Jakarta-Guru Besar FEB-UI Prof. Telisa Aulia Falianty memproyeksikan defisit APBN 2025 akan melebar dari target yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, buruknya kinerja IHSG disebabkan oleh kondisi ekonomi nasional yang melemah.
NERACA
Telisa mengaku takut defisit APBN 2025 akan melebihi 3% atau kembali melanggar ketentuan UU Keuangan Negara. Oleh sebab itu, dia mendorong agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan usaha ekstra.
Dia mencontohkan otoritas pajak harus bisa mendorong agar semua wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Terlebih, masa pelaporan SPT Tahunan tidak lama lagi yaitu hingga 31 Maret untuk wajib pajak (WP) orang pribadi dan 30 April 2025 untuk wajib pajak badan.
"Terus sama pemerintah memang benar-benar ngerem dulu sih [belanjanya]. Program prioritas juga ya harus diliat-liat dulu, lah, dipilah-pilah lagi yang mana yang urgent," ujar Telisa di Jakarta, Selasa (17/3).
Menurut dia, jika penerimaan pajak bisa dimaksimalkan dan belanja negara diperuntukkan hanya untuk program esensial maka defisit APBN 2025 bisa tetap di bawah 3%.
"Kalau naik [defisitnya] iya, tetapi kalau melewati 3% sih saya rasa enggak, ya, karena itu kan sudah perintah Undang-Undang, ya. Nanti jadi sinyal buruk juga untuk investor kalau defisit kita melebihi 3%," ujarnya seperti dikutip bisnis.com. Pemerintah sendiri telah menargetkan defisit anggaran sebesar Rp616,2 triliun atau setara 2,53% dari produk domestik bruto (PBD) pada tahun ini, sesuai Undang-Undang Nomor 62/2024 tentang APBN 2025.
Kendati demikian, APBN per Februari 2025 sudah mencatatkan defisit Rp31,2 triliun atau setara dengan 0,13% terhadap PDB.
Terakhir kali APBN defisit pada awal tahun terjadi saat masa pandemi Covid-19 atau 2021. Saat itu, APBN mencatat defisit 4,56% pada akhir tahun atau lebih tinggi dari ambang batas yang diterapkan dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yaitu 3%.
Belum lagi penerimaan pajak yang turun drastis pada awal tahun ini. Kemenkeu melaporkan penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun per Februari 2025 atau turun 30,2% dibandingkan realisasi pajak Februari 2024 senilai Rp269,02 triliun.
Target Defisit APBN
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai masih terlalu dini untuk mengubah target defisit APBN pada awal tahun, meski penerimaan pajak yang turun 30% per Februari 2025.
Sri Mulyani menyampaikan terkait perubahan postur maupun asumsi makro APBN 2025, sejatinya dilakukan pada pertengahan tahun dalam laporan semester yang nantinya disampaikan kepada publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Kami pasti menyampaikan laporan semester kepada kabinet dan DPR. Jadi kalau hari ini sudah ngomongin [proyeksi defisit akhir] Desember, wong pertengahan tahun belum kita lewati, ojo kesusu [jangan terburu-buru],” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (13/3).
Melihat pengalaman tahun lalu, pemerintah melakukan perubahan postur APBN terkait defisit yang dikerek naik dari 2,29% menjadi 2,7% dalam laporan semester. Realiasasinya, pada Desember 2024 pemerintah melaporkan defisit senilai Rp507,8 triliun atau setara 2,29% terhadap PDB.
Untuk itu, Sri Mulyani menekankan saat ini pihaknya akan fokus menjaga postur APBN sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 62/2024 tentang APBN 2025 yang mengamanatkan defisit di angka Rp616,2 triliun atau setara 2,53%. “Defisit akhir tahun tetap berpedoman pada APBN [2025], nanti akan ada pergerakan dan setiap pergerakan saya akan sampaikan,” ujarnya.
Kondisi Ekonomi Melemah
Di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin (18/3) turun 5 persen hingga membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan sementara perdagangan (trading halt) pada pk. 11.19 WIB.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai buruknya kinerja IHSG disebabkan oleh kondisi ekonomi nasional yang melemah. Seperti terjadinya defisit APBN dan pendapatan negara yang merosot
APBN 2025 mencatat defisit Rp 31,2 triliun per akhir Februari. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun lalu yang justru surplus Rp 22,8 triliun pada periode yang sama.
Defisit ini terjadi akibat penurunan pendapatan dan belanja negara. Realisasi pendapatan hingga Februari hanya Rp 316,9 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 439,2 triliun.
