Strategi Diplomasi Ekonomi

 

Presiden Donald Trump dalam sebuah pengumuman yang disebutnya   sebagai "Hari Pembebasan" pada 2 April 2025 di Washington, secara resmi merilis daftar tarif baru yang menyasar banyak mitra dagang Amerika Serikat. Ini genderang proteksionisme itu akhirnya ditabuh lebih cepat dari perkiraan semula.

Indonesia tentu  tidak luput dari sengatan kebijakan yang diumumkan dari Gedung Putih tersebut. Secara spesifik, RI dikenakan  apa yang disebut Trump sebagai "tarif timbal balik" sebesar 32 persen, sebuah langkah tegas yang dibingkai dengan retorika khasnya bahwa ‘dalam banyak kasus, terutama dalam hal perdagangan, kawan lebih buruk daripada lawan’,  menyiratkan pandangan bahwa AS selama ini telah banyak mensubsidi kemajuan negara lain.

Keputusan mengejutkan yang datang lebih awal ini tak pelak mengirimkan guncangan signifikan bagi perekonomian nasional dan menempatkan hubungan ekonomi Indonesia-AS pada titik yang sangat krusial.  Namun, di tengah ketidakpastian yang kini menjadi realitas konkret, larut dalam respon reaktif atau pesimisme bukanlah pilihan strategis.

Momentum "Hari Pembebasan" ala Trump ini justru harus menjadi pemantik bagi Indonesia untuk segera merumuskan strategi tandingan yang cerdas, proaktif, dan menegaskan posisi tawar fundamental yang dimiliki negeri ini.

Sebab, di balik tarif 32 persen yang memberatkan itu, Indonesia masih menggenggam sejumlah  aset strategis  mulai dari kekayaan mineral kritis yang vital bagi industri AS, pasar domestik yang besar, hingga signifikansi geopolitik di Indo-Pasifik , yang jika dikelola dan dinegoisasikan dengan tepat, tetap membuka peluang untuk memitigasi dampak terburuk dan mencari celah kesepakatan baru yang lebih adil dan pada akhirnya saling menguntungkan secara bilateral.

“Pertarungan kini bukan lagi soal angka prosentasi tarif dagang tapi bagaimana Indonesia secara efektif mengonversi potensi menjadi leverage nyata dalam menghadapi kebijakan konkret Washington tersebut,” ujar Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta. 

Jelas, muncul kecaman keras atas ‘Hari Pembebasan’ ala Trump tersebut  dari berbagai penjuru dunia, termasuk sekutu dekat AS. Uni Eropa dan Jerman, misalnya, menyebut langkah ini sebagai  ‘serangan terhadap sistem perdagangan’ dan ‘omong kosong’, sambil menyatakan kesiapan bernegoisasi namun juga secara tegas menyiapkan langkah balasan.

Realitas pahit ini semakin memperjelas medan permainan bagi Indonesia: pendekatan multilateral, seruan idealistis, atau tawaran umum untuk perdagangan bebas kemungkinan besar akan diabaikan oleh Washington saat ini.

Oleh karena itu, larut dalam respon reaktif atau pesimisme bukanlah pilihan yang tepat.  Penerapan tarif baru  32 persen terhadap barang-barang impor, termasuk dari Indonesia, adalah sebuah realitas yang perlu diantisipasi dengan cermat.

Namun, alih-alih terjebak dalam posisi defensif atau sekadar menjadi pemohon belas kasihan, Indonesia sesungguhnya memiliki modalitas dan daya tawar yang, jika dimainkan dengan strategis, dapat membuka jalan menuju sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan   dengan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump.

Pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia memiliki daya tawar, melainkan bagaimana mengoptimalkannya dalam lanskap negoisasi yang kemungkinan besar akan bersifat transaksional dan berfokus pada kepentingan nasional Amerika.

Kita perlu  memahami filosofi di balik potensi kebijakan tarif Trump.  Karena pendekatan ‘America First’ cenderung melihat perdagangan internasional sebagai arena zero-sum game, di mana keuntungan satu pihak dianggap kerugian bagi pihak lain. Fokusnya adalah pada neraca perdagangan, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri, dan pengamanan rantai pasok untuk industri strategis.

Kebijakan tarif menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut, memaksa mitra dagang untuk memberikan konsesi atau menghadapi hambatan masuk ke pasar AS. Meskipun pendekatan ini tampak konfrontatif, strategi ini juga membuka celah bagi negara lain seperti Indonesia.

Pemerintahan Trump, secara historis, menunjukkan preferensi pada kesepakatan bilateral yang bersifat transaksional dan memberikan keuntungan nyata bagi Amerika.  Ini berarti, jika Indonesia mampu menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi dengannya memberikan nilai strategis signifikan bagi AS – melampaui sekadar angka defisit perdagangan – maka ruang negoisasi untuk menghindari atau memitigasi dampak tarif akan terbuka lebar.

Tantangannya adalah bagaimana mengubah persepsi dari sekadar  'pengekspor barang murah' menjadi 'mitra strategis yang krusial'. Salah satu aset paling berharga yang dimiliki Indonesia dalam konteks ini adalah kekayaan sumber daya mineral kritisnya.

BERITA TERKAIT

Perkuat Jaminan Sosial

   Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja, khususnya di tengah meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja…

Bukti Diplomasi Proaktif

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Timur Tengah pada April 2025 menandai babak baru dalam diplomasi luar negeri Indonesia yang lebih…

Politisasi Indonesia Gelap

  Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta wacana penyusunan ulang Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) kini menjadi sorotan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Perkuat Jaminan Sosial

   Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja, khususnya di tengah meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja…

Bukti Diplomasi Proaktif

Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Timur Tengah pada April 2025 menandai babak baru dalam diplomasi luar negeri Indonesia yang lebih…

Politisasi Indonesia Gelap

  Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta wacana penyusunan ulang Undang-Undang Kepolisian (RUU Polri) kini menjadi sorotan…