Oleh: Pril Huseno
Akhirnya proyek kerjasama Indonesia – China dalam rangka memuluskan skema Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), jadi ditandatangani di Beijing pada (26/4/2019). Sebanyak 23 proyek kerjasama disebutkan segera direalisasikan antara para pengusaha dari kedua negara (B to B), dengan tidak menimbulkan utang baru bagi Indonesia. Begitu yang disebutkan oleh Menko Kemaritiman Luhut B Pangaribuan.
Kerjasama (investasi) 23 proyek senilai total 14,215 miliar dolar AS tersebut, akan dibangun di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Maluku dan Bali, meliputi pembangunan kawasan industri dan infrastruktur penunjang (Taman Kuning, Kaltara) dan Taman Teknologi di Pulau Kura-kura (Bali).
Skema Belt and Road Initiative (BRI/ObOR) adalah skema kerjasama pembangunan internasional yang diperkenalkan pada 2013 oleh Xi Jinping, dan telah merangkul 65 negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai kerjasama (baca : China meminjamkan dana) mencapai 4.4 triliun dolar AS. Indonesia sebagai salah satu negara target BRI di Asia diperkirakan akan menerima total investasi sebesar 69.256 juta dolar AS.
Dalam KTT Beijing kemarin, China menandatangani kontrak proyek-proyek baru senilai 64 miliar dolar AS atau sekitar Rp908 ribu triliun, dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) yang dihadiri 37 kepala negara.
Dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama 23 proyek BRI tersebut, maka peran China di Indonesia dalam Investasi dan pinjaman telah bertambah besar. Per Semester I/2018 saja, pinjaman China kepada Indonesia telah mencapai 16,32 miliar dolar AS di bawah Singapura (55,67 miliar dolar AS) dan Jepang (28,66 miliar dolar AS).
Persoalannya, apakah semua proyek China yang dilaksanakan benar-benar telah memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia? Lebih jauh, apakah proyek-proyek tersebut juga telah memberikan sumbangsih besar bagi penurunan angka pengangguran di Indonesia, alias menggunakan tenaga kerja lokal dalam negeri? Atau, malah akan memperuncing kesenjangan yang makin menganga kerena investasi China biasanya konon, satu paket dengan segala tetek bengek proyek sampai pada penggunaan tenaga kerja yang dibawa dari China.
Meski pemerintah menyebutkan bahwa proyek-proyek China yang akan dibangun kelak, harus memenuhi 5 persyaratan yang ditetapkan antara lain, adanya alih teknologi kepada pekerja Indonesia, penggunaan tenaga kerja lokal, harus memproduksi barang yang mempunyai nilai tambah, proyek berskema B to B, dan jenis usaha harus ramah lingkungan, namun pengalaman beberapa proyek China di Indonesia kerap menimbulkan kontroversi di dalam negeri. Tidak didapat keterangan apakah ke lima syarat yang ditetapkan, juga berlaku surut bagi proyek-proyek China sebelumnya.
Apakah dengan semakin besarnya peran China di bawah skema BRI di Indonesia, akan membuat semakin besar risiko debt trap bagi Indonesia, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak? Sementara, defisit perdagangan Indonesia terhadap China pada 2018 juga mencapai 8,56 miliar dolar AS. Mampukah Indonesia mengubah “ancaman” debt trap China menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat? (www.watyutink.com)
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…
Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…
Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pemerhati Ekonomi Kerakyatan Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah, memiliki potensi besar…