Oleh: Riady Putra, Pengamat Perdagangan Internasional
Langkah Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor pada sejumlah komoditas strategis menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen membangun sistem ekonomi nasional yang lebih adil dan efisien. Kebijakan ini tak hanya mencerminkan keberanian dalam merombak tata kelola perdagangan yang selama ini sarat kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga menegaskan arah baru pembangunan ekonomi yang berpihak pada masyarakat luas.
Selama bertahun-tahun, sistem kuota impor telah menjadi instrumen yang rawan disalahgunakan. Mekanisme penunjukan terbatas terhadap importir tertentu menimbulkan praktik rente dan ketimpangan, karena hanya segelintir pihak yang mendapat akses atas kebutuhan pasar yang besar. Dalam praktiknya, kebijakan tersebut juga memicu rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien, sehingga beban biaya pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen akhir. Situasi ini menciptakan distorsi harga dan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga kebutuhan pokok seperti daging, gula, atau bahan pangan strategis lainnya.
Dengan mencabut sistem kuota impor, Presiden berupaya menciptakan persaingan yang lebih sehat dan terbuka di sektor perdagangan. Setiap pelaku usaha diberikan kesempatan yang sama untuk mengakses pasar, tanpa harus tunduk pada prosedur birokratis yang selama ini menjadi celah permainan kekuasaan. Pendekatan ini tentu sejalan dengan semangat deregulasi yang diusung pemerintah, yakni mempermudah iklim usaha nasional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa penghapusan kuota tidak berarti liberalisasi impor secara bebas tanpa kendali. Pemerintah menyadari bahwa keberadaan produsen dalam negeri seperti petani, peternak, dan pelaku industri kecil harus tetap menjadi prioritas dalam kebijakan perdagangan nasional. Oleh karena itu, penghapusan kuota perlu dibarengi dengan kebijakan pengaman dan penguatan sektor produksi domestik agar tetap mampu bersaing secara sehat.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menggarisbawahi bahwa fokus utama pemerintah tetap pada pencapaian swasembada pangan. Ia menjelaskan bahwa sistem kuota justru menciptakan inefisiensi karena rantai distribusi yang terlalu panjang. Dalam banyak kasus, pihak penerima kuota bukanlah pelaku industri akhir, melainkan perantara yang kemudian menjual kembali hak impornya kepada pelaku usaha sesungguhnya. Hal ini menyebabkan harga barang semakin tinggi ketika sampai ke tangan konsumen. Maka dari itu, dengan dihapusnya kuota, pelaku usaha dapat langsung mengajukan izin impor ke instansi terkait tanpa melalui pihak ketiga, sehingga proses menjadi lebih transparan dan efisien.
Sudaryono juga menegaskan bahwa prioritas terhadap produksi dalam negeri tetap menjadi landasan utama kebijakan ini. Pemerintah tetap melindungi industri nasional dan memastikan bahwa kebijakan impor bersifat komplementer, bukan substitutif. Artinya, impor hanya dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan yang belum bisa dipenuhi secara optimal di dalam negeri, bukan menggantikan produksi lokal.
Pendekatan realistis yang ditempuh pemerintah juga mendapat dukungan dari legislatif. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI M. Hanif Dhakiri menilai keputusan Presiden sebagai langkah progresif dan strategis dalam mereformasi struktur ekonomi nasional. Baginya, sistem kuota selama ini telah membentuk ekosistem perdagangan yang tertutup dan tidak adil, karena kelompok tertentu dapat menguasai pasar melalui kedekatan politik atau birokrasi. Dengan penghapusan kuota, peluang bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk tumbuh menjadi lebih terbuka, sekaligus mendorong efisiensi harga dan distribusi barang.
Hanif mengingatkan bahwa keterbukaan pasar harus dibarengi dengan perlindungan terhadap produsen domestik. Negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan keadilan dalam kompetisi, agar pelaku usaha lokal tidak tersingkir oleh produk-produk impor yang lebih murah karena didukung subsidi besar dari negara asal. Oleh karena itu, kebijakan penghapusan kuota perlu dilengkapi dengan penguatan industri substitusi impor, yakni sektor-sektor strategis yang dapat memproduksi barang pengganti secara mandiri di dalam negeri.
Hanif juga menilai kebijakan ini juga memiliki nilai strategis dalam konteks hubungan dagang internasional. Pendekatan pemerintah untuk memperluas akses impor dari negara mitra seperti Amerika Serikat dapat menjadi instrumen diplomatik yang efektif. Namun, langkah tersebut tetap harus diarahkan secara selektif dan timbal balik. Jika Indonesia membuka pasar bagi produk negara lain, maka mitra dagang juga harus memberikan akses ekspor yang adil bagi produk Indonesia. Prinsip keseimbangan ini penting untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah juga didorong untuk memastikan bahwa setiap instrumen kebijakan menggantikan kuota harus bersifat transparan, akuntabel, dan adil. Hal ini penting agar tidak tercipta celah baru yang memungkinkan terjadinya praktik monopoli atau kartel yang merugikan konsumen dan produsen secara bersamaan. Pemerintah dituntut untuk memperbaiki sistem perizinan, mempercepat proses distribusi, serta menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha, agar manfaat dari kebijakan ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan arah kebijakan yang tegas dan dukungan dari berbagai pihak, kebijakan penghapusan kuota impor bukan hanya merupakan langkah teknis dalam tata niaga, melainkan bagian dari transformasi ekonomi yang lebih besar. Pemerintah menempatkan keadilan dan efisiensi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi, dengan memastikan bahwa setiap warga negara dapat merasakan manfaat dari kebijakan yang dijalankan.
Langkah Presiden Prabowo Subianto menjadi representasi dari kepemimpinan yang tidak hanya berani, tetapi juga berpihak pada rakyat. Dengan menghapus sistem yang selama ini menciptakan ketimpangan dan ketidakpastian, pemerintah menegaskan komitmen untuk menciptakan pasar yang sehat, adil, dan inklusif. Ini bukan sekadar soal kuota atau angka impor, tetapi tentang bagaimana negara hadir untuk menciptakan keadilan ekonomi yang sesungguhnya.
Oleh : Aditya Gunawan, Pengamat Sosial Budaya Pemberantasan judi daring membutuhkan kerja sama lintas negara yang solid dan…
Oleh: Arkan Dwiyanto, Peneliti Pangan Peningkatan signifikan dalam serapan gabah pada awal 2025 menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia…
Oleh : Irfan Aditya, Pemerhati Kebijakan Pangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu langkah strategis…
Oleh : Aditya Gunawan, Pengamat Sosial Budaya Pemberantasan judi daring membutuhkan kerja sama lintas negara yang solid dan…
Oleh: Arkan Dwiyanto, Peneliti Pangan Peningkatan signifikan dalam serapan gabah pada awal 2025 menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia…
Oleh : Irfan Aditya, Pemerhati Kebijakan Pangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu langkah strategis…