Kekhawatiran terhadap keamanan anak di ruang digital semakin meningkat seiring laporan dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) tahun 2024, yang mencatat bahwa di skala internasional, Indonesia menempati peringkat keempat dalam kasus pornografi anak secara daring selama empat tahun terakhir.
Prihatin dengan temuan NCMEC pemerintah melalui Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMP) menginisiasi terbitnya regulasi pembatasan usia penggunaan media sosial tengah disusun pemerintah dan disiapkan secara cermat dengan memperhatikan hak tumbuh kembang anak Indonesia. Regulasi ini diharapkan mampu memberikan perlindungan yang efektif di ruang digital, tanpa mengabaikan hak anak untuk berekspresi, berkomunikasi, dan mengakses informasi sesuai tingkatan usia dan perkembangan mereka.
“Kita perlu memastikan bahwa regulasi ini benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik dan hak anak. Bukan sekadar membatasi, tetapi juga melindungi mereka dari risiko di dunia digital tanpa menghilangkan hak mereka untuk berekspresi dan belajar. Keamanan dan kepentingan terbaik anak harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan ini,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum yang akrab disapa Lisa.
Pembahasan mengenai batasan usia dalam penggunaan media sosial semakin menjadi perhatian berbagai pihak, mengingat meningkatnya keterlibatan anak dalam dunia digital diiringi dengan potensi risiko. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Profil Anak Indonesia 2024, anak-anak mencakup 28,65 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 79,8 juta jiwa.
Sementara itu, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menunjukkan bahwa penetrasi internet pada generasi Z yang lahir antara 1997 hingga 2012 mencapai 87,02 persen. Bahkan, di daerah tertinggal, usia pertama kali menggunakan internet tercatat berada pada rentang 13 hingga 14 tahun, dengan penggunaan tertinggi untuk media sosial.
“Tingginya partisipasi anak dalam dunia digital harus diimbangi dengan regulasi yang jelas dan mampu memberikan perlindungan kepada anak dari konten berbahaya dan risiko eksploitasi kejahatan di ranah daring. Regulasi yang disusun harus berbasis bukti, berdasarkan karakteristik wilayah dan memperhatikan kebutuhan nyata anak-anak di era digital saat ini,” ujar Lisa.
Seperti diketahui, masyarakat dunia saat ini memberikan perhatian besar terhadap tingginya kasus pornografi yang melibatkan anak di dunia digital. Kekhawatiran terhadap keamanan anak di ruang digital semakin meningkat seiring laporan dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) tahun 2024, yang mencatat bahwa di skala internasional, Indonesia menempati peringkat keempat dalam kasus pornografi anak secara daring selama empat tahun terakhir.
“Situasi ini mengkhawatirkan dan menjadi alarm bagi kita semua. Regulasi yang sedang disusun harus memiliki ketegasan dalam menindak pelaku penyimpangan dan memberikan perlindungan optimal kepada anak-anak di ruang digital,” tambahnya.
Sebanyak delapan pelajar Indonesia berhasil membawa pulang penghargaan internasional pada konferensi Asia World Model United Nations (AWMUN) X di…
Memasuki bulan suci Ramadan, banyak orang tua yang mulai memperkenalkan dan mengajak anak untuk menjalankan ibadah puasa sejak dini.…
Belakangan ini viral di sosial media dengan tagar #KaburAjaDulu. Tagar ini digunakan oleh banyak anak muda yang merasa kecewa dengan…
Kekhawatiran terhadap keamanan anak di ruang digital semakin meningkat seiring laporan dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC)…
Sebanyak delapan pelajar Indonesia berhasil membawa pulang penghargaan internasional pada konferensi Asia World Model United Nations (AWMUN) X di…
Memasuki bulan suci Ramadan, banyak orang tua yang mulai memperkenalkan dan mengajak anak untuk menjalankan ibadah puasa sejak dini.…