Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum
Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan tahun 2024 di 5 (lima) Pengadilan Niaga termasuk perkara PT Sritex, Tbk yang menyorot perhatian publik,. Pengalaman penulis terkait kasus PKPU dan Kepailitan selama ini, bahwa PKPU & Kepailitan terjadi bukanlah dengan tiba-tiba, tetapi berproses sudah sejak lama, paling tidak gejalanya sudah dapat dideteksi 5 (lima) tahun sebelumnya, tetapi Direksi cenderung menganggapnya hal biasa-biasa saja, bahkan cenderung ditutup-tutupi, agar “gejala penyakit” tidak terlihat oleh pemangku kepentingan. Bahkan salah satu modusnya melalui manipulasi laporan keuangan, sehingga pengguna laporan keuangan tidak mengetahui bahwa ada penyakit.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan, karena Direksi merupakan agent yang memiliki kewenangan atas transaksi keuangan yang controllable, adanya Asymmetric Information. Hal ini semakin sempurna lagi karena, lemahnya fungsi kontrol Dewan Komisaris, terlebih lagi tidak berfungsinya Komisaris Independen sebagai motor utama tata kelola perusahaan termasuk BUMN. Padahal perangkat pengawasan BUMN disamping dilakukan oleh Dewan Komisaris juga oleh Kementerian BUMN. Jika BUMN tersebut terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ironisnya lagi untuk BUMN disamping audit atas laporan keuangan, juga ada audit atas kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaannya mengapa tidak dapat dideteksi jauh-jauh sebelumnya ? Dimana fungsi pengawasan aktif Dewan Komisaris? Pertanyaan publik tersebut sangat rasional, karena hukum (UU) memberi kewenangan penuh kepada lembaga pengawas negara seperti Kementerian BUMN, OJK dan organ pengawasan yang diberikan oleh UU Perseroan Terbatas, yakni Dewan Komisaris yang dilengkapi perangkat Komite Audit.
Renungan ini sudah saatnya menjadi bagian dari program Astacita Presiden Prabowo, khususnya butir 7. Dengan demikian langkah terobosan hukum dapat segera dilakukan demi penguatan ekonomi nasional kedepan. Mengingat peran BUMN dan perusahaan publik yang berada dibawah pengawasan OJK sangat strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Jika keberlanjutan korporasi tersebut terhenti, pasti berimbas negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan.
Direksi dan Komisaris
Direksi dan Komisaris merupakan organ yang amat strategis untuk menjamin keberlanjutan korporasi. Kedua organ tersebut harus berperan aktif. Bedanya hanya pada beberapa hal saja. Dari sisi tanggung jawab, Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan operasional korporasi, sedangkan Direksi bertanggung jawab atas jalannya operasional, seperti membuat keputusan taktis, mengelola sumber daya perusahaan dengan strategi yang tepat dan selalu dalam rambu-rambu hukum dan mengedepankan prinsip Cost Efficiency and Effectiveness (CEE).
Jika terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi, sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) UU PT.
Penjelasan di atas telah menegaskan bahwa direksi dan dewan komisaris sebagai wakil dari perseroan memiliki tanggung jawab penuh atas keberlangsungan perseroan, termasuk dalam hal perseroan tersebut mengalami pailit dan kerugian. Namun, perlu diketahui bahwa UU PT juga memberikan limitasi atas tanggung jawab tersebut dengan adanya pernyataan “dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian”.
Hal tersebut menandakan selama direksi dan dewan komisaris dapat membuktikan bahwa pailitnya perseroan tersebut bukan terjadi akibat dari kesalahan dan kelalaiannya, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kerugian terhadapnya (doktrin hukum Business Judgment Rule), sebaliknya Direksi dan Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara hukum.
Pasal 115 ayat (3) UU PT menyebutkan anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:
a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b) Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c) Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
d) Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Dalam hal ini berlaku asas pembuktian hukum, apakah Direksi dan Komisaris sudah melakukan hal tersebut dengan didukung alat bukti hukum sesuai hukum acara yang berlaku. Pengadilanlah tempat pembuktiannya. Jika terbukti laporan keuangan sebagai dasar PKPU dan Kepailitan mengandung fraud, manipulasi, maka akan berlanjut ke tahap proses hukum tindak pidana.
