Industri Penerima Gas Murah Akan Dipangkas

NERACA

Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan sedang membahas kemungkinan pemangkasan jumlah penerima harga gas bumi tertentu (HGBT). “Ada kemungkinan (pengurangan), kami lagi ada bahas, tapi belum final, ya,” ucap Bahlil, mengutip laman Antara.

Berdasarkan rapat-rapat HGBT yang sudah berlangsung, Bahlil mengatakan pemerintah masih melakukan kajian mengenai dampak kebijakan tersebut kepada para penerima gas murah.

Bahlil mengingatkan, tujuan dari kebijakan HGBT adalah mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional. Apabila internal rate of return (IRR) suatu perusahaan dinilai sudah bagus, maka terdapat kemungkinan perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari daftar penerima HGBT.

“Tetapi kalau yang masih membutuhkan dan kita lihat IRR-nya belum bagus, itu tetap kami pertahankan,” kata Bahlil.

IRR adalah metode untuk mengukur suatu aset, apakah aset tersebut akan mengalami peningkatan atau tidak.

Nilai IRR yang besar mengindikasikan bahwa proyek atau investasi tersebut akan menguntungkan jika dilanjutkan. Sebaliknya, jika nilai IRR kecil mengindikasikan biaya investasi awal akan berujung pada prospek buruk.

Kebijakan HGBT sebesar USD6/MMBTU secara khusus diberlakukan pemerintah sejak 2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk tujuh kelompok industri, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, HGBT akan berakhir pada 31 Desember 2024.

 Sebelumnya,, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya menciptakan kondisi yang ideal bagi para pelaku industri manufaktur untuk mengembangkan bisnisnya di tanah air. Salah satu hal yang menjadi fokus Kemenperin adalah pemenuhan kebutuhan gas bagi industri dengan harga bersaing sebesar USD6/MMBTU.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, “kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang merupakan upaya transformasi dari keuntungan komparatif menjadi keuntungan kompetitif nasional, terbukti bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan industri maupun ekonomi secara keseluruhan.”

Agus menyampaikan total dampak positif HGBT terhadap sektor industri pada kurun waktu 2020-2023 adalah sebesar Rp147,11 Triliun, dengan perincian peningkatan ekspor sebesar Rp88,12 Triliun, peningkatan penerimaan pajak sebesar Rp8,98 Triliun, peningkatan investasi sebesar Rp36,67 Triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,3 Triliun.

Lebih lanjut, untuk memastikan ketersediaan bahan baku gas bagi sektor industri dan energi, Kemenperin telah menyiapkan dan mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri. RPP tersebut akan mengatur pengelolaan gas untuk kepentingan industri maupun sumber energi (kelistrikan). Sebagai pembina sektor industri, Kemenperin mempunyai kepentingan untuk mengamankan produksi gas bagi kedua sektor tersebut.

Penyusunan RPP tersebut antara lain bertujuan untuk mewujudkan kemandirian Industri dalam negeri dalam meningkatkan kemampuan dan daya saing, menjamin ketersediaan dan penyaluran Gas Bumi untuk Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Industri dalam negeri dan sumber energi, mewujudkan industri hijau, serta meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja.

Selain itu, juga bertujuan meningkatkan ekspor produk industri, meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi dalam bauran energi, juga meningkatkan upaya pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan Gas Bumi untuk Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong Industri dan sumber energi.

“Kemenperin terus mendorong usulan RPP ini karena bisa menjadi game changer bagi pengelolaan gas bumi nasional, khususnya bagi sektor manufaktur dan kelistrikan,” jelas Agus.

Apabila RPP tersebut berlaku nantinya, sebesar 60% gas yang diproduksi di dalam negeri akan digunakan untuk memenuhi domestic market obligation.

Menurut Agus, bila melihat neraca, saat ini baru 40% persen gas di dalam negeri yang dialokasikan untuk industri manufaktur, termasuk industri pupuk. Sementara itu, kebutuhan gas bumi sektor industri akan meningkat dua kali lipat pada enam tahun ke depan, dari 2.931,45 MMSCFD di tahun 2024.

Agus menambahkan, dalam RPP tersebut juga diatur mengenai pengelolaan gas oleh Kawasan Industri. Rencananya, para pengelola kawasan industri dapat menyediakan dan menyalurkan gas bumi untuk para tenant-nya, termasuk melalui langkah importasi.

 

BERITA TERKAIT

Hilirisasi dan Penguatan UMKM: Langkah Strategis Percepat Pemerataan Ekonomi Nasional

NERACA Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menegaskan bahwa tahun 2025 merupakan momen krusial bagi perekonomian…

Kementerian UMKM Bersama YDBA Replikasi Model Pembinaan UMKM Masuk Rantai Pasok

Kementerian UMKM Bersama YDBA Replikasi Model Pembinaan UMKM Masuk Rantai Pasok Jakarta – Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)…

APKASINDO Dukung Presiden Prabowo Kawal Komoditas Sawit di Indonesia

NERACA Jakarta – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sebanyak…

BERITA LAINNYA DI Industri

Industri Penerima Gas Murah Akan Dipangkas

NERACA Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan sedang membahas kemungkinan pemangkasan jumlah penerima harga…

Hilirisasi dan Penguatan UMKM: Langkah Strategis Percepat Pemerataan Ekonomi Nasional

NERACA Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menegaskan bahwa tahun 2025 merupakan momen krusial bagi perekonomian…

Kementerian UMKM Bersama YDBA Replikasi Model Pembinaan UMKM Masuk Rantai Pasok

Kementerian UMKM Bersama YDBA Replikasi Model Pembinaan UMKM Masuk Rantai Pasok Jakarta – Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)…