NERACA
Jakarta - Guru Besar FHUI Prof. Hikmahanto Juwana menyoroti kebijakan Israel, yang digerakkan oleh “dendam pribadi” terhadap kelompok Hamas, tidak dapat dibenarkan dalam kerangka hukum internasional. Menurut dia, kebijakan Israel untuk memastikan Gaza bebas dari pejuang Hamas dan untuk mengembalikan sandera yang dikuasai oleh Hamas telah menimbulkan tragedi besar, yang bahkan melibatkan upaya hukum internasional seperti laporan dari Afrika Selatan ke International Court of Justice (ICJ) mengenai tuduhan genosida terhadap Israel.
Prof. Hikmahanto juga menyoroti peran Mahkamah Kejahatan Internasional yang telah memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Perdana Menteri Israel Netanyahu, untuk memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya.
Guru Besar FHUI itu menyampaikan pendapatnya di seminar bertajuk “Palestina: Sebuah Tragedi Kemanusiaan di Zaman Modern” di Jakarta, pekan lalu. Adapun penyelenggara seminar tersebut adalah Universitas Paramadina bekerja sama dengan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC).
Dalam sambutannya Prof. Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, yang mengungkapkan bahwa Palestina, sebagai sebuah negara yang sudah seharusnya merdeka, terus menjadi pusat perhatian dunia. Prof. Didik menekankan pentingnya komitmen Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina serta peran kampus dalam menyuarakan keadilan.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. Hidayat Nur Wahid dalam keynote speech-nya menyentuh berbagai aspek penting terkait Palestina. Menurut dia, tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza, meskipun terisolasi, masih terus menggugah perhatian dunia. Nur Wahid juga membahas peristiwa tragis yang terjadi pada 7 Oktober 2024, yang menimbulkan dua pandangan berbeda di Indonesia mengenai siapa yang seharusnya disalahkan.
“Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperkenalkan peta Timur Tengah yang tidak mencantumkan Palestina, sebuah langkah yang semakin memunculkan ketegangan internasional. Pada bulan November 2024, Amerika Serikat juga menyatakan bahwa tidak akan ada gencatan senjata jika Israel tidak mengakui Palestina dalam peta tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut, Nur Wahid menyoroti bagaimana tragedi ini menyebabkan meningkatnya jumlah korban jiwa, terutama dalam 24 jam terakhir dengan Israel terus melanjutkan serangan. Dia menekankan bahwa meskipun telah ada upaya untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, Israel masih belum mendapatkan hukuman yang setimpal atas pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang terjadi.
“Lembaga-lembaga internasional seperti International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC) telah meminta Israel untuk segera meninggalkan tanah Palestina dan menghentikan serangan militer, namun Israel menolak,” tuturnya.
Selanjutnya Pipip A. Rifai Hasan menegaskan bahwa persoalan Palestina merupakan masalah kemanusiaan yang menjadi bagian dari hak-hak fundamental setiap bangsa. Meskipun dunia internasional telah sepakat mengenai prinsip kemerdekaan dan hak asasi manusia, perlakuan yang diterima Palestina justru mencerminkan keterbalikan dari prinsip-prinsip tersebut, terutama oleh negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Pembicara lainnya, dosen Univ. Paramadina Dian Wirengjurit menambahkan bahwa tragedi ini bukan hanya masalah agama, melainkan juga masalah politik yang memiliki akar dalam perebutan wilayah, ideologi, dan sumber daya alam. Ia menyoroti dukungan yang diberikan oleh negara-negara Arab terhadap Hamas serta peran negara-negara besar, seperti China, yang ikut campur dalam isu Palestina meskipun bukan negara dengan mayoritas Muslim. Menurutnya, tragedi ini adalah hasil dari dinamika politik global yang rumit dan berkembang.
Sementara itu, Prof. Din Syamsudin menyampaikan pandangannya tentang kompleksitas masalah Israel-Palestina yang sangat sulit untuk diprediksi. Ia mengingatkan bahwa konflik ini bermula sejak Deklarasi Balfour 1917, yang masih menyisakan dampak buruk hingga kini. Prof. Din juga mengaitkan Zionisme dengan klaim tempat suci yang memperburuk konflik. Ia menilai hubungan internasional, termasuk kebijakan bebas visa Israel ke Uni Emirat Arab sementara negara mayoritas Islam seperti Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama, semakin memperparah ketegangan ini. mohar/fba
NERACA Jakarta - Wakil Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Wamen UMKM) Helvi Moraza menilai bahwa peran dari PT Permodalan…
NERACA Sukabumi - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sukabumi, sudah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap 41 pelaku usaha yang telah…
NERACA Sukabumi - Dalam 20 tahun ke depan, bumi akan menghadapi Triple Planetary Crisis—tiga tantangan lingkungan besar, yang mencakup perubahan…
NERACA Jakarta - Guru Besar FHUI Prof. Hikmahanto Juwana menyoroti kebijakan Israel, yang digerakkan oleh “dendam pribadi” terhadap kelompok Hamas,…
NERACA Jakarta - Wakil Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Wamen UMKM) Helvi Moraza menilai bahwa peran dari PT Permodalan…
NERACA Sukabumi - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sukabumi, sudah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap 41 pelaku usaha yang telah…