Oleh: Dr. Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019
Tak ayal lagi bahwa sektor migas nasional salah kelola sejak hadirnya UU Migas No.22/2001 yang di endorse oleh IMF ketika terjadi Krisis Moneter 1998. UU Migas ini Menyebabkan produksi migas mengalami penurunan yang signifikan selama dua dekade. Karena investasi dan kegiatan explorasi menurun..Produksi minyak turun dari produksi tertinggi 1.7 juta bph menjadi saat ini dibawah 600 ribu bph, level terendah dalam 50 tahun.
Kesalahan fatal dari para penyusun UU Migas No.22/2001 adalah, Pertama, memindahkan wewenang mengelolaan migas (Kuasa Pertambangan) dari Perusahaan Negara PERTAMINA yang dibentuk damgan UU Migas No.44/Prp/1960 dan UU Pertamina No.8/1971. Kuasa pertambangan dipindahkan ke Menteri ESDM. Padahal Menteri ESDM adalah pejabat pemerintah yang tidak eligible/ tidak memenuhi syarat utk mengelola langsung migas dan sumber daya alam yang harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menteri ESDM/ Pemerintah hanya bisa menunjuk perusahaan pihak ketiga, seperti misalnya dalam kasus penunjukan British Petroleum untuk membangun kilang LNG di Papua, dan menunjuk INPEX membangun kilang LNG di Masela yang tidak selesai-selesai selama bertahun-tahun.
Ketika UU Migas baru berusia satu tahun, lewat Majalah Tempo (Oktober 2002), saya sarankan agar UU Migas ini supaya dicabut selagi dampak negatifnya masih pada tahap dini.
Sejarah perminyakan mencatat bahwa yang telah terbukti membangun kilang LNG di Arun Aceh dan di Bontang Kalimantan Timur yang membutuhkan teknologi dan dana yang besar, dengan tanpa memakai dana APBN adalah Pertamina.
Kemudian kita ketahui produksi LNG dari kilang LNG di Papua dijual murah China dengan kontrak jangka panjang menggunakan formula harga jual yang salah dan tidak fair,–menyalahi teori ekonomi energi dan tidak sesuai dengan formula harga jual LNG Arun dan Badak yang fair dan saling menguntungkan yang dibangun oleh Pertamina.
Dari kebijakan yang salah ini negara rugi ratusan triliun selama bertahun-tahun sampai pihak pembeli di China setuju untuk merubah formula harga jual. Sehingga tujuan pengelolaan Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak pernah bisa tercapai.
Kedua, tim penyusun UU Migas menciptakan sistem pengelolaan migas yang sangat buruk tidak disukai oleh investor dengan membebani pajak dan pungutan semasa eksplorasi belum berproduksi, selain proses investasi yang ribet dan birokratik.
Ketiga, UU Migas no.22/2001 lewat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU–X/2012 telah dicabut belasan pasalnya termasuk membubarkan BP migas yang seyogyanya dikembalikan ke Pertamina sebagai institusi asal sehingga hubungan dengan investor kembali ke hubungan “B to B”
Empat, Namun di era Presiden SBY, BP Migas malah dihidupkan kembali tanpa dilandasi dasar UU yang kuat kemudian melabrak Putusan MK. BP Migas dihidupkan kembali dengan nama SKK Migas dengan status tetap sebagai lembaga pemerintah yang tidak eligible.
Selain keberadaan SKK Migas berakibat tetap menggunakan pola hubungan ” B to G” dengan investor yang dapat menghilangkan kedaulatan negara atas kekayaan SDA-nya. Padahal semua presiden dan menteri telah bersumpah/ berjanji untuk menghormati Konstitusi UUD 1945.
Mengapa Presiden SBY dan Presiden Jokowi tetap mempertahankan/ membiarkan UU Migas No 22/2001 dimana belasan pasalnya terbukti melanggar konstitusi selain terbukti menjadi penyebab hancurnya produksi migas nasional selama dua dekade. Akibat UU Migas ini sekarang Indonesia harus impor minyak dan gas/LPG dalam jumlah yang sangat besar.
Solusi atas pengelolaan migas yang salah dan inkonstitusional ini adalah, Presiden RI berhak dan berkewajiban untuk mengeluarkan Perppu mencabut UU Migas No. 22/2001, karena Komisi VII DPR-RI sudah tiga periode gagal merevisi UU Migas. Solusi tersedia lewat Perppu mencabut UU Migas No. 22/2001 oleh Presiden Prabowo. Langkah ini merupakan solusi yang rasional konstitusional dan efisien.
Dalam sejarah pengelolaan SDA Pertambangan Nasional, pernah dilakukan oleh Pemerintahan Zaken Kabinet dari Perdana Menteri Ir. Djuanda di era Demokrasi Parlementer, yang mencabut pemberlakuan UU Pertambangan Zaman Kolonial (Indische Mijnwet) yang menggunakan sistem konsesi dengan IUP dan Kontrak Karya.
Dicabut dengan Perppu yang kemudian diterima oleh DPR menjadi UU MIGAS No.44/Prp/1960 dan diikuti dengan terbitnya UU No. 8/1971 yang melahirkan Pertamina, sebagai Pemegang Kuasa Pertanbangan Migas Nasional.
Ketika itu, menggunakan sistem kontrak bagi hasil yang memastikan perolehan Negara atau APBN harus lebih besar dari keuntungan investor dengan porsi 65% untuk APBN dan 35% untuk Investor.
Ketika terjadi oil boom karena harga minyak dunia yang naik melejit, Presiden RI yang tidak ikut berkontrak bagi hasil dengan Investor, berhak untuk mengadopsi “Windfall Profit Tax”, dengan menaikkan prosentase penerimaan APBN dari Penambangan Mjgas dari 65% menjadi 85%.
Pengelolaan Migas yang sesuai dengan Konstitusi ini adalah menjadi contoh dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara, yang hingga saat ini masih menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya.
Dengan dikelolanya sektor Migas sesuai konstitusi, terbukti telah mengakibatkan sektor Migas menjadi sumber utama penerima APBN dan penerimaan devisa hasil ekspor. Pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh 9,8% pada tahun 1980-an sebagai pertumbuhan tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional. (www.bergelora.com)
Oleh : Andika Pratama, Analis Kebijakan Publik Penyalahgunaan narkoba terus menjadi ancaman besar yang merusak masa depan generasi muda…
Oleh : Shenna Aprilya Zahra, Pengamat Sosial Budaya Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas judi online…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi isu panas…
Oleh : Andika Pratama, Analis Kebijakan Publik Penyalahgunaan narkoba terus menjadi ancaman besar yang merusak masa depan generasi muda…
Oleh : Shenna Aprilya Zahra, Pengamat Sosial Budaya Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas judi online…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi isu panas…