Permohonan PKPU dan Kepailitan dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, baik oleh kreditur maupun debitur. Khusus jika pemohon PKPU dan Kepailitan diajukan oleh debitur, tidak tertutup kemungkinan terjadi moral hazard, dengan memanfaatkan celah hukum agar keluar dari kemelut keuangan yang dialami korporasi dengan melakukan rekayasa akuntansi dengan trik-trik khusus. Hal ini sangat dimungkinkan, karena tidak ada kewajiban laporan keuangan debitur dilakukan audit khusus (audit forensik) sebelum proses PKPU. Celah ini yang perlu mendapat perhatian khusus, karena kompetensi hakim Pengadilan Niaga hanya dibidang hukum, padahal kompetensi dibidang akuntansi, audit forensik sangat dibutuhkan dalam perkara PKPU dan Kepailitan.
Financial Distress
Financial distress atau tekanan keuangan sebagai kondisi perusahaan mengalami penurunan kinerja keuangan dan tidak dapat menghasilkan pendapatan (laba) dan arus kas yang cukup sehingga sulit membayar kewajiban keuangannya. Secara umum ada empat penyebab financial distress, pertama, kurangnya perencanaan keuangan; kedua, terlalu banyak pengeluaran; ketiga, banyak utang, dan keempat, kehilangan sumber pendapatan.
Mengutip Stephen A. Ross, 2016, bankruptcy can be predicted with some degree of accuracy two years before the event using the Altman Z Score.
Secara teoritik, financial distress melalui model Altman Z Score ditentukan oleh aspek profitabilitas, likuiditas dan financial structure perusahaan (Stephen A. Ross, 2016). Penyebab dan solusinya bisa diketahui dengan melakukan analisis forensik keuangan, melalui gabungan dua disiplin ilmu, yakni hukum dan akuntansi keuangan, baik sisi aset, liabilitas maupun proses bisnis, struktur organisasi dan sumber daya manusia. Dengan melakukan efisiensi disegala lini dan kaji ulang struktur aset yang ada, maka profitabilitas akan tertolong ditengah masa sulit dan ketidakpastian global yang berlangsung lama tanpa ada kepastian kapan berakhirnya.
Disinilah Dewan Komisaris dan Direksi mesti berperan besar melakukan efisiensi termasuk mengawasi (dalam pengertian mengkaji ulang) uncontrollable cost dan non value added activities. Disisi lain memperbaiki tekanan likuiditas terhadap utang yang sangat besar dengan melalukan restrukturisasi yang sarat dengan implikasi hukum.
Efektifitas Internal Control System yang intinya menjamin reliability of reporting, efficiency and effectiveness of operations, compliance with laws and regulations merupakan komitmen dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris yang tidak dapat ditawar.
Simpulan
Lingkungan ekonomi dan bisnis saat ini dan kedepan masih diselimuti berbagai ketidakpastian. Direksi dan Dewan Komisaris sebagai organ strategis korporasi dituntut untuk mengambil keputusan strategis yang tepat, cepat, dan terukur. Profitabilitas, likuiditas dan kepatuhan hukum dan perundang-undangan merupakan kata kunci untuk mitigasi risiko kepailitan.
Kualitas dan integritas laporan keuangan menjadi basis analisis yang jitu, sebagai antisipasi, deteksi penyakit yang sesungguhnya yang menyelimuti korporasi sehingga preventive control dapat dilakukan sedini mungkin. Dimasa datang UU PKPU dan Kepailitan perlu disempurnakan lagi, antara lain laporan keuangan debitur wajib dilakukan audit forensik, sehingga celah moral hazard debitur dapat dicegah.
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…
Oleh : Aristika Utami, Pengamat Transportasi Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025 menjadi salah satu momen…
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…