Sementara itu, belanja negara juga turun menjadi Rp 348,1 triliun, dari sebelumnya Rp 470,3 triliun pada Februari 2024. "Ada beberapa isu penyebab IHSG memburuk. Pertama, akibat hasil APBN Februari yang buruk dan outlook fiskal yang berat di 2025," ujar Wijayanto, kemarin.
Kemudian kebijakan ekonomi yang tidak realistis dan dijalankan tanpa teknokrasi yang jelas ikut memperburuk situasi. Menurut Wijayanto, banyaknya kasus korupsi besar juga merusak kepercayaan investor.
Di sisi lain, revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang ramai dibahas dinilai berpotensi menimbulkan gejolak politik. "Kekhawatiran credit rating Indonesia akan turun. Maret-April Fitch dan Moody’s akan umumkan, Juni-Juli giliran S&P," tambahnya.
Sedangkan Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nicodemus, mengungkapkan IHSG melemah karena investor melihat kinerja APBN yang negatif sejak awal tahun. Penerimaan pajak turun 30% per akhir Februari, yang membuat defisit APBN melebar. Akibatnya, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak utang, menyebabkan kenaikan utang hingga 44,77% pada Januari.
"Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham," ujarnya seperti dikutip kumparan.com, Selasa (18/3).
Sementara dari sisi global, tensi geopolitik timbul karena masih memanasnya Rusia-Ukraina. Selain itu, juga dipengaruhi oleh perang tarif yang dilakukan Presiden AS Donald Trump. "Kekhawatiran akan resesi di Amerika yang terus mengalami kenaikan," jelasnya.
Adapun hingga Februari 2025 penerimaan pajak Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30 persen. Sementara defisit APBN mengalami defisit Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode tersebut.
Defisit tersebut berbanding terbalik dengan surplus Rp 26 triliun atau 0,11 persen dari PDB yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu. “Dari total keseimbangan, terjadi defisit Rp 31,2 triliun di akhir Februari 2025 atau 0,13 persen dari PDB. Defisit ini masih dalam target desain APBN,“ kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis (13/3).
OECD Pangkas Pertumbuhan
Pada bagian lain, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,9 persen pada 2025.
Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang diperkirakan mencapai 5,2 persen. Adapun proyeksi tersebut tertuang dalam OECD Economic Outlook, Interim Report Steering through Uncertainty Edisi Maret 2025.
Selanjutnya, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 akan lebih moderat menjadi 5 persen, meskipun turun dari proyeksi periode sebelumnya yang diperkirakan mencapai 5,1 persen. “Indonesia (pertumbuhan ekonomi) diproyeksikan tumbuh sebesar 4,9 persen pada tahun 2025 dan 5,0 persen pada tahun 2026,” tulis laporan itu, kemarin.
Sebagai informasi, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari OECD pada 2025 dan 2026 ini, lebih rendah dari asumsi ekonomi makro dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2026.
Dalam asumsi ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi 2025 diproyeksikan 5,2 persen, namun dalam RPJMN direncanakan lebih tinggi sebesar 5,3 persen. Sedangkan pada 2026, target partumbuhan ekonomi dalam RPJMN direncanakan sebesar 6,3 persen.
Adapun OECD menyebut, tak hanya Indonesia, pertumbuhan ekonomi di negara-negara anggota G20 yang sedang berkembang secara umum diproyeksikan melambat. Ekonomi China diperkirakan tumbuh sebesar 4,8 persen pada tahun 2025 karena dampak negatif tarif sebagian besar diimbangi oleh dukungan kebijakan yang lebih kuat, sebelum melambat menjadi 4,4 persen pada tahun 2026.
Meski demikian, perlambatan tersebut diproyeksikan tidak terlalu terasa di India dan Indonesia, dengan kedua ekonomi tersebut mengalami beberapa dukungan untuk pertumbuhan ekspor karena mereka menarik bisnis baru yang dialihkan dari negara-negara pengekspor yang menghadapi kenaikan tarif yang lebih tajam. bari/mohar/fba
NERACA Batang - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa hingga saat ini realisasi investasi di kawasan tersebut telah…
Jakarta-Pemerintah diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan agar tidak berdampak pada kepercayaan investor yang menyebabkan pasar saham bergejolak.…
Februari 2025, Ekspor Indonesia Capai USD21,98 Miliar Jakara – Februari 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 1,98 miliar.…
NERACA Batang - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa hingga saat ini realisasi investasi di kawasan tersebut telah…
Jakarta-Pemerintah diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan agar tidak berdampak pada kepercayaan investor yang menyebabkan pasar saham bergejolak.…
Februari 2025, Ekspor Indonesia Capai USD21,98 Miliar Jakara – Februari 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai USD 1,98 miliar.…