Jakarta-Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah menstimulasi pariwisata di Indonesia. Langkah itu perlu dilakukan untuk menjaga bisnis hotel dan restoran yang disinyalir terdampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sementara itu, Peneliti Indef Ariyo Irhamna mengusulkan agar pemerintah memperluas pajak barang mewah (PPnBM). “Barang-barang mewah seperti rumah dengan luas tertentu atau properti di lokasi premium bisa dikenakan PPnBM yang lebih tinggi,” ujarnya, belum lama ini.
NERACA
Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono mengatakan dampak kenaikan PPN itu bisa merembet ke berbagai hal, termasuk adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itu, dia meminta pemerintah mengambil kebijakan yang tepat bagi pelaku usaha di sektor pariwisata.
Dia memandang, insentif dalam bentuk suku bunga yang ditawarkan tidaklah menarik. Lantaran, hotel hingga restoran membutuhkan peningkatan daya beli, bukan kredit. "Pemerintah itu mesti hati-hati. Karena apa? Karena tadi dikasih insentif dalam bentuk suku bunga tadi sebenarnya itu tidak menarik karena memang kita tidak lagi butuh kredit," ujar Sutrisno, pekan lalu di Jakarta.
"Yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran itu adalah pembeli, demand, yang dibutuhkan adalah daya beli gitu loh," ujarnya.
Pada saat yang sama, dia meminta pemerintah tidak memanjakan investor asing yang masuk ke sektor pariwisata, termasuk hotel. Menurut dia, penyerapan tenaga kerja dari investor asing itu tidak lebih banyak dari pengusaha lokal.
"Ini saya kira penting bagi pemerintah. Ini kaitan tadi ya, saya juga ingin mengatakan investasi tadi, masalah investasi. Investasi itu jangan terus asing saja yang diidolakan. Asing itu masuk ke sini dengan capital intensive. Tidak mungkin dia menciptakan lapangan kerja, karena sekarang teknologi AI," tutur dia seperti dikutip Liputan6.com.
Menurut dia, investor lokal bisa lebih padat karya dan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dia berharap pemerintah tidak mempersulit upaya pengusaha lokal menanamkan investasi.
"Jangan orientasinya kepada asing dulu, dalam negeri harus. Itu cincin syaratnya, kemudahan untuk berinvestasi itu yang harus dilakukan. Pajak, kemudian regulasi, infrastruktur, kepastian hukum, dan biaya yang berasal dari tenaga kerja yang wajar. Itu saja sebenarnya yang diinginkan," ujarnya.
Terlepas segala dampak positif yang tercipta dari kenaikan PPN 12 persen, Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo Irhamna mengatakan terdapat beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara selain “membebani” masyarakat secara luas.
“Pemerintah perlu memperluas basis pajak terlebih dahulu yang dapat dilakukan dengan mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perpajakan, terutama dari sektor UMKM,” ujar Ariyo.
“Saat ini, banyak UMKM yang belum terdata secara baik, meskipun sudah ada upaya digitalisasi dan pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan data ini untuk memperluas basis pajak tanpa harus menaikkan tarif pajak (PPN),” tutur dia.
Ariyo juga meminta pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan pengawasan pajak. Menurutnya, pendekatan terhadap penghindaran pajak dan praktik lainnya, terutama oleh perusahaan multinasional, harus diperketat. “Perjanjian pajak internasional yang ada juga perlu dimanfaatkan dengan baik untuk menghindari kebocoran basis pajak,” ujarnya.
Ariyo pun mengungkapkan, restrukturisasi subsidi berupa penghematan dari efisiensi subsidi seperti subsidi listrik dan BBM, bisa dialihkan untuk menutup sebagian defisit tanpa mengurangi layanan kepada masyarakat. “Subsidi yang lebih terarah, misalnya BLT, BBM melalui mekanisme voucher, dapat menjadi solusi agar bantuan lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan,” ujarnya.
Selain itu, Ariyo mengusulkan agar pemerintah memperluas pajak barang mewah (PPnBM). “Barang-barang mewah seperti rumah dengan luas tertentu atau properti di lokasi premium bisa dikenakan PPnBM yang lebih tinggi,” tutur dia.
