Ekonomi Politik

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Suksesi kepemimpinan nasional sebagai hasil dari pilpres 2024 sepertinya belum dapat berlangsung normal dan mulus. Argumen yang mendasari yaitu masih adanya sejumlah riak yang bergejolak sehingga berdampak sistemik, tidak hanya terhadap iklim sospol di tanah air tapi juga ekonomi politik. Oleh karena itu, sisa waktu di akhir pemerintahan saat ini menjadi menarik dicermati karena tidak saja terkait kepentingan jangka panjang tapi juga yang terpenting adalah terjaminnya kepastian untuk terus mendukung pelaksanaan pembangunan nasional.

Setidaknya ada sejumlah riak yang memicu sentimen dan tentu hal ini berpengaruh terhadap keberlanjutan sukses kepemimpinan itu sendiri. Artinya, ini menjadi catatan yang harus dievaluasi agar suksesi kepemimpinan di masa depan dapat berlangsung secara normal dan mulus tanpa ada konflik kepemimpinan nasional.

Fakta dibalik suksesi kepemimpinan sejatinya tidak bisa terlepas dari pelaksanaan dalam pemerintahan sebelumnya. Seperti diketahui di era pemerintahan Jokowi ternyata justru diwarnai terjadinya penumpukan utang. Data BI menegaskan utang luar negeri per Juli 2024 mencapai US$194,3 M atau naik 0,6% dibanding tahun sebelumnya dan juga naik 0,8% dibanding Juni 2024. Faktor pemicunya adalah terjadinya penarikan pinjaman luar negeri dan juga peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara atau SBN.

Komposisi untuk utang luar negeri pemerintah pengelolaannya untuk keperluan di sejumlah sektor misal di sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (20,9%),  administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (18,9%); jasa pendidikan (16,8%); konstruksi (13,6%); dan jasa keuangan dan asuransi (9,4%). Meskipun tenor utang luar negeri dalam skim jangka panjang (99,98%) tetapi tetap saja harus dikelola dengan baik karena menyangkut pembayaran cicilan utang dan bunga.

Sebagai perbandingan untuk utang luar negeri swasta per Juli 2024 mencapai US$195,2 M (naik 0,1% dari tahun 2023) dan turun 0,04% dibanding Juni 2024. Komposisi di sektor swasta terutama sejumlah sektor misal sektor industri pengolahan; jasa keuangan dan asuransi; pengadaan listrik dan gas; serta pertambangan dan penggalian (78,9% dari total). Dominasi skim utang juga dalam tenor jangka panjang (76,3% dari total). Catatan menarik dari akumulasi utang adalah kepentingan dan kepastian dalam pembayarannya, terutama cicilan utang dan bunganya.

Terkait ini bahwa data BI menegaskan rasio utang terhadap PDB masih aman di kisaran 30,2% (komposisinya didominasi utang LN yang bertenor jangka panjang (84,9%). Meskipun demikian, hal yang menarik dicermati yaitu terjadinya peningkatan utang jika dibanding pemerintahan sebelumnya. Meski diakui ada program dan proyek yang berbeda di setiap pemerintahan tetapi akumulasi utang di era pemerintahan Jokowi memang signifikan sehingga menjadi catatan terkait konsekuensi.

Kalkulasi yang ada menegaskan utang pemerintahan Jokowi per Juli 2024 lalu mencapai Rp 8.502,69 triliun (naik Rp 57,82 triliun dalam sebulan karena per Juni 2024 data dari Kementerian Keuangan utang pemerintah Rp 8.444,87 triliun). Meski rasio utang masih aman tetapi tetap penting untuk menjaga stabilitasnya. Mengacu UU no.17/2003 tentang Keuangan Negara bahwa batas aman rasio utang LN adalah 60%. Komposisi utang bisa dilihat dari besaran masing-masing yaitu dominasi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 7.642,25 triliun dengan komposisinya SBN Domestik Rp 5.993,14 triliun, dan SBN Valas Rp 1.468,81 triliun, dan sisanya dari pinjaman yaitu Rp 1.040,44 triliun yang terdiri pinjaman dalam negeri Rp 39,95 triliun dan luar negeri Rp 1.000,49 triliun.

Dari kalkulasi diatas maka menjadi benar adanya jika pemerintahan Prabowo terbebani di sektor finansial karena terjadinya akumulasi utang, terutama utang LN. Hal ini tentu menjadi peluang dan tantangan yang sangat berat bagi pemerintahan Prabowo, sementara di sisi lain sebelum pelantikannya justru diwarnai riak, terutama kasus akun Fufu Fafa di medsos yang viral dalam sebulan terakhir. Dampak sistemik Fufu Fafa sangat kompleks dan memicu sentimen terhadap iklim sospol.

Hal ini diperparah dengan adanya gugatan di PTUN, meski pembacaan putusannya diundur pada 24 Oktober yang seharusnya pada 10 Oktober kemarin. Fakta ini tidak bisa terlepas dari konflik iklim sospol. Bahkan, ada keyakinan dampak sistemik dari Fufu Fafa juga memicu sentimen wait and see terhadap investor dan pelaku bisnis. Jika wait and see tidak meredup bisa berubah wait and worry.

BERITA TERKAIT

Peran Aktif Masyarakat: Kunci Sukses Berantas Judol

Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya     Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…

Peran Strategis Direksi dan Komisaris Mencegah Kepailitan

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum             Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…

Mendorong Pemerataan Ekonomi dengan Program Pemberdayaan Desa

    Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Peran Aktif Masyarakat: Kunci Sukses Berantas Judol

Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya     Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…

Peran Strategis Direksi dan Komisaris Mencegah Kepailitan

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum             Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…

Mendorong Pemerataan Ekonomi dengan Program Pemberdayaan Desa

    Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…