Akibat kasus pilotnya mabok, dirut dan direktur operasional Citilink akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Terlepas dari bentuk kesalahan yang dilakukan bawahannya tersebut, sikap mundur dari kepemimpinan organisasi perusahaan patut kita acungi jempol. Bagaimanapun, keberanian direksi Citilink bersikap seperti itu di tengah maraknya pejabat haus kekuasaan saat ini, kita menilai mereka sebagai pemimpin yang memiliki jiwa ksatria.
Mundurnya petinggi perusahaan sebenarnya bukan hal baru dalam dinamika budaya di negeri ini. Sebelumnya Djoko Sasono dan Sigit Pribadi juga mundur dari jabatannya sebagai Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub dan dari Dirjen Pajak Kemenkeu.
Kita mendukung munculnya budaya mundur harus menjadi budaya di kalangan pejabat teras yang merasa gagal mengemban tugasnya. Namun, semua pihak hendaknya menyiapkan parameter yang jelas, karena dikhawatirkan yang tergusur justru orang baik. "Mundur patut menjadi budaya karena saat ini masih banyak pejabat yang atas kegagalannya justru melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan jabatannya," ujar Prof Dr Rhenald Kasali, guru besar UI, mengomentari kasus mundurnya sejumlah pejabat itu belum lama ini.
Dalam pandangannya, mundurnya Djoko Sasono sedikit banyak dipengaruhi kondisi di Kemenhub yang memang sedang melakukan konsolidasi. Terlepas dari alasannya adalah soal macet jelang Natal dan Tahun Baru 2015 yang tidak bisa terprediksi, tetapi sebelumnya juga ada dinamika internal Kemenhub.
Kita menyadari selama ini banyak pejabat di Indonesia sulit untuk mundur meskipun dinilai gagal dengan menyampaikan berbagai dalih supaya terus bertahan. Berbagai usulan bahkan tekanan untuk mundur diabaikan, hanya dianggap angin lalu, hanya dianggap kelompok barisan "sakit hati" karena tidak kebagian kue kekuasaan. Begitu alotnya menuntut seorang pejabat untuk mundur. Aksi-aksi unjuk rasa kadang berakhir dengan bentrok baik antara pihak yang pro maupun kontra.
Mundurnya pejabat birokrasi dari kursi jabatan yang menjanjikan pendapatan yang tinggi dan peluang untuk korupsi, merupakan tradisi yang positif bagi mandat pembaruan kinerja birokrasi. Selama ini jabatan dianggap sebagai sesuatu yang ”sakral” dalam kultur relasi birokrasi yang feodal dan ademokratis.
Di sisi lain mundurnya pejabat birokrasi karena gagal mengemban amanah dan tidak mampu mencapai target beban kerja merupakan keteladanan sosial bagi mereka yang menduduki jabatan politis dan jabatan publik. Selama ini banyak pejabat publik ataupun pejabat politik baik itu politikus parlemen (anggota DPR), bupati/wali kota/gubernur, direktur BUMN yang tersandung kasus korupsi maupun terjerat pidana enggan mengundurkan diri.
Mundurnya pejabat birokrasi dari tanggung jawab jabatan pada hakikatnya, memiliki berbagai logika psikososial. Pertama, cermin rendahnya standar kompetensi, integritas dan kapabilitas. Banyak pejabat birokrasi yang meraih jabatan bukan karena kompetensi, kepandaian, dan kemampuan dalam kepemimpinan. Mereka meraih jabatan karena koneksi, politik dan uang (menyogok). Sehingga ketika meraih jabatan yang dipikirkan adalah mencari ”rente” anggaran.
Kedua, wujud dari kegagapan budaya (cultural shock). Di era Pemerintahan Jokowi, banyak menteri yang menerapkan standar kerja yang tinggi bagi pejabat eselon di kementerian yang dipimpinnya. Bagi pejabat birokrasi eselon I sampai III yang tidak terbiasa mengikuti paradigma dan standar kinerja menteri yang berkualitas baik akan sangat kesulitan menyesuaikan diri. Ketiga, sikap tidak tanggung jawab. Ketika birokrat memutuskan menerima jabatan pasti sudah memahami tugas pokok dan fungsi yang harus dijalankan.
Mundurnya pejabat di lingkup BUMN menjadi momentum yang tepat bagi Pemerintahan Jokowi untuk melaksanakan reformasi birokrasi khususnya dalam mendorong hadirnya sistem meritokrasi. Sistem meritokrasi merupakan keniscayaan dalam membangun tata kelola pemerintahan yang good governance dan optimal dalam melayani kepentingan masyarakat. Sistem meritokrasi yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu. Kerap dianggap sebagai suatu bentuk sistem masyarakat yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi untuk duduk sebagai pemimpin.
Melalui sistem meritokrasi maka akan terpilih para pejabat birokrasi yang memiliki kemampuan intelektual, kapabilitas dalam menjalankan tupoksi, berintegritas dalam pekerjaan yang antikorupsi serta memiliki tanggung jawab penuh merealisasikan target pekerjaan yang dibebankan. Selama ini sudah menjadi tradisi dan budaya jenjang karier jabatan di dalam birokrasi lebih ditentukan oleh faktor nepotisme, uang dan relasi politik.
Keputusan Pemerintah dan DPR yang berencana mengampuni para pengemplang pajak pada tahun depan, dan pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa koruptor…
Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM…
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan energi yang terus meningkat, terutama saat momentum penting seperti…
Keputusan Pemerintah dan DPR yang berencana mengampuni para pengemplang pajak pada tahun depan, dan pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa koruptor…
Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM…
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan energi yang terus meningkat, terutama saat momentum penting seperti…