“Namun, perlu diingat bahwa kenaikan tarif PPN yang baru ini dan PPnBM ini berbeda, sehingga pemerintah harus memastikan sosialisasi kebijakan tersebut dilakukan dengan jelas agar masyarakat memahami perbedaannya,” sambung Ariyo.
Tantangan Kadin
Di sisi lain, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya N. Bakrie, menegaskan komitmen Kadin dalam menghadapi tantangan yang muncul akibat rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Anindya mengakui isu ini tengah menjadi perbincangan hangat, dengan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, khususnya kaum menengah, serta kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menjadi perhatian banyak pihak.
"Isu yang lagi marak mengenai PPN 12 persen, daya beli masyarakat terutama kaum menengah, dan kemungkinan ada isu pemberhentian tenaga kerja dan lain-lain. Tapi semua itu tentu di sinilah tugas Kadin,” ujarnya dalam Kadin Global & Economic Outlook 2025, di Jakarta, Senin (30/12).
Menurut Anindya, Kadin memiliki dua tugas utama dalam mengatasi dampak negatif yang mungkin timbul dari kebijakan ini. Pertama, Kadin akan bekerja sama dengan seluruh konstituen, termasuk Kadin provinsi, perusahaan-perusahaan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan koperasi yang berada di bawah naungannya, untuk memastikan mereka dapat menghadapi situasi ini dengan baik.
Menurut dia, kerja sama ini dianggap sangat penting untuk menjaga kelangsungan bisnis serta menciptakan lingkungan usaha yang kondusif di tengah tantangan ekonomi.
Kedua, Kadin bertekad untuk menjadi mitra strategis dalam mendukung program-program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal, dengan target mencapai 8 persen pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi kemiskinan bahkan hingga ke tingkat nol persen.
Anindya menilai pencapaian ini memerlukan sinergi antara sektor bisnis dan pemerintah, di mana Kadin berperan penting sebagai penghubung dan fasilitator.
Melalui langkah-langkah strategis ini, Kadin Indonesia berharap dapat membantu memperkuat perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sektor bisnis menghadapi potensi dampak dari kenaikan PPN 12 persen yang akan diberlakukan pada tahun 2025.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menanggapi santai soal banyaknya kritikan terkait kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Prabowo menyebut kritikan tersebut merupakan hal wajar. "Biasalah, biasa," kata Prabowo kepada wartawan di Indonesia Arena Jakarta, Sabtu (28/12).
Dia tak mau ambil pusing terkait banyaknya kritikan kepada pemerintahannya. Prabowo meyakini masyarakat dapat memilah informasi yang benar dan tidak. "Itu sudahlah udah biasa kita ya kan. Rakyat mengerti siapa yang benar siapa yang ngarang rakyat mengerti, betul?" tutur Prabowo.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen merupakan upaya pemerintah dalam melindungi rakyat, khususnya masyarakat di kelas menengah ke bawah.
"Itu kan ranahnya kementerian lain. Tapi dulu saya ikut di dalam, masih saya di DPR waktu itu. Ini kebijakan yang harus diambil oleh Bapak Presiden akibat sebuah Undang-Undang, harmonisasi Peraturan Perpajakan yang dilahirkan tahun 2021," tutur Andi di Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Oleh karena itu, menurut Andi, pemerintah lewat berbagai macam program maupun alokasi APBN, termasuk stimulus yang terakhir yakni memberikan ruang untuk UMKM hingga berkelanjutan ke masyarakat terdampak, terutama yang rakyat miskin. bari/mohar/fba
Jakarta-Pimpinan DPR-RI mengapresiasi sikap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya…
NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan mengatakan bahwa pihaknya melalui desk pencegahan tindak…
Jakarta-Presiden Prabowo Subianto dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati akhirnya sepakat menetapkan pengenaan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen…
Jakarta-Pimpinan DPR-RI mengapresiasi sikap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya…
NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan mengatakan bahwa pihaknya melalui desk pencegahan tindak…
Jakarta-Presiden Prabowo Subianto dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati akhirnya sepakat menetapkan pengenaan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen…