Urgensi Swasembada

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Swasembada pangan menjadi tantangan berat di era now karena tiga faktor, pertama: jumlah penduduk yang semakin banyak sehingga membutuhkan pasokan pangan demi pemenuhan kebutuhan pangan secara global. Kedua: luar pertanian pangan cenderung semakin berkurang karena lahan pertanian tergerus untuk pemenuhan kebutuhan bagi perumahan dan permukiman. Ketiga: nilai tukar pertanian tidak menjanjikan sehingga petani semakin enggan menggarap lahan pertanian.

Imbas dari itu semua maka impor pangan cenderung terus meningkat setiap tahun dan pastinya ini menggerus terhadap neraca perdagangan yang kemudian menjadi defisit. Fakta ini pastinya membutuhkan alokasi pendanaan yang kemudian dipaksakan dengan menaikan tarif pajak sebagai upaya menutup pendanaan.

Belajar bijak dari mata rantai pangan tersebut maka peringatan Hari Pangan Sedunia – World Food Day yang diperingati setiap 16 Oktober menjadi penting karena tidak hanya berkepentingan terhadap pembangunan sektor pertanian pangan tapi juga nilai penting untuk mengembangkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian pangan.

Hal  ini menjadi acuan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertanian pangan yang sekiranya dapat memacu pemenuhan kebutuhan pangan, tidak hanya secara nasional, tapi juga global. Argumen yang mendasari karena pasokan pangan secara global juga semakin rentan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk yang semuanya pasti membutuhkan asupan pangan. Fakta ini menjadi pembenar jika kemudian tema yang diangkat dalam peringatan Hari Pangan Sedunia kali ini yaitu: “Leave NO ONE behind’ atau ‘Tidak Meninggalkan SIAPAPUN di belakang’.

Swasembada pangan seharusnya tidak hanya menjadi mimpi di era now tetapi harus diakui bahwa pencapaiannya saat ini semakin berat. Realita ini tidak saja dipengaruhi oleh faktor internal tapi juga eksternal, termasuk juga ancaman krisis dan resesi yang berdampak sistemik terhadap perekonomian secara global.

Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kemudian harapan dan target swasembada semakin sulit direalisasikan. Di satu sisi, era Otda seharusnya dapat mendukung terhadap pembangunan di daerah, termasuk tentunya pembangunan dan pengembangan sektor pertanian pangan, tetapi di sisi lain fakta membenarkan bahwa era Otda yang sudah lebih dari 10 tahun kurang mampu berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi di daerah, termasuk pastinya pada pengembangan ekonomi pertanian di pedesaan.

Fakta dibalik ketidakberhasilan Otda terlihat dari masih tingginya migrasi dari desa ke kota yang semakin tinggi ketika arus balik pasca lebaran. Imbasnya, pertanian di desa semakin ditinggalkan dan pastinya produksi pertanian pangan semakin meredup. Hal ini juga berdampak terhadap pasokan dan distribusi pangan secara nasional. Realitas ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap daya tarik pertanian pangan. Betapa tidak, ketika nilai tukar pertanian semakin kecil maka petani tidak lagi berniat untuk menggarap lahan pertaniannya dan akhirnya memilih profesi baru di sektor informal di perkotaan.

Perlahan tapi pasti akhirnya lahan pertanian satu per satu beralih fungsi menjadi perumahan dan permukiman sebagai konsekuensi dari permintaan yang terus meningkat akibat ledakan jumlah penduduk dan mahalnya lahan di perkotaan.

Ironisnya alih fungsi lahan pertanian tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga jamak di mayoritas negara berkembang. Oleh karena itu, swasembada pangan sepertinya ini hanya akan menjadi ilusi karena dipastikan semakin sulit direalisasikan karena faktor yang semakin kompleks. Terkait fakta ini data BPS menyebutkan nilai PDB pertanian atas dasar harga berlaku pada kuartal I-2022 mencapai Rp426,31 triliun.

Dari jumlah ini menjadi catatan untuk pengembangan pertanian pangan di masa depan, meskipun di sisi lain ada tahun politik pada 2024 karena pelaksanaan pilpres. Padahal, di tahun politik isu swasembada pangan bisa sangat sensitif karena dimanfaatkan untuk dapat mendulang suara. Semoga isu pertanian pangan dan swasembada pangan pada tahun politik tidak justru dipolitisasi demi kepentingan sesaat, terutama mendulang suara di pilpres yang kemudian realisasinya justru dikebiri setelah pemenangan.

BERITA TERKAIT

RAPBN 2025, Kiprah Menjaga Perekonomian

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal.   APBN selama satu dekade terakhir telah membuktikan mampu menjadi tulang…

Inovasi dan Transisi Energi

Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang, Indonesia terus berkomitmen…

Prospek Ekonomi Syariah

  Oleh: Prof Ma’ruf Amin Wakil Presiden RI Ekonomi keuangan syariah di Indonesia dimulai dari berdirinya lembaga perbankan syariah pada…

BERITA LAINNYA DI

RAPBN 2025, Kiprah Menjaga Perekonomian

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN,  Pemerhati Kebijakan Fiskal.   APBN selama satu dekade terakhir telah membuktikan mampu menjadi tulang…

Inovasi dan Transisi Energi

Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi mendatang, Indonesia terus berkomitmen…

Prospek Ekonomi Syariah

  Oleh: Prof Ma’ruf Amin Wakil Presiden RI Ekonomi keuangan syariah di Indonesia dimulai dari berdirinya lembaga perbankan syariah pada…