Ekonom dan pakar hukum mengkritisi dampak serius yang ditimbulkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) serta wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Hal ini menyusul adanya ancaman perlambatan pertumbuhan perekonomian nasional hingga indikasi intervensi asing dalam penyusunan regulasi.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengatakan bahwa berdasarkan hasil kajian INDEF, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.
Menurutnya, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan indetitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran. “Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk,” ujarnya dalam diskusi beberapa waktu lalu.
Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, industri ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.
Lebih dari itu, dirinya mengingatkan bahwa industri hasil tembakau adalah sektor yang besar dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari total pekerja akan terdampak langsung oleh regulasi ini. “Pada 2019, industri ini menyerap 32% dari total pekerja di sektor manufaktur. Namun, tekanan regulasi terus membuat para pekerja di sektor ini rentan terdampak,” jelasnya.
Dia juga menekankan perlunya diskusi lintas kementerian dalam menentukan kebijakan terkait industri hasil tembakau, mengingat dampaknya yang menyeluruh. Karena menurutnya, kebijakan ini bukan hanya urusan Kementerian Keuangan atau Kementerian Kesehatan saja, tapi juga Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Ketenagakerjaan yang seharusnya ikut dilibatkan.
Di samping itu, ketentuan zonasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dalam PP 28/2024 juga dinilai Andry akan memukul pelaku usaha ritel yang sebelumnya sudah beroperasi di area tersebut. “Kebijakan zonasi ini perlu dipertimbangkan ulang untuk menjaga keseimbangan antara aturan kesehatan dan keberlangsungan usaha,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Andry mengungkapkan, pentingnya fokus pada empat hal utama untuk keberlanjutan industri ini. Pertama, penerimaan negara; kedua, pengendalian konsumsi; ketiga, perlindungan tenaga kerja; dan keempat, penanganan rokok ilegal. “Regulasi-regulasi ini seharusnya lebih fokus pada empat hal tersebut agar dampaknya tidak berat sebelah dan dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi,” tambahnya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, rancangan Permenkes yang mengatur penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pun kian dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri hasil tembakau nasional.
Dirinya menjelaskan, penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sejatinya mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.“Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan,” tuturnya.
Hikmahanto menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, kebijakan ini dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor. (bani)
NERACA Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (12/11) sore, ditutup menguat di tengah…
NERACA Jakarta- Kemenangan Donald Trum pada pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024 memberikan kepastian pelaku pasar modal akan sentimen…
Analis Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menilai, langkah PT Bank Negara Indonesia (BNI) dalam menerbitkan obligasi…
NERACA Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (12/11) sore, ditutup menguat di tengah…
NERACA Jakarta- Kemenangan Donald Trum pada pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2024 memberikan kepastian pelaku pasar modal akan sentimen…
Analis Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menilai, langkah PT Bank Negara Indonesia (BNI) dalam menerbitkan obligasi…