Gundah di Tengah Wacana Aturan Batas Masa Tinggal di Rusunawa

NERACA

Jakarta - Rumah atau tempat tinggal (papan) adalah kebutuhan primer bagi manusia bersama dengan makanan (pangan) dan pakaian (sandang).

Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, keberadaan tempat tinggal mutlak harus dipenuhi; Kehilangan rumah berarti tercerabut pula kebutuhan primer manusia.

Setiap rumah, apa pun model dan bentuknya, seharusnya menjadi tempat berlindung yang memberi rasa aman dan nyaman bagi penghuninya. Ancaman kehilangan rumah tentu persoalan besar, dan inilah nampaknya yang dirasakan para penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) setelah ada kabar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengatur jangka waktu maksimal warga untuk bisa menempati rumah susun (rusun).

Rencana tersebut tentu mengundang rasa gelisah para penghuni Rusunawa. Aturan pembatasan masa tinggal itu membuat banyak warga gundah, khawatir akan nasib mereka ketika batas waktu habis.

Di tengah keterbatasan ekonomi, mereka bertanya-tanya, ke mana harus pulang jika masa waktu mereka tinggal di Rusunawa telah habis?

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Kelik Indriyanto menjelaskan bahwa aturan pembatasan masa tinggal di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) memang dibutuhkan.

Menurut dia, aturan ini merupakan upaya untuk mendorong masyarakat mempunyai peningkatan status hunian, dari selaku penyewa menjadi pemilik hunian.

Selain itu, Kelik menjelaskan bahwa pembatasan masa tinggal di Rusunawa memang dibutuhkan karena Rusunawa merupakan tempat inkubasi bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial.

Rencana ini pun turut mendapat perhatian dari legislator. Senada dengan Kelik, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike menilai, aturan tersebut memang diperlukan.

Pasalnya, banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) membutuhkan tempat tinggal. Kendati demikian, tingkat keterisian Rusun kerap penuh. Dengan adanya aturan ini, diharapkan rusun hanya untuk transit sementara saja.

Yuke mengingatkan, tugas Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) bukan hanya sekadar menyiapkan tempat tinggal untuk warga. Dengan mengadakan pembinaan bagi penghuni rusun, diharapkan perekonomian mereka bisa kian membaik sehingga mampu untuk mencicil hunian.

Persoalan

Sebenarnya, ada alasan lain di balik munculnya wacana diberlakukannya aturan ini. Rencana ini muncul karena adanya tunggakan para penghuni rusun yang kabarnya mencapai Rp95,5 miliar.

Kelik mengatakan, tunggakan penghuni rusun di Jakarta ada sejak tahun 2010. Warga rusun yang paling banyak menunggak ada di Rusun Marunda, Jakarta Utara yaitu untuk masyarakat terprogram sebanyak 1.552 unit dengan besaran tunggakan Rp10,8 M dan masyarakat umum sebanyak 773 unit dengan besaran tunggakan Rp8,8 M.

Bahkan, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta juga menemukan ada warga yang tinggal di salah satu rumah susun sewa (Rusunawa) tetapi mempunyai lima unit Jaklingko. Kelik menegaskan warga yang seperti itu tidak akan diperpanjang masa tinggalnya di rusun.

Oleh sebab itu, setiap penghuni yang memperpanjang kontraknya akan dievaluasi oleh Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) dengan mengecek ke Bapenda. Meski begitu, selama ini tidak ada pembatasan waktu untuk penghuni bisa menempati Rusunawa di Jakarta.

Hal inilah yang kemudian dianggap perlunya aturan batas waktu huni diberlakukan di Rusunawa. Sebab, rusun bukan untuk ditinggali selamanya, apalagi untuk diwariskan turun-temurun.

Tanggapan Masyarakat

Tentu meningkatkan finansial tak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi di tengah kota metropolitan dengan segala himpitan kenaikan harga ini dan itu.

Mencari hunian di Jakarta pun tidaklah mudah. Di tengah padatnya kota ini, mencari hunian yang terjangkau dan masih berada di tengah kota memang masih Rusunawa solusinya.

Oleh karenanya, rencana adanya aturan ini mengundang berbagai pendapat masyarakat.

