Penguatan Peran Swasta dalam Pembiayaan Risiko Bencana

 

Oleh: Veri Agustina, Analis Kebijakan di BKF, Kemenkeu

 

Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya isu ancaman megathrust di Indonesia. Sebagai negara yang terletak di kawasan cincin api pasifik, Indonesia memang familiar dengan kejadian gempa bumi. Bahkan , risiko terjadinya bencana di Indonesia bukan hanya dari gempa bumi. Menurut data BNPB, wilayah Indonesia terpapar setidaknya sembilan risiko bencana alam. Pada 2023, BNPB mencatat jumlah kejadian bencana yang terjadi di Indonesia sebanyak 5.400 kejadian.  Sehingga, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kita mempersiapkan diri dalam menghadapi risiko bencana yang besar tersebut.

Upaya mempersiapkan diri dari risiko bencana di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan UU tersebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun,  pemerintah juga dapat membangun partisipasi dan kemitraan publik dan swasta. Keterlibatan swasta dalam penanggulangan bencana sangat penting, karena kerugian yang diakibatkan oleh bencana tidak dapat ditanggung sendiri oleh pemerintah. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk memperkuat peran swasta dalam pembiayaan risiko bencana?

Penguatan Industri Asuransi

Industri asuransi adalah salah satu aktor non-pemerintahan yang keterlibatannya dapat terlihat secara langsung dalam penanggulangan bencana.  Namun, kondisi industri asuransi di Indonesia untuk isu kebencanaan belum termanfaatkan dengan baik.  Rata-rata tingkat penetrasi asuransi umum di Indonesia menurut AAUI pada lima tahun terakhir hanya sebesar 0,49%. Sementara itu, studi OECD menyebutkan bahwa nilai kerugian yang ditanggung oleh asuransi (insured loss) di Indonesia pada tahun 2012-2018 hanya mencapai 5,5% dari total kerugian ekonomi akibat bencana. Artinya, sebagian besar masyarakat maupun aset yang ada di Indonesia masih belum mendapatkan perlindungan dari asuransi ketika terjadi bencana.

Sayangnya, pemerintah belum menjadikan asuransi sebagai instrumen pokok dalam pembiayaan penanggulangan bencana di Indonesia. Pemerintah baru mulai mengasuransikan aset milik pemerintah pusat, melalui program Asuransi Barang Milik Negara (BMN), pada tahun 2019. Kementerian/Lembaga sebagai pengguna BMN diminta untuk mengasuransikan asetnya. Sehingga ketika terjadi bencana, beban atas kerugian BMN dapat  dibagi dengan perusahaan asuransi.

Meskipun sudah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, tingkat asuransi BMN  masih cukup rendah. Dari laporan LKPP 2021, jumlah aset tetap pemerintah dalam bentuk gedung dan bangunan mencapai Rp 420 Triliun. Sedangkan nilai pertanggungan asuransi BMN pada tahun itu hanya sebesar Rp 32 Triliun.

Hal ini menunjukkan bahkan dari sisi pemerintah, di mana partisipasi dalam asuransi BMN sudah dimandatkan dalam peraturan hukum, tingkat partisipasi asuransi masih sangat rendah. Apalagi di level masyarakat yang umumnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok dibandingkan dengan perlindungan asuransi. Oleh karena itu, pemerintah perlu bekerja ekstra keras untuk memperkuat literasi pentingnya asuransi dalam mengurangi risiko yang muncul dari kejadian bencana.

Kondisi aset pemerintah yang masih terbilang underinsured sebenarnya dapat dimaknai secara positif, bahwa peluang industri asuransi untuk memanfaatkan pasar ini masih terbuka lebar. Namun, kapasitas industri asuransi untuk menyerap risiko yang ada juga perlu diperhatikan. Saat ini, OJK mencatatkan nilai aset industri asuransi umum di Indonesia adalah sebesar Rp 197 Triliun pada akhir 2022 dengan jumlah premi Rp. 78 Triliun.

Sementara jika dibandingkan dengan total aset tetap pemerintah pada tahun yang sama, selain tanah, sudah mencapai Rp Rp 1.405 Triliun. Sehingga dapat dilihat bahwa beban pertanggungan yang harus ditanggung oleh pasar asuransi domestik sangat besar. Oleh karena itu,  pemerintah perlu menyediakan lingkungan yang memudahkan perusahaan reasuransi untuk dapat membantu menyerap besarnya beban pertanggungan di pasar asuransi nasional.

