NERACA
Jakarta - Sengketa merek kembali mencuat di Indonesia setelah kasus Geprek Bensu dan MS Glow.
Kali ini, perseteruan terjadi antara dua perusahaan baja ringan, pemegang hak atas merek KASO dan KasoMax, yang keduanya terdaftar di kelas 6 untuk produk baja ringan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham.
Ketegangan semakin memuncak ketika pemilik merek KasoMax mengklaim mengalami kriminalisasi meski secara hukum memiliki hak atas mereknya.
Kekecewaan ini disampaikan saat menghadiri diskusi di kanal YouTube politisi Akbar Faisal, berjudul “Kejamnya Industri Baja Ringan! Perusahaan Besar Matikan UMKM Kaso X KasoMax.”
Diskusi tersebut dihadiri oleh Teddy Anggoro dan Nugraha Bratakusumah (Egi).
Dalam diskusi itu, terungkap bahwa PT Tatalogam Lestari, pemilik merek KASO, telah mendaftarkan mereknya sejak 14 Januari 2010 dan beroperasi di pasar baja ringan di Indonesia.
Sementara itu, pemilik merek KasoMax, Tedi Hartono, baru mendaftarkan mereknya pada 7 Oktober 2021.
Meskipun kedua merek diakui secara hukum, pemilik merek KASO menggugat KasoMax ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, mengklaim adanya kesamaan yang dapat membingungkan konsumen.
Pengadilan pun membatalkan pendaftaran merek KasoMax.
Setelah putusan tersebut, pemilik merek KasoMax mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan ini ditolak.
PT Tatalogam Lestari kemudian melaporkan pemilik KasoMax ke Polda Bengkulu karena masih menjual produknya di pasaran.
Meskipun sebagian kasus dihentikan dan lainnya dibatalkan, pemilik KasoMax sempat ditetapkan sebagai tersangka.
Egi menilai kasus ini menunjukkan kekeliruan dalam penegakan hukum.
“Merek ‘KASO’ adalah nama umum untuk jenis barang dalam industri konstruksi, khususnya baja ringan. Menurut Undang-Undang Merek, penggunaan nama umum untuk pendaftaran merek seharusnya tidak diperbolehkan,” jelasnya.
Teddy Anggoro menambahkan pentingnya daya pembeda dalam pendaftaran merek.
“Merek adalah identitas yang harus memiliki daya pembeda pada produk atau jasa tertentu. Proses pendaftaran seharusnya melalui pemeriksaan substantif untuk mencegah terdaftarnya merek deskriptif atau umum,” tegasnya.
Keduanya sepakat bahwa Kemenkumham, terutama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, harus lebih aktif menyelesaikan sengketa ini.
Jika kedua belah pihak memiliki hak merek yang sah, penyelesaian damai seharusnya diutamakan daripada tindakan pidana.
Kasus ini kemudian menarik perhatian pakar hukum dari berbagai universitas untuk melakukan penelitian.
Salah satu hasilnya diterbitkan oleh Profesor Dr. OK Saidin SH., M. Hum, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.
Dalam tulisannya, ia menyoroti kesalahan yang mungkin terjadi di Kementerian Hukum dan HAM, khususnya DJKI, yang menerima pendaftaran merek KASO 14 tahun lalu dan KasoMAX 3 tahun lalu.
Ia mencatat bahwa sebelumnya, pemeriksa merek DJKI menolak permohonan pendaftaran KasoMAX, namun Komisi Banding Merek, yang saat itu dipimpin Teddy Anggoro, justru mengabulkannya.
OK Saidin menekankan bahwa pendaftaran merek harus berdasarkan daya pembeda yang tidak menyesatkan konsumen.
“Daya pembeda harus berdasarkan itikad baik (Pasal 21 ayat 3 UU Merek dan Indikasi Geografis),” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa merek yang tidak memiliki daya pembeda seharusnya tidak bisa didaftar, karena fungsi merek adalah untuk membedakan produk dalam perdagangan.
Misalnya, merek ‘Kopi’ tidak dapat didaftarkan, tetapi ‘Kopi Kapal Api’ diperbolehkan.
Mengacu pada UU No. 20 Tahun 2016, merek tidak dapat didaftarkan jika sama atau berkaitan dengan barang yang dimohonkan.
Dalam kasus ini, kata ‘Kaso’ tidak terdaftar di KBBI, sehingga bukan kata umum.
Oleh karena itu, Kaso bukanlah kata generik, dan dengan penambahan ‘MAX’, merek KasoMAX memiliki kesan perbedaan.
Namun, ia mempertanyakan mengapa tidak memilih nama yang lebih orisinal.
Pendaftaran merek harus memenuhi syarat, termasuk itikad baik.
DJKI menolak KasoMAX berdasarkan ketentuan yang ada, mengingat merek KASO terdaftar lebih dahulu.
Ada dugaan bahwa KasoMAX didaftarkan dengan itikad tidak baik.
Setelah putusan Pengadilan Niaga, pemilik KasoMAX mendaftarkan tiga merek baru, tetapi PT Tatalogam Lestari mengajukan keberatan, dan pendaftaran tersebut ditolak DJKI.
Pengadilan Niaga telah memutuskan bahwa pemilik KASO adalah pihak yang berhak atas merek tersebut.
Mahkamah Agung juga menolak kasasi dari pemilik KasoMAX, dan DJKI mengeluarkan keputusan pembatalan merek KasoMAX.
Setelah keputusan tersebut, produk KasoMAX masih beredar di pasaran, sehingga pemilik KASO mengajukan tuntutan pidana.
OK Saidin menjelaskan bahwa tindakan hukum ini sesuai dengan ketentuan UU Merek dan Hukum Acara Pidana. (Mohar/Iwan)
NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menandatangani Instruksi Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 2 Tahun 2024…
NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menegaskan, perlindungan kekayaan intelektual (KI) saat ini menjadi semakin penting dalam mendukung…
NERACA Jakarta - DPR RI menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas…
NERACA Jakarta - Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menandatangani Instruksi Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 2 Tahun 2024…
NERACA Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menegaskan, perlindungan kekayaan intelektual (KI) saat ini menjadi semakin penting dalam mendukung…
NERACA Jakarta - DPR RI menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas…