NERACA
Jakarta- Di tahun 2025, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan penerbitan baru surat utang berkisar antara Rp139-Rp155 triliun dengan titik tengah sebesar Rp144 triliun. Pefindo menyebut kebutuhan refinancing masih tinggi. Hal ini didorong oleh besarnya nilai surat utang jatuh tempo yang diperkirakan mencapai Rp150,07-Rp155,66 triliun. Tingginya penerbitan surat utang bertenor pendek pada 2024 menjadi salah satu penyebabnya.
Irmawati Amran, Direktur Utama Pefindo mengatakan, aktivitas sektor riil pada 2025 diperkirakan akan menguat. Kebijakan pemerintah yang lebih ekspansif serta inflasi yang terkendali menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan yang rendah juga diharapkan mendorong pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.“Leverage keuangan semakin membaik karena suku bunga rendah. Premi juga diperkirakan melandai,”ujarnya di Jakarta, kemarin.
Namun, likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat membuat perusahaan mencari alternatif pendanaan yang lebih murah. Obligasi korporasi menjadi pilihan untuk mendukung leverage keuangan dan memenuhi kebutuhan bisnis. Lembaga keuangan pun terdorong untuk mencari sumber dana baru demi menyalurkan kredit atau pembiayaan.
Di sisi lain, risiko geopolitik tetap menjadi perhatian. Konflik global yang belum mereda berpotensi meningkatkan volatilitas pasar dan memperbesar premi risiko. Fluktuasi nilai tukar juga bisa terjadi, terutama jika pelonggaran moneter di negara maju, seperti Amerika Serikat, berlangsung lebih lambat akibat ekonomi yang masih kuat dan risiko inflasi yang tinggi.
Pefindo juga menyoroti yield surat utang yang sulit turun karena rencana penerbitan surat utang pemerintah yang lebih besar. Persaingan dengan instrumen lain, seperti SRBI dan SUN, bisa memengaruhi daya serap penerbitan surat utang korporasi.
Selain itu, investor cenderung selektif, khususnya terhadap obligasi dengan peringkat tertentu seperti BBB dan sektor-sektor tertentu. Hal ini dapat membatasi ruang gerak penerbitan surat utang dari kategori tersebut.“Meski ada tantangan, peluang tetap terbuka, terutama dengan kondisi ekonomi domestik yang kondusif,” kata Irmawati.
Sementara Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo, Suhindarto mengungkapkan, investor kini cenderung menghindari penyerapan obligasi atau surat utang dari sektor konstruksi. Pasalnya, banyak perusahaan konstruksi yang mengalami gagal bayar belakangan ini.“Berbagai investor agak cenderung menghindari satu sektor karena beberapa waktu terakhir ini ada kejadian gagal bayar di sektor tersebut, yaitu di sektor konstruksi,” ujarnya.
Dirinya juga menuturkan, penerbitan surat utang di sektor konstruksi juga cukup minim. Berdasarkan data Pefindo hingga akhir November 2024, nilai penerbitan surat utang di sektor ini sebesar Rp537,34 miliar yang hanya berasal dari BUMN. ebagai gambaran, nilai penerbitan surat utang nasional sepanjang Januari – November 2024 mencapai Rp130,18 triliun. Nilai ini terdiri atas surat utang BUMN senilai Rp40,64 triliun, sedangkan di luar BUMN sebesar Rp89,53 triliun. (bani)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu (11/12) sore, ditutup menguat di tengah para pelaku pasar…
NERACA Jakarta- Emiten operator telekomunikasi, PT XL Axiata Tbk (EXCL) resmi merampungkan merger dengan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dan…
NERACA Jakarta – Aksi korporasi PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) selalu ditunggu para pelaku pasar, lantaran bisnis anak usaha dari…
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu (11/12) sore, ditutup menguat di tengah para pelaku pasar…
NERACA Jakarta- Emiten operator telekomunikasi, PT XL Axiata Tbk (EXCL) resmi merampungkan merger dengan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dan…
NERACA Jakarta – Aksi korporasi PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) selalu ditunggu para pelaku pasar, lantaran bisnis anak usaha dari…