Geopolitik yang memanas hingga perang saudara, tidak hanya memunculkan dampak kerugian ekonomi hingga korban jiwa, tetapi juga angka pengungsian yang terus meningkat sehingga berdampak terhadap negara-negara yang menjadi tujuan dari pengungsi. Maka atas nama kemanusiaan dan upaya pemberdayaan para pengungsi mewujudkan hidup yang layak dan ekonomi sejahtera, Human Initiative meluncurkan program Decent Work and Settlement for Refugee Assistance Program (DREAM), sebuah langkah kolaboratif yang bertujuan untuk membantu mengatasi permasalahan tunawisma di kalangan pengungsi dan memberikan jalan bagi mereka untuk mencapai kemandirian ekonomi.
Program yang didukung oleh Citi Foundation ini menargetkan 220 pengungsi untuk memperoleh akses ke pelatihan keterampilan, dan peluang kerja, dengan fokus pada orang dewasa yang dapat digunakan di masa mendatang sesuai ketentuan yang berlaku di negara penempatan.”Program DREAM ini merupakan wujud nyata kolaborasi multipihak untuk mendukung pengungsi. Dengan pemberian Housing Allowance dan pelatihan peningkatan keterampilan diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi para pengungsi untuk hidup lebih bermartabat,”kata Tomy Hendrajati, Presiden Human Initiative dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Dirinya juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menjawab tantangan global pengungsi. Sementara itu, Puni Ayu Anjungsari, Director & Country Head of Public Affairs Citi Indonesia menyampaikan, pihaknya bangga dalam berkontribusi melalui program DREAM, “Lewat program ini inisiatif yang diberikan bisa memberikan dampak sosial nyata melalui penyediaan program peningkatan keterampilan yang relevan bagi para pengungsi. Kami harap kontribusi kami dapat membantu menciptakan pemerataan ekonomi agar tercipta masa depan yang lebih inklusif dan sejahtera untuk masyarakat di dunia.”ujarnya.
Nelwan Harahap, Direktur Fasilitasi Korban dan Pengungsi Kedeputian Kedaruratan BNPB, menyampaikan apresiasinya terhadap kolaborasi yang diinisiasi oleh Human Initiative dan Citi Foundation, “Melalui program DREAM, kita tidak hanya memberikan keterampilan dan dukungan housing allowance kepada pengungsi, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi individu yang produktif. Kami di BNPB percaya bahwa penanganan pengungsi harus dilakukan secara holistik dan terintegrasi dengan pendekatan yang mendukung pembangunan jangka panjang.”katanya.
Mohammad Ilyas, salah satu pengungsi yang menjadi penerima hak program DREAM mengatakan,sebagai pengungsi tidak hanya ingin berlindung, tetapi juga membangun hidup yang berarti. “Program ini memberi saya harapan baru untuk bekerja, belajar, dan menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas.”ungkapnya.
Menciptakan Masa Depan
Program DREAM tidak hanya membantu pengungsi bertahan, tetapi juga mendorong mereka menjadi individu yang produktif melalui pelatihan keterampilan dan mendukung mereka terhadap akses mendapatkan pekerjaan yang layak di negara penempatannya kelak.
Melibatkan total 35 pengungsi sebagai peserta pada acara peluncuran, program DREAM juga menginspirasi komunitas lokal dan mitra strategis untuk mendukung pengungsi dalam menciptakan dunia yang lebih inklusif dan berdaya.
Human Initiative, Citi Indonesia, dan Kementerian Luar Negeri RI berharap DREAM dapat menjadi model kolaborasi yang direplikasi di berbagai wilayah, baik di Indonesia maupun negara lainnya. Sebagai informasi, lebih dari 12.000 pengungsi saat ini menjadikan Indonesia sebagai tempat penerima suaka. Komunitas pengungsi di Indonesia tersebar dari beberapa negara asal seperti Afghanistan, Somalia, Myanmar, dan lain-lain. Ragam kenegaraan tersebut membentuk sebuah komunitas dengan ragam budaya, bahasa, dan latar belakang lainnya. Keragaman tersebut, datang dengan warna baru bagi dinamika sosial termasuk dengan kerentanan hukum yang meliputinya.
Komunitas pengungsi dengan perbedaan latar belakang tersebut menciptakan adanya perbedaan bahasa sebagai tembok besar dalam upaya komunikasi dan keberlanjutan dinamika jangka panjang dengan komunitas lokal. Tantangan besar ini kemudian menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum dengan komunitas lokal dan sulitnya mendapatkan keadilan melalui akses hukum yang tersedia.
Selain itu, kerentanan hukum yang dimiliki pengungsi juga terbentuk karena minimnya pengetahuan akan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kerentanan bahasa karena ketiadaan hukum tertulis dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa asli pengungsi. Ketidaktahuan akan hukum kemudian berlanjut hingga minimnya pengetahuan akan mekanisme perlindungan hukum yang tersedia sehingga berbuah pada minimnya pemenuhan akses terhadap keadilan.
Perubahan iklim dan abrasi di kawasan Muara Gembong, pesisir utara Bekasi telah menjadi masalah tahunan yang memengaruhi kondisi sosial dan…
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibilty (CSR), PT Danareksa (Persero) merevitalisasi Jembatan Karsa Mekar yang menyambungkan…
Dukung pemberdayaan dan memberikan akses luas berkarya bagi masyarakat penyandang disabilitas, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) sebagai perusahaan digital…
Geopolitik yang memanas hingga perang saudara, tidak hanya memunculkan dampak kerugian ekonomi hingga korban jiwa, tetapi juga angka pengungsian yang…
Perubahan iklim dan abrasi di kawasan Muara Gembong, pesisir utara Bekasi telah menjadi masalah tahunan yang memengaruhi kondisi sosial dan…
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibilty (CSR), PT Danareksa (Persero) merevitalisasi Jembatan Karsa Mekar yang menyambungkan…