Optimalisasi CSR

Kontribusi sektor swasta dalam konteks pemberian bantuan terkait penanggulangan bencana seringkali dilaksanakan dalam kerangka Corporate Social Responsibility (CSR). UU Nomor 40/2007 telah mengatur mengenai kewajiban korporasi dalam melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 

Kerangka regulasi yang ada rasanya telah cukup untuk mengakomodasi korporasi dalam memberikan “CSR”. Tentunya, hal ini perlu dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, termasuk untuk memobilisasi CSR bagi penanggulangan bencana. Dalam praktiknya pun selama ini CSR dalam rangka penanggulangan bencana telah banyak diberikan. Salah satunya, Astra Group yang tercatat memberikan bantuan setidaknya senilai Rp 4,5 miliar untuk berbagai keperluan tanggap darurat pada bencana Sulawesi Tengah 2018. Namun demikian, bagaimana mengoptimalkan CSR dari sektor swasta tersebut?

Untuk memfasilitasi partisipasi sektor swasta dalam kegiatan penanggulangan Bencana, BNPB  telah memberikan payung hukum melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 12/2014. Pemerintah seyogyanya tidak hanya berperan sebagai regulator dari aliran CSR ini, namun juga dapat mengarahkan sehingga menjadi bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran. Bantuan dari pihak swasta biasanya datang setelah terjadinya bencana, baik pada fase darurat bencana maupun  rehabilitasi rekonstruksi. Namun, dukungan pendanaan pada fase kesiapsiagaan juga tidak kalah penting, untuk dapat mengurangi dampak yang timbul akibat bencana. Untuk itu, mobilisasi CSR perlu didorong untuk semua fase bencana, dengan mempertimbangkan prioritas yang ditentukan pemerintah.

Saat ini, pemerintah juga tengah mengembangkan Pooling Fund Bencana (PFB), sebagai skema inovasi pembiayaan bencana yang dapat mengumpulkan dana dari berbagai sumber. PFB dikelola oleh badan layanan umum, sehingga bersifat lebih fleksibel dibandingkan dengan mekanisme anggaran konvensional.  Terkait ini, CSR dapat diintegrasikan dalam skema PFB. Sehingga sektor swasta memiliki tambahan opsi dalam menyalurkan CSR untuk kegiatan penanggulangan bencana.

Masyarakat Tangguh Bencana

Fakta bahwa Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia berdasarkan World Risk Report tahun 2024 perlu disikapi dengan cermat. Rasanya akan sulit jika kita hanya mengandalkan peran pemerintah saja. Kolaborasi yang kuat adalah kunci dalam penanggulangan bencana, termasuk antara pemerintah dan swasta.

Peran sektor swasta dalam penanggulangan bencana dapat ditingkatkan antara lain melalui penguatan industri asuransi dan optimalisasi CSR. Tentunya, pengambil kebijakan kemudian perlu memberikan ekosistem yang mendukung bagi sektor swasta dalam mendukung dan terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana.  Penguatan peran swasta oleh pemerintah diharapkan dapat mendorong bangsa ini menjadi bangsa yang semakin tangguh bencana.

BERITA TERKAIT

Gencarkan Transformasi Ekonomi Melalui Hilirisasi untuk Pemerataan Ekonomi

  Oleh : Arzan Malik Narendra, Pemerhati Pertambangan   Dalam upayanya untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, Presiden…

Penguatan Infrastruktur Transportasi Jadi Fokus Presiden Sambut Nataru

    Oleh: Aulia Pratama, Pengamat Transportasi   Menyambut libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo…

Berkat Instruksi Presiden, Harga Tiket Pesawat Turun Jelang Nataru

    Oleh : Mayang Dwi Andaru, Pengamat Penerbangan       Pemerintah berhasil menurunkan harga tiket pesawat domestik sebesar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Gencarkan Transformasi Ekonomi Melalui Hilirisasi untuk Pemerataan Ekonomi

  Oleh : Arzan Malik Narendra, Pemerhati Pertambangan   Dalam upayanya untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, Presiden…

Penguatan Infrastruktur Transportasi Jadi Fokus Presiden Sambut Nataru

    Oleh: Aulia Pratama, Pengamat Transportasi   Menyambut libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo…

Penguatan Peran Swasta dalam Pembiayaan Risiko Bencana

  Oleh: Veri Agustina, Analis Kebijakan di BKF, Kemenkeu   Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya isu ancaman megathrust…