Bagi Sanya (27) yang merupakan penghuni Rusunawa, Jakarta bukan hanya tempat untuk tinggal melainkan untuk mencari nafkah. Apabila peraturan batas masa tinggal benar-benar diberlakukan, maka pasti hal ini akan menimbulkan masalah baru bagi warganya.

“Nggak make sense sih. Kalau batas tinggalnya sudah habis, penghuni pasti bingung mau pindah kemana? Apalagi kalau penghuni itu memang kerja dan kebanyakan mobilitas di Jakarta,” keluh Sanya.

Sanya sendiri mengaku, dia memilih tinggal di Rusunawa dibanding rumah tapak karena lokasinya yang lebih dekat dari tempatnya bekerja.

Senada dengan Sanya, Dwi (32) yang juga penghuni Rusun di Jakarta menilai bahwa peraturan ini cukup mempersulit masyarakat.

“Masa orang sudah nyaman di situ disuruh pindah? Mending didorong saja supaya bisa jadi hak milik. Kalau pindah, nanti pindah kemana?" kata Dwi.

Tanggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Menanggapi ramainya kabar terkait aturan batas waktu huni Rusunawa, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi pun angkat bicara.

Dia memastikan bahwa Pemprov DKI Jakarta belum menerbitkan keputusan tentang pembatasan masa tinggal di Rusunawa. Dia mengatakan informasi mengenai pembatasan masa tinggal di Rusunawa tersebut masih wacana dan belum disepakati oleh pemerintah provinsi.

Bahkan, Teguh mengaku dirinya juga belum menerima laporan atas rencana pembatasan masa tinggal di Rusunawa tersebut. Karena itu, ia meminta agar masyarakat tidak khawatir dengan informasi tersebut.

Kendati demikian, Teguh mengklaim akan mencari solusi terbaik bagi warga yang tinggal di Rusunawa.

Di sisi lain, Sekretaris Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Meli Budiastuti menjelaskan, Peraturan Gubernur (Pergub) 111 Tahun 2014 tentang Mekanisme Penghunian Rumah Susun Sederhana Sewa masih dalam penggodokan.

Nantinya, aturan jangka waktu penempatan rusun akan diatur dalam revisi Pergub itu. Masyarakat umum terprogram hanya bisa lima kali perpanjangan untuk menyewa, atau maksimal 10 tahun. Sementara untuk masyarakat umum tidak terprogram hanya tiga kali perpanjangan, atau maksimal enam tahun.

Terlepas dari ketentuan mana yang nanti diterapkan, hal yang senantiasa perlu diperhatikan adalah setiap pengambilan keputusan tentang aturan menyangkut kebutuhan primer seperti tempat tinggal, harus benar-benar melewati pertimbangan yang komprehensif, sehingga tak ada warga negara yang tercerabut kebutuhan pokoknya. (Mohar/Ant)

 

 

 

BERITA TERKAIT

Butuh Pertimbangan untuk Beli Rumah di Jakarta

NERACA Jakarta - Seseorang yang berdomisili di Jakarta, ber-KTP DKI dan ingin membeli rumah baru di Jakarta maupun rumah tidak baru…

Sinar Mas Land-Hongkong Land Luncurkan NavaPark Business Suites

NERACA Tangerang, Banten - Sinar Mas Land dan Hongkong Land meluncurkan NavaPark Business Suites yang merupakan kawasan business premium dan…

REI Jambi Target Bangun 6.167 Unit Rumah Subsidi pada 2025

NERACA Jambi - Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Jambi menargetkan pembangunan 6.167 unit rumah subsidi pada 2025 di provinsi itu…

BERITA LAINNYA DI Hunian

Gundah di Tengah Wacana Aturan Batas Masa Tinggal di Rusunawa

NERACA Jakarta - Rumah atau tempat tinggal (papan) adalah kebutuhan primer bagi manusia bersama dengan makanan (pangan) dan pakaian (sandang).…

Butuh Pertimbangan untuk Beli Rumah di Jakarta

NERACA Jakarta - Seseorang yang berdomisili di Jakarta, ber-KTP DKI dan ingin membeli rumah baru di Jakarta maupun rumah tidak baru…

Sinar Mas Land-Hongkong Land Luncurkan NavaPark Business Suites

NERACA Tangerang, Banten - Sinar Mas Land dan Hongkong Land meluncurkan NavaPark Business Suites yang merupakan kawasan business premium dan…