAIT

PEMBATASAN BBM BERSUBSIDI - Indef Ingatkan Dampak Buruk Daya Beli Masyarakat

NERACA Jakarta – Keputusan pemerintah untuk pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) menuai pro dan kontrak.…

PENOLAKAN RPMK DAN PP 28/2024: - DPR: Jangan Lihat dari Sudut Kesehatan Saja

Jakarta-Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta kepada seluruh pihak untuk melihat permasalahan penolakan berbagai asosiasi lintas sektoral terhadap…

Pentingnya TNI-Polri Jaga Stabilitas di Tengah Gejolak Global - PRESIDEN JOKOWI:

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya peran institusi TNI dan Polri dalam menjaga stabilitas nasional bagi keberlanjutan…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PEMBATASAN BBM BERSUBSIDI - Indef Ingatkan Dampak Buruk Daya Beli Masyarakat

NERACA Jakarta – Keputusan pemerintah untuk pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL) menuai pro dan kontrak.…

PENOLAKAN RPMK DAN PP 28/2024: - DPR: Jangan Lihat dari Sudut Kesehatan Saja

Jakarta-Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta kepada seluruh pihak untuk melihat permasalahan penolakan berbagai asosiasi lintas sektoral terhadap…

Pentingnya TNI-Polri Jaga Stabilitas di Tengah Gejolak Global - PRESIDEN JOKOWI:

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya peran institusi TNI dan Polri dalam menjaga stabilitas nasional bagi keberlanjutan…